Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemajuan Kebudayaan, Belajarlah dari Nenek Moyang Kita

30 Oktober 2019   09:50 Diperbarui: 11 Desember 2019   22:51 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengertian yang payah dan miskin inilah membuat kebanyakan orang menyamakan imajinasi dengan khayalan, dan ini sudah menjadi pengertian umum di Indonesia, ditanamkan ke anak-anak di sekolah.  Imajinasi diasosiasikan dengan kemalasan, kurang berguna, buang-buang waktu, dsb.  Semua asosiasi imajinasi tersebut berdampak kepada  orang membuang jauh-jauh atau menyingkirkan kekuatan imajinasi dari kehidupan kita.  

Dampak dari menyingkirkan dan membuang imajinasi dari kehidupan  akan berdampak kepada kemiskinan kreatifitas, miskin  ide-ide baru, miskin inovasi, misikin teknik-teknik baru, dan miskin temuan-temuan baru.

Pengertian ini sudah sangat ketinggalan jaman, dan tidak "up to date" .  Kalau kita meng"up date" atau mengikuti perkembangan pengetahuan di dunia, kita menemukan yang bertolak belakang, yaitu bahwa imajinasi sangat penting, sepenting akal sehat dan logika dalam membangun peradaban dan kebudayaan.

Seberapa pentingnya imajinasi dalam mengembangkan peradaban manusia bisa kita simak pernyataan-pernyataan dari beberapa ilmuwan, filsuf/cendekiawan, seniman:


Albert Einstein, ilmuwan fisika yang sangat terkenal dengan teori-teori yang banyak dipakai dalam teknologi. Banyak orang berpikir bahwa teori-teorinya pasti semua berdasarkan logika dan akal sehat, namun Einstein mengatakan: “ Imagination is more important than knowledge.” Ahli fisika terkemuka itu mengemukakan terobosan besar ilmu fsisika yang ia buat berasal dari imajinasinya ia sedang mengendarai sebuah sinar foton menembus luasnya ruang angkasa. Bagi Einstein anugrah imajinasi/fantasi lebih berarti baginya ketimbang bakatnya dalam menyerap pengetahuan positif.

Nikola Tesla, salah satu penemu terbesar sepanjang jaman, mengatakan “ When I get an Idea, I start at once building it up in my imagination. I change the construction, make improvements and operate the device in my mind.” Dalam aotobiografinya ia melukiskan bahwa imajinasi-imajinasi yang ia rasakan begitu nyata. Namun ia bukanlah orang tidak waras alias gila, malah ia memanfaatkan kemampuannya dalam membayangkkan (imagining) atau menvisualisasi untuk pekerjaanya di bidang fisika.


Friedrich August Kekule, seorang ahli kimia abad ke 19, menemukan struktur atom cincin benzena- basis dari semua kimia organik, saat ia sedang berbaring, terbayang di depan matanya seekor ular yang berputar-putar menggigit ekornya sendiri

Jean Jacques Rousseau, filsuf terkenal dari Perancis mengatakan “The world of reality has its limits; the world of imagination is boundless.” Dalam karyanya "Emile: or On Education", ia memanfaatkan kekuatan imajinasi menjadi kunci untuk mendamaikan sifat manusia dan masyarakat sipil.

Para seniman  ternama, pelukis seperti Michelangelo, Leonardo da Vinci, Pablo Picasso, komponis musik klasik ternama seperti Mozart, Bethoven, Wagner,  Rocker Jimmy Hendrix; para penyair dan novelis besar seperti Shakespeare, Emerson, Pramoedya Ananta Toer  menempatkan imajinasi sebagai kekuatan di dalam menciptakan karya-karya mereka.

Arsitektur: Imajinasi Ruang dan Bentuk
Dia dalam bidang arsitektur, Imajinasi merupakan suatu kewajiban fundamental bagi arsitek macam apapun. Ia merupakan alat yang ampuh bagi penemuan-penemuan arsitektural. Arsitektur yang paling benar-benar bermakna dan beresonansi luas tidak hanya muncul dari perhitungan-perhitungan teknis yang rasional, namun secara lebih halus dan kompleks berasal dari imajinasi personal.

Arsitektur adalah bermain-main dengan bentuk dan ruang dengan sentuhan seni, pemanfaatan dan permainan imajinatif ruang dan bentuk. Namun manjemen moderen telah mengecilkan sentuhan seni demi efisiensi ruang, yang ujung-ujungnya adalah persoalan biaya. Sehingga tak heran jika orang-orang terkagum-kagum kepada bangunan kuno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun