Fenomena self-diagnosis sedang menjamur di kalangan Gen Z. Banyak anak muda yang mengklaim diri mengidap ADHD, anxiety, atau depresi hanya berdasarkan konten yang mereka tonton di TikTok, YouTube, hingga Instagram. Padahal, proses diagnosis gangguan mental seharusnya dilakukan oleh tenaga profesional, bukan dari kuis online atau video relatable.
Menurut para ahli, seperti Dr. Tjhin Wiguna dan Prof. Dr. Irwanto, kesadaran terhadap gejala mental memang penting. Tapi yang terjadi saat ini, banyak Gen Z salah kaprah dan berisiko menyimpulkan sesuatu yang belum tentu benar. Hal ini bisa berbahaya karena dapat memicu konsumsi obat psikiatri tanpa pengawasan, hingga munculnya label sosial yang salah.
Self-diagnosis juga bisa membuat orang mengabaikan penyakit fisik yang gejalanya mirip, seperti kelelahan karena anemia atau hipotiroid. Alih-alih mendapat penanganan yang tepat, banyak yang justru terjebak dalam persepsi keliru tentang kondisi mentalnya sendiri.
Meski begitu, self-awareness tetap penting. Namun sebaiknya diiringi dengan langkah lanjut ke psikolog atau psikiater. Solusi seperti literasi digital, edukasi publik, dan peran content creator yang bertanggung jawab juga sangat dibutuhkan.
Untuk memahami lebih lanjut tentang fenomena ini, lengkap dengan bahaya dan rekomendasi solusi dari para ahli, baca selengkapnya di PortalJatim24.com.
Baca rujukan lengkap artikelnya di sini:
https://www.portaljatim24.com/2025/07/fakta-self-diagnosis-gen-z-tren-atau-bahaya.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI