Mohon tunggu...
Pandji Kiansantang
Pandji Kiansantang Mohon Tunggu... Penulis - "Bahagia Membahagiakan Sesama"

Menulis itu Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Urgensi "Revolusi Mental Birokrasi" dalam Perang Melawan Corona

17 September 2020   10:16 Diperbarui: 19 September 2020   01:23 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anjuran untuk selalu memakai masker. (Foto: Dok. pribadi)

Serangan Corona yang Makin Merajalela

Belakangan ini kita lagi-lagi terhenyak melihat berita "pemecahan rekor demi rekor" dalam kasus Corona di tanah air. Kasus harian dan mingguan di ibukota dan tanah air terus meningkat. Makin miris dengan adanya data bahwa tingkat kematian dokter dan anak-anak di tanah air termasuk yang tertinggi di Asia. 

Jika di negara-negara lain ada "ancaman gelombang kedua " pandemi, di Indonesia bahkan gelombang pertama saja belum selesai. Istilah bahasa Inggrisnya "The worst isn't coming yet" (Yang terburuk belum terjadi) 

Minimnya Kesadaran Hidup Sehat

Presiden Jokowi telah mengintensifkan kampanye sistematis agar masyarakat disiplin dalam menjalankan prokes (protokol kesehatan). Tapi masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan, menjadi tantangan tersendiri. 

Sebelum pandemi, pemakaian Masker adalah hal yang "asing" (alien) bagi kebanyakan masyakat kita. Juga dulu "physical distancing" adalah konsep yang "aneh" bahkan bisa dicap "anti sosial" karena masyarakat kita yang suka bersosialisasi dan berkerumun (kongko-kongko, "nonton bareng", dll). 

Hanya "mencuci tangan", satu-satunya kampanye 3 M yang sudah cukup "familiar... khususnya bagi masyarakat muslim yang selalu berwudhu sebelum shalat, pelajar sekolah dan "orang kantoran" yang di WC kantornya terdapat wastafel (tempat cuci tangan). 

Perlunya Perubahan Mindset

Jadi sebelum terjadi "perubahan perilaku", perlu terjadi perubahan mindset (paradigma). Pada saat Presiden mengeluhkan rendahnya disiplin masyarakat dalam menjalankan prokes, kita teringat betapa perlunya "Revolusi Mental" yang dulu pernah digaungkan. 

Semua kebijakan pasti menimbulkan pro-kontra, apalagi pada situasi makin memuncaknya pandemi. Apa yang berhubungan dengan kebijakan publik terkait Corona cenderung menjadi "bola panas" (hot issues), bahkan bisa dipolitisir. Memang beginilah kondisi negeri kita sekarang... A divided society... suatu "masyarakat yang terbelah".

2 Syarat Agar Masyarakat Disiplin Prokes

Untuk terus "membudayakan" disiplin menjalankan prokes, perlu terus dilakukan berbagai kampanye. Sayangnya, sudah sering muncul kritik bahwa kita pintar membuat "kebijakan yang bagus", tapi hanya "di atas kertas" dan tak dapat dilaksanakan dengan baik di lapangan. 

Semua kebijakan dan sosialisasi itu baru akan efektif jika terpenuhi 2 syarat : 

1) Pejabat dan Pimpinan LEBIH DULU menerapkan Prokes secara disiplin sebagai teladan bagi masyarakat.

 2) Pengawasan yang ketat disertai Penerapan sanksi (law enforcement) yang tegas dan tidak pandang bulu. 

Minimnya Keteladanan Pejabat Dalam Prokes

Penulis akan khusus menyoroti aspek keteladanan pejabat publik. Termasuk dengan tetap memakai MASKER ketika berpidato atau berbicara di depan umum, apalagi yang disiarkan TV. 

Sungguh IRONIS jika ada pejabat yang meminta masyarakat disiplin memakai masker, tapi ia sendiri ketika mengucapkan hal itu TIDAK memakai masker. Ini masih saja terjadi. Ada pimpinan Satgas yang ketika diwawancarai di TV mau saja melepas masker yang sedang dipakainya ketika diminta oleh reporter dengan alasan "sudah jaga jarak". 

Ini contoh yang buruk bagi masyarakat kita yang suka "melepas masker" ketika ngobrol, berbicara akrab dengan orang-orang yang dikenalnya (sanak saudara atau teman-teman). 

Kita juga masih ingat para menteri yang berfoto bersama berdekat-dekatan tanpa masker di Bali. Ketika kritik bermunculan kenapa mereka mengabaikan prokes, ada yang berdalih bahwa wartawanlah yang minta mereka untuk melepas masker sebelum sesi foto bersama. 

Apa demikian mudahnya para menteri "didikte" wartawan dan mengabaikan arahan Presiden? Atau sang pejabat merasa tak nyaman berpidato dengan memakai masker karena wajahnya tidak terlihat penuh? Kenapa tidak pakai faceshield saja? 

Ini baru sedikit contoh tentang buruknya keteladanan pejabat publik. Padahal masyarakat itu meniru "apa yang dilihat" bukan "apa yang diucapkan". Sebagaimana seorang anak tidak akan mematuhi Bapaknya yang menyuruhnya "Jangan merokok! Kamu masih kecil" padahal sang Bapak mengucapkan itu sambil merokok...

Urgensi Ketegasan Sang Panglima Tertinggi

Presiden Jokowi yang mendapat amanat dari rakyat Indonesia adalah "Panglima Tertinggi " dalam perang melawan pandemi. Di dunia militer dikenal ungkapan "Tidak ada prajurit yang jelek, hanya ada komandan yang jelek. Segala yang dilakukan dan tidak dilakukan prajurit adalah karena komandannya". 

Ada 2 hal yang diperlukan untuk dapat memimpin rakyat dalam perang melawan pagebluk (wabah) ini.

Pertama, Presiden Jokowi harus menjadi TELADAN dalam memberikan contoh sikap menjalankan protokol kesehatan secara disiplin. Mohon jangan lagi berpidato atau memberikan statemen yang disiarkan TV dengan TANPA memakai masker. Saatnya, satu kata sata perbuatan. Ingat rakyat melihat apa yang dilakukan pemimpinnya, bukan sekedar mendengar "permintaan" Presiden.

Pada saat ini Masker adalah simbol KEWASPADAAN dalam keadaan DARURAT. Ketika masker itu dilepas oleh sang pemimpin negara ketika berpidato, maka dalam "pikiran bawah sadar" masyarakat, yang muncul adalah kesan : keadaan sudah "normal", tidak perlu lagi waspada... santuy aja... suka-suka gue... "Indonesia Terserah".

Kedua, Presiden harus berani MENDISIPLINKAN para menterinya dan pejabat tinggi negara dalam disiplin menjalankan protokol kesehatan. Para Menteri dan Pejabat Tinggi harus memiliki mindset bahwa perilaku mereka akan ditiru oleh masyarakat. Mereka bukan hanya "Boss" tapi "Pemimpin" (Leader) yang menjadi panutan.

Jangan biarkan ada menteri yang "mbalelo" alias mensabot instruksi sang Panglima Tertinggi. Para menteri bagaikan para panglima perang dalam melawan pandemi dan krisis sosial ekonomi yang ditimbulkannya. Perilaku mereka di mata "prajurit" (rakyat) harus "impeccable" (tanpa cela). Yang terlihat sekarang adalah "krisis keteladanan".

Jika tetap tidak bisa disiplin, reshuffle saja mereka. Toh banyak menteri yang seakan "bekerja dengan senyap"... seakan "ada tapi tiada"... Banyak menteri yang namanya tidak dikenal masyarakat, apalagi kinerjanya... ide dan solusi TEROBOSAN yang sangat dibutuhkan pada masa krisis sangat minim. 

"Sense of crisis"-nya diragukan, rata-rata masih bekerja di tingkat "business as usual"... Kontribusinya dipertanyakan, seolah-olah mereka "ngumpet" dalam "zona nyaman" di tengah hiruk pikuk pandemi sebagai "Masalah Bangsa Nomor Satu". Presiden seolah-olah ditinggal "sendiri" di garis depan pertempuran. Hanya sejumlah kecil menteri yang tetap "mendampingi di frontline".

Mungkin ada yang menggugat, kok cuma gara-gara tidak disiplin pakai masker dan jaga jarak, menteri sampai dipecat? Itu kan hal kecil, bukan kejahatan seperti korupsi? Itulah cara pikir salah yang merusak negeri kita. 

Mental feodal: Selalu "memanjakan" priyayi dan menolerir kesalahan "kecil" mereka, tapi "tidak ada ampun" terhadap "wong cilik" yang melanggar. Ingat kapal besar akan karam tenggelam karena kebocoran-kebocoran kecil. Apakah kita akan membiarkan "kapal NKRI" tenggelam? 

Di negeri kita, menegakkan sanksi pada orang luar (masyarakat) itu mudah... tapi menindak anak buah sendiri di birokrasi ternyata sulit... lihat saja kasus jaksa Pinangki yang masih berlarut-larut sampai sekarang karena ketidaktegasan Pimpinan Kejaksaan Agung. 

Pada situasi darurat seperti sekarang ini, keberanian sang Panglima Tertinggi menindak pejabat tinggi yang melanggar prokes itu suatu KEHARUSAN... pahit, tapi perlu.

dokpri
dokpri
Masyarakat sekarang melihat maraknya razia pelanggaran PSBB yang tidak memakai masker dengan sanksi push-up, menyapu jalanan dan bayar denda. Tapi itu kan...rakyat kecil. Kita bertanya-tanya apakah sanksi juga diterapkan pada pejabat tinggi yang melanggar? Siapa yang merazia menteri atau jendral? Hanya Presiden yang mampu melakukan itu.

20200919-003739-5f64fb3dd541df53aa745642.jpg
20200919-003739-5f64fb3dd541df53aa745642.jpg
Jika penegakan hukum terus dibiarkan "tajam ke bawah dan tumpul ke atas"... apa jadinya... "apa kata dunia?". Sesungguhnya setelah di-blacklist 59 negara gegara pandemi, Indonesia kini sedang disorot masyarakat internasional. 

Mereka ingin melihat apa yang Presiden Jokowi lakukan menghadapi situasi ini. Apakah ia pemimpin sejati yang dapat memimpin bangsanya keluar dari krisis dengan selamat sejahtera? 

Tiadanya penindakan pada pejabat tinggi menimbulkan "impunity" (bebas dari hukuman) dan menjadikan mereka "the untouchables" (yang tak tersentuh hukum).

Jangan sampai masyarakat makin cuek dan berkata sinis "Jadi pejabat mah, bebaass". Kombinasi lapisan atas yang tak bisa memberikan panutan dan masyarakat yang makin tak peduli adalah... resep sempurna bagi timbulnya bencana dalam skala yang tak terbayangkan. Semoga "tidak terjadi.

*Pandji Kiansantang, 17 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun