Renungan Pagi
Udara pagi masih segar ketika embun terakhir menguap perlahan dari dedaunan di halaman kecil rumahnya yang mungil. Langit belum sepenuhnya terang, tetapi cahaya lembut fajar telah menembus celah-celah jendela, menciptakan bayangan halus di dinding. Seorang pria paruh baya duduk sendiri di ruang duduknya yang sunyi, hanya ditemani secangkir teh hangat dan suara burung-burung yang mulai menyapa dunia.
Ia menarik napas dalam, merasakan udara pagi mengalir sampai ke dada, lalu menghembuskannya perlahan. Di dadanya, ada perasaan lapang yang tak bisa dijelaskan selain dengan satu kata: syukur. Di usia yang tak lagi muda, setelah menjalani hidup yang cukup panjang, ia telah belajar bahwa hari baru bukan sekadar rutinitas yang berulang, tapi suatu anugerah, suatu rahmat, suatu berkat, suatu kesempatan untuk memperbaiki yang salah dan keliru, melanjutkan yang baik, dan menerima yang tak bisa diubah.
"Terima kasih, Tuhan," bisiknya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi hati dan langit pagi menjadi saksi keikhlasannya. Ia mengingat hari kemarin, tak semua berjalan mulus. Ada lelah, ada kecewa, dan ada juga tawa yang muncul tiba-tiba saat cucu-cucunya memeluk erat tanpa alasan. Semua itu terjalin menjadi satu benang panjang kenangan, dan kini ia duduk di ujung benang itu, bersiap menenun hari yang baru.
Di luar, matahari mulai menunjukkan wajahnya. Cahaya keemasan menyentuh rerumputan, dan daun-daun di pepohonan, membangunkan bunga-bunga kecil yang sepanjang malam tertidur dalam diam. Ia tersenyum melihat pemandangan sederhana itu. Betapa alam begitu setia dengan perannya, tak pernah lalai menyambut hari.
Dalam hatinya, ia tidak memohon banyak hal. Ia tahu bahwa hidup bukan soal memiliki segala yang diinginkan, tetapi bersedia menjalani apa pun yang datang dengan hati yang rela. Ia hanya meminta satu: kekuatan untuk tetap sabar dan bersyukur. Sabar menghadapi apa pun yang akan datang hari ini, dan bersyukur atas segala yang telah ia lalui kemarin.
Ia menyeruput tehnya perlahan, merasakan hangatnya mengalir melalui tenggorokan, hingga mencapai relung hatinya yang terdalam. Pagi ini ia tak butuh keramaian, tak butuh hingar bingar notifikasi dari gawai. Cukup keheningan, cukup kesadaran bahwa ia masih diberi waktu.
Hari ini ia akan kembali melangkah. Dengan sepatu yang sama, jalan yang mungkin serupa, dan rintangan yang tak selalu baru. Tapi dengan hati yang sedikit lebih tenang, dan rasa syukur yang lebih penuh dari kemarin.
Dan itu, pikirnya, sudah lebih dari cukup.
Jakarta, 29 Mei 2025
Prahasto Wahju Pamungkas