Mohon tunggu...
Fauzan Zakia
Fauzan Zakia Mohon Tunggu... pelajar ilmu komunikasi

nulis karena tugas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU TNI dan Komunikasi Krisis DPR: Menguji Kepekaan Wakil Rakyat

14 Mei 2025   18:05 Diperbarui: 14 Mei 2025   18:31 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar siluet DPR vs Publik (Ilustrasi dibuat menggunakan AI)

Ketika publik sedang menaruh perhatian besar terhadap konsolidasi demokrasi sipil, langkah DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) justru menuai kecemasan luas. Revisi tersebut dinilai memberi ruang yang terlalu besar bagi militer untuk kembali aktif dalam urusan sipil mulai dari penanganan bencana, terorisme, hingga kejahatan luar biasa. Di sinilah krisis komunikasi lembaga legislatif itu bermula.

Bukan pertama kali DPR menghadapi badai kritik, tetapi respons mereka dalam isu ini terasa berbeda. Bukan menenangkan, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan justru menyulut kegelisahan baru. Masyarakat sipil, akademisi, hingga aktivis demokrasi mempertanyakan: apakah DPR masih cukup peka membaca nadi rakyat?

Kepercayaan yang Tergerus
DPR sejatinya merupakan representasi suara rakyat, lembaga tempat aspirasi disalurkan dan peraturan dibentuk. Tapi ketika revisi RUU TNI masuk dalam daftar prioritas legislasi, banyak yang merasa tak dilibatkan. Proses penyusunan yang terkesan tertutup dan minim dialog membuat banyak kalangan bertanya-tanya, untuk siapa sesungguhnya regulasi ini disusun?

Respons DPR terhadap kritik pun cenderung bertahan di wilayah retoris. Beberapa anggota dewan menyatakan bahwa pelibatan TNI dalam urusan sipil diperlukan untuk mempercepat respons negara terhadap ancaman dan bencana. Namun, alih-alih memperjelas, pernyataan tersebut justru dianggap membingkai persoalan secara sempit.

Dalam teori komunikasi krisis yang dibahas Ardianto dan Q-Anees (2019), respons seperti ini masuk dalam strategi defensif. Lembaga yang berada dalam tekanan publik memilih untuk membela diri, bukan membuka dialog atau mengevaluasi sikap. Masalahnya, strategi seperti ini rentan memperburuk citra lembaga karena publik justru merasa diabaikan.

Komunikasi Satu Arah di Era Dua Arah
Di tengah pesatnya perkembangan media digital, masyarakat kini bukan sekadar penonton, melainkan juga pelaku dalam proses komunikasi politik. Sayangnya, DPR masih terlihat gagap dalam menggunakan kanal digital sebagai ruang keterlibatan.

Akun media sosial resmi DPR RI memang aktif mempublikasikan agenda rapat, pernyataan pimpinan, atau siaran pers. Tapi, interaksi yang terbangun cenderung satu arah. Komentar publik sering tak ditanggapi, kritik dibiarkan mengambang tanpa klarifikasi. Padahal, menurut Nurudin (2011), komunikasi massa modern menuntut partisipasi dan keterbukaan sebagai syarat legitimasi.

Gagal Menawarkan Narasi Alternatif
Strategi komunikasi krisis bukan hanya tentang menyampaikan informasi. Ia juga menyangkut bagaimana membentuk persepsi publik dengan pendekatan yang persuasif, terbuka, dan mengandung solusi. Sayangnya, dalam polemik revisi RUU TNI, narasi alternatif dari DPR nyaris tidak terdengar. Publik hanya disodori penjelasan formal, bukan dialog yang menyentuh akar keresahan warga negara.

Seperti diingatkan oleh Effendy (2003), keberhasilan komunikasi tergantung pada kemampuan mengelola pesan, saluran, dan konteks. Ketika semua itu diabaikan, yang tersisa hanya retorika kosong. Di mata publik, ini bukan lagi soal revisi pasal demi pasal, tapi soal kepercayaan terhadap institusi demokrasi.

Saatnya Berbenah: Saran Strategis
Jika DPR ingin memulihkan kredibilitasnya, maka pendekatan komunikasi yang mereka gunakan harus berubah secara fundamental. Berdasarkan teori-teori yang sudah dikembangkan oleh pakar komunikasi Indonesia, berikut beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun