Tidak hanya manusia atau perusahaan, negara pun bisa terlibat hutang dan bisa terjadi gagal bayar. Apa yang akan terjadi jika sampai suatu negara mengalami kegagalan pembayaran hutang-hutangnya?
Gelombang Utang Mengancam Negara Berkembang
Pada tahun 2025, lebih dari 75 negara berkembang menghadapi gelombang besar pembayaran utang kepada China, dengan total mencapai US$22 miliar. Angka ini merupakan mayoritas dari US$35 miliar utang global yang jatuh tempo pada tahun ini. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan krisis utang yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial di negara-negara tersebut.
Krisis utang ini erat kaitannya dengan Belt and Road Initiatives (BRI) yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2013. BRI bertujuan untuk membangun infrastruktur di negara-negara berkembang melalui pinjaman dari China. Namun, banyak proyek yang didanai melalui BRI tidak menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar kembali utang negara-negara tersebut, sehingga menyebabkan beban finansial yang berat bagi negara penerima hutang.
Negara-negara yang Terlibat dalam Utang BRI
Beberapa negara yang terlibat dalam utang BRI dan menghadapi kesulitan pembayaran meliputi Laos, Pakistan, Kenya, dan Sri Lanka. Di Laos, proyek kereta api Boten--Vientiane yang didanai oleh China menyebabkan peningkatan utang yang signifikan.
Pakistan menghadapi beban utang besar dari proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan/China-Pakistan Economic Corridor (CPEC). Kenya mengalami kesulitan dengan proyek kereta api yang tidak selesai, sedangkan Sri Lanka harus menyerahkan pelabuhan Hambantota kepada perusahaan China karena ketidakmampuan membayar utang.
Indonesia juga terlibat dalam BRI melalui proyek-proyek seperti kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh). Hutang Indonesia terhadap China berdasarkan skema BRI ini cukup besar, tetapi tidak luar biasa besar, terutama jika dibandingkan dengan total profil utang luar negerinya.