Mohon tunggu...
Adistya Pramaresa Katamsi
Adistya Pramaresa Katamsi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia. Memiliki minat terhadap dunia pendidikan dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tatkala Anak Berbeda, Bukan berarti ia Bodoh: Film Taare Zameen Par dari Kacamata Pendidikan Inklusif

6 Oktober 2025   14:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   13:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada kalanya seorang anak tak butuh nasihat panjang, melainkan tatapan yang memahami. Film Taare Zameen Par (2007), disutradarai dan dibintangi oleh Aamir Khan, menghadirkan potret lembut namun menohok tentang dunia pendidikan yang kerap menilai anak hanya dari angka dan rapor. Dalam konteks pendidikan hari ini, yang masih berjuang menyeimbangkan tuntutan kurikulum dengan kebutuhan individual siswa, film ini terasa relevan dan menampar kesadaran kolektif kita: apakah sekolah benar-benar tempat agar semua anak merasa "hadir"?

Lebih dari sekadar drama keluarga, Taare Zameen Par adalah refleksi tentang empati guru, hak anak untuk belajar sesuai kemampuannya, serta pentingnya pendidikan yang manusiawi dan inklusif.

SINOPSIS

Film ini berpusat pada Ishaan Awasthi, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun yang penuh imajinasi namun kerap dianggap "nakal" dan "pemalas." Ia sering gagal dalam pelajaran, sulit membaca dan menulis, serta tampak tak peduli dengan aturan sekolah. Tanpa memahami kesulitannya, orang tua dan gurunya menjatuhkan hukuman demi hukuman, hingga akhirnya Ishaan dikirim ke sekolah berasrama.

Adegan dalam Film Taare Zameen Par
Adegan dalam Film Taare Zameen Par

Di sanalah ia bertemu dengan Ram Shankar Nikumbh, guru seni yang melihat apa yang orang lain abaikan, bahwa di balik "kegagalan akademik" Ishaan, tersembunyi kepekaan luar biasa terhadap warna, bentuk, dan dunia imajinasi. Melalui pendekatan empatik, Ram perlahan menuntun Ishaan menemukan kembali kepercayaan diri dan makna belajar yang sesungguhnya.

ANALISIS

Secara pedagogik, Taare Zameen Par dapat dibaca melalui lensa pendidikan humanistik ala Carl Rogers dan Abraham Maslow. Rogers menekankan pentingnya learner-centered education, yaitu pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan dan pengalaman unik tiap anak. Dalam film, pendekatan Ram yang penuh empati mencerminkan gagasan ini: guru bukan pengendali pengetahuan, melainkan fasilitator yang menciptakan ruang aman untuk tumbuh.

Adegan dalam Film Taare Zameen Par
Adegan dalam Film Taare Zameen Par

Lebih jauh lagi, film ini juga berbicara tentang pendidikan inklusif sebagaimana digagas oleh Ainscow & Booth (2002) bahwa setiap anak, tanpa kecuali, berhak mendapatkan pengalaman belajar sesuai potensi dan hambatannya. Ishaan, yang mengidap disleksia, bukan anak "bermasalah," melainkan anak yang berada di sistem yang belum siap memahami perbedaan.

Adegan ketika Nikumbh menantang para guru lain untuk melihat "huruf-huruf yang menari di mata Ishaan" adalah kritik simbolik terhadap sistem pendidikan yang masih menuntut keseragaman. Ia mengingatkan bahwa pendidikan sejatinya bukan tentang menyamakan, tetapi memanusiakan.

REFLEKSI

Sebagai penonton, kita diajak untuk merenung: berapa banyak "Ishaan" yang duduk di ruang-ruang kelas kita, anak-anak dengan potensi luar biasa, namun terkubur karena standar yang tak berpihak? Film ini mengajarkan bahwa empati adalah bentuk tertinggi dari profesionalitas seorang pendidik.

Di Indonesia, pesan ini terasa mendesak. Sistem pendidikan nasional masih cenderung menilai "cerdas" dari angka, bukan dari karakter dan keunikan cara berpikir. Padahal, sebagaimana Ishaan, banyak siswa yang hanya perlu satu guru yang mau melihat mereka lebih dalam dari sekadar nilai ujian.

Adegan dalam Film Taare Zameen Par
Adegan dalam Film Taare Zameen Par

Taare Zameen Par bukan sekadar film tentang anak disleksia; ini adalah seruan bagi dunia pendidikan agar kembali ke hakikatnya: membentuk manusia, bukan sekadar murid. Setiap anak adalah bintang di bumi -taare zameen par (like stars on earth)- yang bersinar dengan cara dan waktunya sendiri. Pertanyaannya, sudahkah sistem pendidikan kita memberi ruang bagi mereka untuk bersinar?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun