Mohon tunggu...
Popi Irawan
Popi Irawan Mohon Tunggu... My Only Kompasiana Account

Warga biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Merampas Lahan Hijau, Mengundang Bencana Hidrometeorologi

6 Oktober 2025   15:35 Diperbarui: 6 Oktober 2025   15:35 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir bandang melanda Denpasar, Bali, awal September 2025. (Sumber foto: ANTARA/Rolandus Nampu, seperti diunggah di kompas.com edisi 10/09/2025)

Terjadinya bencana banjir yang melanda Bali pada awal September 2025 lalu tak hanya mengejutkan tapi juga menjadi pelajaran betapa bencana hidrometeorologi bisa melanda kota mana pun yang mengabaikan tata ruang. Di Bali, pariwisata adalah satu penyebab ruwetnya tata ruang yang berujung pada bencana banjir. 

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Nurofiq, memperkirakan bahwa banjir disebabkan oleh tutupan hutan yang semakin mengecil di Bali, yang mengakibatkan resapan air hujan menjadi lebih sedikit. Dalam konteks Bali, harus diakui bahwa industri pariwisata Pulau Dewata turut andil menjadi penyebab mengapa bencana hidrometeorologi dapat berakibat fatal tidak hanya bagi warga masyarakat, namun juga bagi kepariwisataan itu sendiri. 

Di Indonesia, Bali adalah rujukan pariwisata semua daerah. Bali sudah telanjur diasosiasikan dengan pariwisata. Data-data statistik kunjungan wisata, pengeluaran wisatawan, penerimaan devisa, serapan tenaga kerja serta pajak, memang menunjukkan bahwa Bali memperoleh manfaat sangat besar dari sektor pelancongan.  

Namun pariwisata Bali memang acuh pada tata guna lahan, khususnya pertanian. Kita dengan cukup mudah menemui, misalnya, bagaimana lahan-lahan persawahan berubah menjadi lahan permukiman dan hunian dalam waktu beberapa tahun saja. Kawasan hijau di beberapa daerah urban dan penyangganya pelan-pelan beralih menjadi permukiman atau akomodasi wisatawan. 

Kebutuhan akan akomodasi wisatawan dan segala macam fasilitas yang menyertainya berdampak pada tekanan pada lingkungan hidup di Bali. Memang, di atas kertas Bali selalu dipromosikan sebagai 'sepotong surga di bumi' atau 'tanah para dewata' atau 'surga terakhir di bumi'. Kuatnya magnet Bali dalam menarik wisatawan berdampak signifikan pada citra Bali sebagai destinasi wisata dunia dan paradigma wisata massal yang telah lama dianut para pengambil kebijakan pariwisata di Bali. 

Pariwisata massal, secara sederhana, adalah bentuk pelancongan yang menyasar sebanyak mungkin orang dengan menawarkan produk yang juga bisa dikonsumsi secara massal pula. Secara sederhana, produk di sini dapat diartikan segala atraksi yang ditawarkan di destinasi wisata. Dalam konsep pariwisata massal, tidak ada target pasar spesifik yang disasar. Siapapun boleh berkunjung ke destinasi wisata. Oleh karena itu, kita bisa dengan mudah melihat berbagai tipe wisatawan yang mengunjungi Bali, yang jika disurvei tak hanya beragam secara geografis namun juga secara sosio-demografis bahkan psikografis.   

Jika secara ekonomi Bali diuntungkan dengan pariwisata, maka tidak demikian dengan lingkungan hidup. Tekanan pada lingkungan hidup di Pulau Bali semakin berat akibat pariwisata. Padahal, dalam hal tata guna lahan pertanian dan pengairan, Bali dikenal dunia sebagai kawasan yang menerapkan subak, manajemen pengairan berbasis kebijaksanaan lokal yang dapat dirunut hingga jauh ke belakang. 

Sistem pengairan subak telah lama menjadi kajian para ahli dan dijadikan sebagai praktik baik pengairan lahan pertanian berbasis budaya. Tidak hanya itu, sejak tahun 2012, subak telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Dalam forum-forum dunia, subak selalu disanjung sebagai local wisdom yang unik.  

Namun nyatanya, praktik subak ini tidak berdaya di hadapan rezim pembangunan infrastruktur wisata. Apa artinya subak jika tidak ada sawah. Alih fungsi lahan dan menghilangnya ruang terbuka hijau menjadi hunian dan infrastruktur wisata telah meminggirkan subak dan berakibat pada bencana hidrometeorologi. Curah hujan yang tinggi ditambah dengan tidak adanya resapan dan menyempitnya sungai berakibat fatal terhadap kehidupan warga Bali sendiri. 

Memang, kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Bali, namun merata di banyak kawasan urban di Tanah Air. Namun Bali sangat khas karena pembangunan di titik-titik aglomerasi di pulau ini dipicu oleh industri pariwisata yang sangat rentan (vulnerable) terhadap bencana. Artinya, sektor pariwisata itu sendiri sangat rentan terhadap berbagai macam gangguan (disturbances). Gangguan apapun terhadap destinasi wisata, termasuk berupa bencana banjir, akan berpengaruh pada citra destinasi tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun