Beberapa hari yang lalu saya makan Lontong Cap Go Meh di sebuah rumah makan di Jakarta yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Ketika disajikan, walaupun rasanya lumayan alias not bad, tetapi sebenarnya mengecewakan saya. Mengapa?
Lontong Cap Go Meh adalah hidangan khas Jawa Tengah dan Jawa Timur asal pesisir pantai utara Pulau Jawa yang dikenal sebagai makanan khas Semarang dan Surabaya. Saya dilahirkan di Sidoarjo dan dibesarkan di Surabaya, sedangkan ibu saya dilahirkan dan dibesarkan di Semarang dan sejak masa kecil dan masa remaja saya, hidangan Lontong Cap Go Meh adalah masakan yang tidak lepas dari kehidupan saya.
Lontong Cap Go Meh yang saya nikmati di rumah makan yang saya sebut di atas tadi sangat menyimpang dari pakem yang saya kenal.
Lontong Cap Go Meh adalah contoh kuliner hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa yang kaya simbol, sejarah, dan cita rasa. Meski sama-sama hadir saat Cap Go Meh (hari ke-15 setelah Imlek), Lontong Cap Go Meh dari Surabaya dan Semarang memiliki perbedaan karakteristik yang menonjol.
ASAL-USUL & SEJARAH
Lontong Cap Go Meh adalah bentuk asimilasi budaya peranakan Tionghoa dengan budaya Jawa yang muncul sejak masa kolonial. Nama "Cap Go Meh" berarti "lima belas malam" dalam dialek Hokkien, merujuk pada perayaan akhir Tahun Baru Imlek.
Diperkenalkan oleh keturunan Tionghoa yang menetap di pesisir utara Jawa. Mereka menyesuaikan budaya makan yuanxiao (bola ketan) dengan selera lokal, menggantinya dengan lontong dan lauk nusantara. Filosofinya: harapan untuk panjang umur, kesejahteraan, dan keharmonisan.
Konon, Lontong Cap Go Meh pertama kali diperkenalkan di Indonesia diperkirakan pada abad ke-19 oleh komunitas Tionghoa Peranakan, dan awal persebarannya kemungkinan besar dimulai dari daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa seperti Semarang, Surabaya.
Di Semarang: Sekitar Pertengahan Abad ke-19 (1850-an)
Semarang adalah salah satu pusat awal akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa.