Mohon tunggu...
Pradipta DanisHariyanto
Pradipta DanisHariyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta

Hobi saya bermain futsal dan baca buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua: Perspektif Indonesia dan Dampaknya pada Hubungan dengan Negara Pasifik

3 Desember 2023   19:57 Diperbarui: 3 Desember 2023   20:00 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Donal Husni/Nurphoto Via Getty Images 

Isu ketegangan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua memiliki intensitas ketegangan politik yang sangat tinggi dan cukup sensitif. Pemerintah Indonesia sendiri sudah berupaya untuk meratifikasi instrumen-instrumen yang berkaitan dengan HAM di Papua, namun instrumen tersebut belum dapat dilaksanakan dengan baik oleh penegak hukum yang dipercayakan Pemerintah Indonesia di Papua. Sehingga pembungkaman demokrasi masih terjadi di Papua, seperti penculikan aktivis, tekanan teror, intimidasi. 

Menurut Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA), pada tahun 2022 kasus pelanggaran HAM di Papua banyak terjadi berupa kebebasan berkumpul sampai dengan kebebasan menyampaikan pendapat. Sementara secara keseluruhan laporan yang dibuat oleh PUSAKA terjadi 46 kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dengan korban sebanyak 348 orang. 

Lalu di luar isu kebebasan berekspresi, terjadi juga kasus penembakan diluar hukum dan penangkapan sewenang-wenang tokoh dan aktivis di Papua dengan tuduhan separatis dan makar. Seperti yang terjadi pada tahun 2019 dimana terjadi insiden "rasisme" yang terjadi oleh mahasiswa Papua di Surabaya dan hal itu menimbulkan kerusuhan di beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat. Buntut dari insiden itu adalah penangkapan 22 tahanan politik dengan tuduhan makar.

Menanggapi kasus penangkapan 22 tahanan politik ini, pengacara HAM yang fokus pada isu Papua, Veronica Koman berpendapat bahwa penangkapan tahanan politik ini dinilainya akan memperburuk pandangan pemerintah pusat dalam menyelesaikan konflik yang ada di Papua. Veronica merasa bahwa Pemerintah Indonesia yang ingin berdamai dengan Papua tetapi malah menimbulkan luka lebih untuk masyarakat Papua itu sendiri.

Penegakan hak asasi manusia di Papua dirasa tidak sesuai dengan yang diharapkan warga Papua itu sendiri, dimana terjadi kemacetan penegakan hukum bagi masayarakat sipil. Banyak aktivis yang pro kemerdekaan papua dibunuh tanpa diadili terlebih dahulu, sementara untuk aparat keamanan Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM di Papua tidak dikenai hukuman atau kebal hukum. Lalu dalam konteks internasional, masyarakat Papua merasa bahwa Pemerintah Indonesia menutupi atau membatasi kontak antar masyarakat Papua dengan dunia internasional, seperti pelarangan kunjungan para diplomat, senator, dan pekerja kemanusiaan dari luar negeri. 

Dalam konteks internasional juga, kasus pelanggaran HAM di Papua ini sudah menimbulkan perhatian lebih di masyarakat internasional, seperti adanya demonstran yang terjadi di Filipina yang dilakukan oleh orang setempat dari kalangan gereja, lalu ada contoh pemuda asal Karibia yang berada di London melakukan demonstrasi untuk menghentikan penangkapan dan pembunuhan semena-mena di Papua.

Selain itu, negara-negara Pasifik Selatan, seperti Vanuatu dan Fiji secara terang-terangan mengangkat kasus Papua ini ke forum PBB. Menurut Ketua Tim Kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth, Indonesia tidak hanya memaparkan tentang pembangunan infrastruktur, namun harus memaparkan secara detail dan transparan hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat di Papua, lalu mengakui adanya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di Papua itu sendiri. 

Adriana juga berpendapat bahwa adanya ikatan ras Melanesia antar negara Pasifik Selatan dengan Masyarakat Papua membuat semakin getolnya negara-negara Pasifik Selatan untuk membawa masalah Papua ke forum PBB.

Pada September 2017, Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, meminta dewan HAM PBB untuk segera menyelidiki kasus pelanggaran yang terjadi di Papua. Lalu di waktu yang sama, PM Tuvalu juga meminta PBB segera membantu masyarakat Papua untuk menentukan nasib sendiri untuk masyarakat Papua.

Perdana Menteri Bob Loughman Weibur (UNTV via AP) 
Perdana Menteri Bob Loughman Weibur (UNTV via AP) 

Lalu pada 2021, Perdana Menteri Vanuatu saat itu, Bob Loughman Weibur, mengatakan di sidang PBB bahwa pelanggaran HAM terjadi di banyak tempat di dunia, termasuk masyarakat Papua Barat yang menderita akibat pelanggaran HAM. Bob bersamaan dengan forum Pasifik juga meminta agar Indonesia mengizinkan kantor komisi HAM PBB untuk datang langsung ke PBB dan menilai secara langsung keadaan yang terjadi di Papua Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun