Lembaga-lembaga di Uni Eropa tersebut memiliki wewenang untuk membuat dan menegakkan aturan yang berlaku lintas negara anggota. Hal seperti ini belum bisa diterapkan di ASEAN karena kentalnya sikap keberatan negara-negara anggota terhadap pengurangan kedaulatan nasional.
Ketidak-mampuan Untuk Merespons Krisis
Prinsip non-intervensi juga memperlemah kemampuan ASEAN untuk merespons krisis yang bersifat internal namun berdampak regional. Contoh paling nyata adalah krisis politik dan kekerasan di Myanmar pasca-kudeta militer 2021.
Meskipun telah ada kesepakatan Five-Point Consensus, implementasinya terganjal oleh keteguhan ASEAN untuk tidak mencampuri langsung urusan dalam negeri Myanmar. Tidak ada mekanisme sanksi, tidak ada tekanan kolektif yang kuat, dan tidak ada pengambilan keputusan mayoritas yang mengikat. Semua kembali pada kesediaan negara anggota secara sukarela.
Tidak ada Sistem Penegakan Hukum Regional yang Kuat
Karena prinsip non-intervensi ini, ASEAN juga tidak memiliki sistem penegakan hukum regional yang kuat. Tidak ada pengadilan supranasional seperti di Eropa yang dapat menindak pelanggaran terhadap norma dan kesepakatan bersama.
Proses pengambilan keputusan pun didasarkan pada konsensus, artinya satu negara bisa memveto seluruh keputusan jika merasa keberatan. Ini membuat ASEAN sangat rentan terhadap kebuntuan dalam isu-isu sensitif, seperti konflik Laut China Selatan atau pelanggaran HAM.
Tidak Ada Pelaksanaan yang Mengikat Secara Hukum
Walaupun negara-negara ASEAN telah menandatangani ASEAN Charter dan mencanangkan pembentukan komunitas-komunitas sektor seperti Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC), pelaksanaannya tidak mengikat secara hukum.
Tidak ada badan supranasional yang mampu memaksa negara anggota untuk menaati kesepakatan. Bahkan dalam hal integrasi ekonomi pun, ASEAN lebih bersifat koordinatif daripada komando.
Jalan Tengah dan Harapan Masa Depan