Mohon tunggu...
Pocut Ghina Shabira
Pocut Ghina Shabira Mohon Tunggu... Psikolog - Mahasiswi

Traveler. Blogger. Bollywood Lover.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Aceh, Setangkai Payung yang Patah

27 Maret 2019   16:08 Diperbarui: 27 Maret 2019   16:22 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hotel Atjeh, Kutaradja (Banda Aceh) - https://hiveminer.com 

Mungkin inilah "perintah dari mahapemimpin" itu. Beureueh menjawabnya mantap: "Saudara Presiden, kami rakyat Aceh dengan segala senang hati memenuhi permintaan itu." Namun, Beureueh memberi syarat: perang itu untuk menegakkan agama Allah. 

"Kalau ada di antara kami mati terbunuh dalam perang itu, maka berarti mati syahid", ujar Beureueh. Bung Karno pun menjawab: "Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti dikorbarkan oleh pahlawan Aceh seperti Teungku Cik di Tiro, perang yang tak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid."

"Kalau begitu, kedua pendapat kita sudah bertemu, Saudara Presiden", kata Beureueh. Lalu, dia segera memohon agar Soekarno kelak memberi kebebasan kepada Aceh untuk menjalankan syari'at Islam. "Kakak (panggilan Bung Karno kepada Beureueh), tak usah khawatir. Sebab, 90 persen rakyat Indonesia beragama Islam."

Tapi Beureueh mendesak agar ada semacam ketentuan tertulis yang bisa menjadi jaminan. Akhirnya ia menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno dan memintanya menuliskan sesuatu. Melihat hal tersebut, Bung Karno menangis terisak-isak. Dia merasa tak berguna sebagai presiden, karena Beureueh tak percaya kepadanya. Bukannya tidak percaya, namun Beureueh hanya sekadar meminta tanda untuk diperlihatkan kepada rakyat Aceh yang diajaknya berperang.

Bung Karno lalu mengucapkan satu kalimat, "Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari'at Islam." Hal itu membuat Beureueh iba dan tidak lagi meminta jaminan kepada Presiden Soekarno.

Tapi, dua tahun setelah kunjungan Soekarno itu, kegelisahan mulai bertiup. Status provinsi bagi Aceh, yang telah dikukuhkan oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada Desember 1949, mulai digugat. 

Sebabnya karena ada penataan baru status provinsi. Pemerintah memutuskan meleburkan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Untuk mempertahankan provinsi otonomi, Beureueh sempat melobi Soekarno, walaupun akhirnya sia-sia. Mohammad Hatta juga berkunjung ke Aceh menjelaskan pentingnya penggabungan itu. Akhirnya, provinsi Aceh dibubarkan pada Januari 1951.

Kegelisahan kian tajam ketika Soekarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 27 Januari 1953. Di sana ia menolak Islam sebagai dasar negara. "Yang kita inginkan adalah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia," ujarnya. 

"Jika kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri." Saat itu memang ada program politik nasional merebut Irian Barat. Negara Islam, menurut Soekarno, akan membuat Irian Barat tak mau menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Beureueh menilai Soekarno ingkar janji. Sementara itu, di pusat, perdebatan soal Islam sebagai dasar negara kembali marak. Ucapan Presiden itu juga menyinggung sejumlah partai politik Islam, seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama. 

Soekarno mulai menuai hujan kritik. Tapi Beureueh tampaknya tak bernafsu lagi dengan hiruk-pikuk politik di pusat itu. Dia mungkin sedang mempertimbangkan kembali "Makloemat Oelama" dulu, dan janji si Bung bahwa Aceh adalah daerah modal, walau Indonesia tinggal "setangkai payung".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun