Ketegangan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik telah mencapai titik genting. Di tengah tekanan global dan konstelasi kekuatan besar, Taiwan menjadi episentrum dari potensi konflik berskala dunia. Beberapa media massa online memberitakan bahwa Amerika Serikat mulai memberi sinyal jelas kepada Jepang dan Australia, dua sekutunya di kawasan Indo-Pasifik untuk bersiap menghadapi skenario terburuk, sedangkan sikap negara-negara lain di kawasan Indo-Pasifik, seperti Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia masih mengambang. Dalam kerangka ini, kita perlu menelaah dengan jernih seberapa besar ancaman nyata yang dihadapi, dan bagaimana komunitas internasional, khususnya negara-negara ASEAN, dapat merespons secara rasional dan strategis.
Kemungkinan Serangan China ke Taiwan
Wacana mengenai invasi China terhadap Taiwan bukanlah hal baru. Namun sejak Kepala Komando Indo-Pasifik Amerika Serikat, Laksamana Philip Davidson, memperkenalkan "Davidson Window" yang memprediksi potensi invasi hingga tahun 2027, narasi ini menjadi jauh lebih konkret. Di satu sisi, Beijing tampaknya mempersiapkan seluruh instrumen kekuatan nasional, baik ekonomi, militer, teknologi, maupun propaganda, untuk menekan Taiwan. Namun di sisi lain, kenyataan geopolitik, risiko eskalasi global, serta dampak ekonomi dari konflik terbuka membuat skenario invasi skala penuh, seperti yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina, terlihat tidak rasional.
Daripada melakukan invasi terbuka, strategi China tampaknya lebih mengarah pada tekanan multidimensi seperti serangan siber, blokade parsial, manipulasi informasi, serta provokasi militer terbatas yang bertujuan menghancurkan moral dan kepercayaan publik Taiwan terhadap pemerintahnya. Pendekatan ini memungkinkan Beijing menggerus otonomi Taiwan tanpa menanggung risiko penuh konfrontasi militer dengan Amerika Serikat yang akan membela Taiwan jika diserang secara militer.
Mengapa Amerika Serikat Meminta Bantuan Jepang dan Australia?
Langkah Amerika Serikat yang secara eksplisit menekan Jepang dan Australia untuk terlibat dalam skenario konflik tampak lebih bersifat strategis daripada diplomatis. Washington menyadari bahwa stabilitas regional di kawasan Indo-Pasifik hanya bisa dijaga melalui aliansi kuat di Indo-Pasifik, dan Jepang serta Australia adalah mitra Amerika Serikat yang paling siap secara militer, logistik, dan politik. Keduanya juga memiliki posisi geografis strategis yang dapat digunakan untuk melancarkan operasi pertahanan dan penghalauan.
Mengapa Amerika Serikat Tidak Meminta Korea Selatan dan Filipina?
Absennya tekanan diplomatik Amerika Serikat terhadap Korea Selatan dan Filipina untuk menyatakan dukungan militer bukan karena kedua negara tersebut tidak signifikan, tetapi lebih karena kalkulasi strategis.
Korea Selatan berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap ancaman Korea Utara. Meminta Seoul terlibat dalam konflik Taiwan berarti membuka dua front konflik di Asia Timur, yang akan dapat sangat merugikan posisi militer Amerika Serikat. Sedangkan Filipina, meskipun secara geografis dekat dengan Taiwan, masih dalam tahap pemulihan hubungan strategis dengan Amerika Serikat dan menjaga hubungan kompleks dengan China.
Apakah Rusia dan Korea Utara Akan Membantu China?
Hubungan antara China, Rusia, dan Korea Utara belakangan ini semakin erat. Namun, kesamaan kepentingan mereka tidak otomatis berarti terbentuknya pakta militer yang setara dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Rusia dan Korea Utara lebih mungkin memberikan dukungan tidak langsung: logistik, intelijen, propaganda, atau distraksi strategis di medan lain (seperti Eropa Timur atau Semenanjung Korea) ketimbang mengirimkan pasukan untuk bertempur di sekitar Taiwan.