Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Teknologi dan Kekuasaan

7 September 2018   10:20 Diperbarui: 19 April 2019   21:30 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teknologi bukan sesuatu yang sudah jadi jatuh dari langit sebagai suatu 'sebab' eksternal. Ia adalah hasil dari proses-proses sosial. Teknologi masih terus mengambil bentuk, dan dengan cepatnya mereka berkembang, sering diasumsikan sebagai sesuatu yang secara historis takbisa dielakkan. 

Perubahan-perubahan di dalam sifat kerja adalah pikiran untuk meloncat dari beberapa bentuk perintah teknologis. Ini adalah analogi bagi cara yang mana gender diasumsikan mengikuti "ke-takbisa dielakkan' dari alam atau biologi. 

Studi-studi proses kerja yang baru-baru ini telah memperlihatkan bagaimana tekonologi-teknologi diperkenalkan untuk memperbesar kontrol manajemen atas situasi kerja.Teknologi tak memiliki dinamika integral inherenya sendiri namun ia didesain di dalam kepentingan kelompok-kelompok sosial tertentu, dan menentang kepentingan-kepentingan yang lainnya. 

Studi-studi ini menfokuskan pada dimensi kelas dari relasi-relasi sosial teknologi, pergulatan mengontrol proses kerja antara kapital dan tenaga kerja. Kita bisa sampai sejauh ini karena mempertimbangkan konteks gender dari pelaksanaan teknologi. Ini membuat pola relasi-relasi dan pergulatan atas teknologi dan kontrol proses kerja menjadi suatu soal yang lebih kompleks. 

Tak hanya ada konflik-konflik antara manajemen dan pekerja atas mesin-mesin, atas orang, contohnya, yang mengoperasikannya. Ini adalah dua set relasi-relasi yang memediasi, bertumpang tindih, dan terkadang saling berkontradiksi. Ini bukan sekedar bahwa konflik belakangan mengalihkan perhatian dari sebelumnya, seperti yang dikatakan oleh suatu analisa fungsionalis. 

Menimbang konteks gender dari teknologi memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai beberapa konsep sentral dari analisa-analisa proses kerja. Khususnya, mesti menimbang-nimbang kembali dengan hati-hati ide bahwa kerja secara sistematis telah di-takmahir-kan dibawah kapitalisme maju. Pekerjaan siapa? Dimana bahwa orang yang meninggalkan pekerjaan tersebut tak pernah disebut sebagai tak mahir? 

Apakah pekerjaan-pekerjaan itu mahir secara inheren atau apakan mereka hanya diakui sebagai seperti sebuah hasil dari pergulatan? Bagaimana dengan kemahiran-kemahiran (skills) baru, termasuk apa-apa yang diasosiasikan dengan yang memiliki tekanan dan kemonotonan? Mengapa perempuan tak pernah di dalam posisi untuk menuntut agar mereka juga memiliki kemahiran?

Sementara pe-tak mahir-an (deskilling) menjadi suatu konsep yang penting dan bermanfaat yang butuh diterapkan dengan agak lebih waspada; ia tak bisa digunakan sebagai suatu istilah yang mencakup semua yang menyederhanakan proses-proses terkait dengan perubahan teknologis. 

Jelas-jelas diterapkan pada kemahiran lama kerajinan tangan di beberapa wilayah padat karya/manufaktur, ada keraguan mengenai seberapa jauh ia bisa diterapkan pada wilayah kerja yang lain, contohnya, sektor tertier. 

Suatu analisa yang memfokuskan pada pe-tak mahir-an juga banyak mewakili kepentingan-kepentingan golongan atas dari pekerja untuk me-luar-kan yang lain. Pekerja di bagian penjualan (trademen) yang mahir sering dipandang menjadi perwakilan dari seluruh pekerja namun kebanyakan kerja laki-laki dan perempuan di dalam pekerjaan-pekerjaan yang sudah ditakmahirkan (deskilled), didefinisikan sebagai takmahir (unskilled) atau, mungkin lebih tepatnya, pekerjaan-pekerjaan yang tak diakui sebagai mahir (skilled). 

Jika hipotesa pe-takmahir-an tidak sampai mengenggam kompleksitas-kompleksitas dari kelas, ia juga menjadi buta gender. Definisi mahir menjadi bias gender. Proses-proses yang mana beberapa pekerjaan didefinisikan sebagai mahir dan yang lain-lainnya sebagai takmahir adalah kompleks, namun banyak sekali 'kemahiran-kemahiran' perempuan tidak diakui sebagai seperti di dalam definisi pekerjaan-pekerjaan mereka. 

Kerja yang mahir adalah kerja laki-laki. Pencapaian yang penting dari hasil perjuangan serikat pekerja adalah untuk memelihara definisi pekerjaan sebagai mahir demi menjaga nilai upah laki-laki. Perjuangan-perjuangan ini biasanya mengambil bentuk untuk berupaya memelihara definisi pekerjaan-pekerjaan sebagai laki-laki; 'laki-laki' dan 'mahir' sudah menjadi sinonim. 

Ada sebuah sejarah yang panjang untuk ini. Serikat pekerja berpendapat bahwa kecenderungan yang terjadi adalah pe-mahir-an ulang, ketimbang pe-takmahir-an, sebagai sebuah hasil dari perubahan teknologi, sebagai sebuah basis bagi klaim kenaikan upah. 

Mereka sama sekali tidak merasa itu membantu akademisi yang bersikukuh bahwa pe-takmahir-an telah berlangsung, tanpa memperhitungkan kesulitan-kesulitan tertentu yang dihadapi di dalam pekerjaan-pekerjaan baru. 

Sementara ini masih luas diterapkan pada para pekerja laki-laki, contohnya, para pekerja metal, ada beberapa perkembangan baru yang menarik dimana serikat-serikat pekerja banyak berkembang di industri-industri seperti perdagangan eceran/ritel  yang didominasi perempuan. Dalam kasus-kasus seperti itu serikat pekerja sering didesak untuk mendefinisikan mahir untuk pekerjaan-pekerjaan perempuan, tapi seringkali menyerah untuk berjuang, demi memelihara wilayah laki-laki. 

Contoh yang lain dari relasi antara gender dan mahir-atau setidak-tidaknya cara ia dialami-adalah asumsi umum, diselenggarakan oleh serikat pekerja, bahwa gerakan perempuan yang masuk ke dalam atau wilayah laki-laki tak hanya akan menurunkan upah tapi juga mengakibatkan pe-takmahir-an. 

Seperti yang akan kita tunjukan, kemunduran adalah kasus yang sering terjadi-kerja di-takmahir-kan dan lalu perempuan bergerak masuk. Namun ia tak bisa diasumsikan bahwa ini akan perlu terjadi. 

Relasi antara feminisasi dan pe-takmahir-an menjadi jauh lebih kompleks daripada ini dan  mempertimbangkan ke-bisa diterapkan-nya proses pe-takmahir-an dan relasi-relasi gender. Juga bahwa teori-teori umum mengenai perubahan teknologis tak bisa dikembangkan di dalam ketidakhadiran dari studi-studi kongkrit, spesifik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun