Entah mengapa, dengan melihat sepotong tempe goreng, mata ini mengalirkan air dengan derasnya.
Hanya dengan melihat tempe goreng lho.
Kisah di balik sepotong tempe sepertinya yang menjadikan tangis hadir tanpa diundang.
Anak laki-laki satu-satunya hanya suka tempe goreng yang berbalut tepung, di makan hangat di tambah saus cabe, dijamin akan tambah nasi berkali-kali.
Kini ia harus berjuang dengan makanan yang ada, berjuang makan makanan khas Melayu Minang yang banyak rempah dan sambal. Terbayang butuh berapa lama adaptasi dengan makanan yang tersedia di pondok.
"Babang gak suka sayur cabe Mi"
"Kok bisa ya ada sayur cabe di Medan"
Saya sejenak berpikir, apa itu sayur cabe. Ooooo rupanya tauco yang ada di nasi gurih  atau lontong saat sarapan pagi. Habis itu dengan terkekeh saya jelaskan nama sayur cabe itu adalah tauco.
"Babang maunya makan ikan itu yang gak ada duri. Ayam pun kalau bisa gak ada tulang. Biar makannya khusyuk tanpa diganggu duri dan tulang"
Jadi kalau masak ikan diusahakan yang sangat sedikit duri begitupun kalau ayam diusahakan yang sedikit tulang.
Awal pasti berat dengan adaptasi makanan. Bahkan pernah beberapa hari gak mau makan karena menunya ikan. Akhirnya jebol lah uang jajan. Akhirnya dengan terpaksa harus makan dengan tetesan air mata dulu.