Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Indonesia Butuh Sistem Pertanian yang Cerdas, Bukan Tambahan Petani?

3 Juni 2025   09:38 Diperbarui: 4 Juni 2025   11:06 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan adopsi teknologi ini, biaya produksi dapat ditekan, hasil panen meningkat, dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan. Negara-negara seperti Jepang, Belanda, dan Australia telah membuktikan keberhasilan pendekatan ini dalam meningkatkan hasil pertanian mereka.

Smart Farming dan Kesenjangan Modal

Dalam diskursus pertanian modern, gagasan tentang "pertanian cerdas" atau smart farming memang menawarkan solusi untuk rendahnya produktivitas dan efisiensi pertanian tradisional. 

Teknologi seperti drone untuk pemantauan tanaman, sensor kelembapan tanah, sistem irigasi otomatis, serta penggunaan data dan kecerdasan buatan menjanjikan peningkatan hasil panen dengan input yang lebih terkendali. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa smart farming mampu meningkatkan ketahanan pangan dan efisiensi lahan secara signifikan.

Akan tetapi, teknologi ini tentu tidak datang tanpa biaya. Implementasi smart farming membutuhkan investasi awal yang besar, mulai dari pembelian perangkat keras, pelatihan, hingga pemeliharaan sistem. Ini menjadi tantangan besar di negara berkembang seperti Indonesia, di mana mayoritas petani masih tergolong sebagai petani kecil dengan akses terbatas terhadap modal.

Banyak petani di desa masih bergantung pada pinjaman informal atau tengkulak untuk memenuhi kebutuhan pertaniannya. Dalam kondisi seperti ini, smart farming bisa menjadi sesuatu yang elitis, hanya terjangkau bagi kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap keuangan, teknologi, dan informasi.

Jika tidak ada kebijakan yang mengantisipasi hal ini, maka akan terjadi pemusatan kepemilikan dan kontrol atas teknologi pertanian di tangan segelintir pelaku usaha besar atau korporasi agribisnis. 

Warga pedesaan yang tidak memiliki modal justru berisiko tersingkir dan hanya menjadi buruh tani di lahan milik investor. Ketimpangan sosial pun akan semakin melebar, dan esensi dari pertanian rakyat yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional bisa terkikis.

Kelayakan Pendapat dalam Konteks Indonesia

Meskipun Indonesia adalah negara agraris dengan tenaga kerja yang melimpah, pendapat bahwa "Indonesia memerlukan pertanian yang lebih cerdas daripada lebih banyak petani" tetap relevan. 

Dengan lahan pertanian yang semakin berkurang akibat urbanisasi dan alih fungsi lahan, meningkatkan jumlah petani tanpa meningkatkan produktivitas akan menjadi tidak efektif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun