Salah satu pertanyaan yang terus menjadi bahan diskusi adalah apakah sebenarnya militer Tiongkok benar-benar siap untuk terjun dalam konflik berskala besar. Di atas kertas, Tentara Pembebasan Rakyat/People's Liberation Army (PLA) memiliki jumlah personel yang sangat besar, dilengkapi dengan rudal hipersonik, kapal induk, drone canggih, serta kemampuan perang siber yang kompetitif.
Namun, kesiapan tempur riil berbeda dengan parade militer atau simulasi. Menurut analisis militer Barat yang dikutip oleh France24 dan beberapa lembaga think-tank keamanan, PLA masih menghadapi tantangan dalam hal interoperabilitas antar-cabang militer, kepemimpinan yang terdesentralisasi, serta pengalaman tempur nyata. Tidak seperti militer Amerika Serikat yang telah berpartisipasi dalam berbagai konflik selama beberapa dekade, PLA belum pernah diuji dalam perang skala penuh modern. Dalam video yang diunggah di YouTube di bawah oleh The Telegraph, disampaikan ulasan mengenai kemampuan (capability) dan kesiap-siagaan (combat readiness) dari militer China.
Latihan gabungan seperti yang dilakukan bersama Rusia bisa menjadi cara untuk mengatasi kesenjangan ini. Dengan berlatih bersama militer Rusia yang lebih berpengalaman di medan tempur seperti Suriah dan Ukraina, PLA mungkin berharap dapat mempercepat proses modernisasi operasional mereka.
Apa Pesan Strategisnya?
Latihan ini mengirim beberapa pesan strategis. Pertama, kepada Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO): Rusia dan Tiongkok bersatu dalam menghadapi tekanan Barat dan siap berkoordinasi lintas kawasan. Kedua, kepada negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur: kawasan Indo-Pasifik tidak lagi didominasi satu kutub kekuatan.
Selain itu, latihan ini juga memberi sinyal kepada negara-negara netral seperti India dan negara-negara BRICS bahwa dunia sedang memasuki fase bipolaritas baru, dan bahwa keputusan untuk memilih posisi akan menjadi semakin penting.
Mengapa Korea Utara Tidak Ikut?
Korea Utara secara geografis dan ideologis sangat dekat dengan Rusia dan Tiongkok. Namun dalam latihan ini, Pyongyang tidak terlihat hadir. Ada beberapa kemungkinan alasan.
Pertama, partisipasi Korea Utara bisa menimbulkan eskalasi tambahan yang sulit dikendalikan.
Keterlibatan Pyongyang sering diasosiasikan dengan tindakan ekstrem seperti uji coba rudal balistik, yang bisa memicu respons dari Korea Selatan dan Jepang. Kedua, latihan ini mungkin dirancang untuk menampilkan kesan profesionalisme militer dan diplomasi strategis, bukan tindakan provokatif membabi-buta.
Terakhir, ada kemungkinan bahwa latihan ini juga merupakan sinyal kepada Pyongyang bahwa meskipun mereka adalah mitra, Tiongkok dan Rusia ingin menjaga kontrol atas eskalasi dan narasi internasional.
Respons Amerika Serikat dan Sekutunya
Respons awal dari Pentagon menyebut bahwa mereka "memantau dengan seksama" latihan tersebut. Jepang dan Korea Selatan menggelar pertemuan darurat keamanan dan memperkuat patroli laut di kawasan sekitar. Pemerintah Jepang menyatakan bahwa latihan tersebut tidak membantu stabilitas kawasan dan memperingatkan Rusia dan Tiongkok untuk tidak melakukan pelanggaran wilayah udara atau maritim mereka.
Sementara itu, dalam konteks global, latihan ini memperburuk ketegangan yang sudah meningkat pasca pengiriman kapal selam nuklir oleh Amerika Serikat ke kawasan Eropa dan Pasifik setelah terjadinya adu mulut saling ancam antara Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev. Ada kekhawatiran bahwa dunia sedang memasuki fase baru perlombaan kekuatan militer dan diplomasi konfrontatif.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!