Ada kalanya seorang anak tak butuh nasihat panjang, melainkan tatapan yang memahami. Film Taare Zameen Par (2007), disutradarai dan dibintangi oleh Aamir Khan, menghadirkan potret lembut namun menohok tentang dunia pendidikan yang kerap menilai anak hanya dari angka dan rapor. Dalam konteks pendidikan hari ini, yang masih berjuang menyeimbangkan tuntutan kurikulum dengan kebutuhan individual siswa, film ini terasa relevan dan menampar kesadaran kolektif kita: apakah sekolah benar-benar tempat agar semua anak merasa "hadir"?
Lebih dari sekadar drama keluarga, Taare Zameen Par adalah refleksi tentang empati guru, hak anak untuk belajar sesuai kemampuannya, serta pentingnya pendidikan yang manusiawi dan inklusif.
SINOPSIS
Film ini berpusat pada Ishaan Awasthi, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun yang penuh imajinasi namun kerap dianggap "nakal" dan "pemalas." Ia sering gagal dalam pelajaran, sulit membaca dan menulis, serta tampak tak peduli dengan aturan sekolah. Tanpa memahami kesulitannya, orang tua dan gurunya menjatuhkan hukuman demi hukuman, hingga akhirnya Ishaan dikirim ke sekolah berasrama.
Di sanalah ia bertemu dengan Ram Shankar Nikumbh, guru seni yang melihat apa yang orang lain abaikan, bahwa di balik "kegagalan akademik" Ishaan, tersembunyi kepekaan luar biasa terhadap warna, bentuk, dan dunia imajinasi. Melalui pendekatan empatik, Ram perlahan menuntun Ishaan menemukan kembali kepercayaan diri dan makna belajar yang sesungguhnya.
ANALISIS
Secara pedagogik, Taare Zameen Par dapat dibaca melalui lensa pendidikan humanistik ala Carl Rogers dan Abraham Maslow. Rogers menekankan pentingnya learner-centered education, yaitu pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan dan pengalaman unik tiap anak. Dalam film, pendekatan Ram yang penuh empati mencerminkan gagasan ini: guru bukan pengendali pengetahuan, melainkan fasilitator yang menciptakan ruang aman untuk tumbuh.
Lebih jauh lagi, film ini juga berbicara tentang pendidikan inklusif sebagaimana digagas oleh Ainscow & Booth (2002) bahwa setiap anak, tanpa kecuali, berhak mendapatkan pengalaman belajar sesuai potensi dan hambatannya. Ishaan, yang mengidap disleksia, bukan anak "bermasalah," melainkan anak yang berada di sistem yang belum siap memahami perbedaan.