Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Setelah Kayu Bakar dan Minyak Tanah Hilang, Akankah Elpiji Menyusul?

8 Januari 2022   14:04 Diperbarui: 8 Januari 2022   14:12 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LPG (Liquified Petroleum Gas) alias Elpiji sudah menjadi kebutuhan rumah tangga di sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahan bakar berupa gas yang dijual dalam tabung merupakan bahan bakar produksi perusahaan gas negara. Akan tetapi urusan distribusi dan penjualan tetap dilakukan oleh induk usaha yaitu Pertamina.

Elpiji nonsubsidi akan naik berkisar 1.600 hingga 2.600 rupiah per kilogramnya, jadi jika membeli elpiji tabung 12 kg akan ada kenaikan 19.200 hingga 31.200 rupiah. Jika satu bulan satu rumah menghabiskan 2 tabung maka kenaikan pengeluaran rumah tangga setiap bukannya berkisar 38.400 hingga 62.400 rupiah.

Bukan jumlah yang sedikit belum lagi harga kebutuhan lain pun ikut merangkak naik seperti listrik. Bahkan harga cabai sebulan belakangan ini mencapai 100.000 rupiah lebih. Sedangkan situasi krisis akibat pandemi belum juga membaik. Banyak masyarakat yang masih terseok-seok memperbaiki kehidupan ekonominya.

Gas sebagai bahan bakar hasil bumi yang dimiliki dan dikelola negara. Hal ini sesuai dengan yang termaktub dalam UUD 1945 bahwa,"hasil bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara." Secara tidak langsung bentuk "monopoli" ini mestinya memudahkan rakyat dalam memperoleh bahan bakar.

Saat saya kecil masih merasakan penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar rumah tangga. Bahkan di kampung halaman saat itu nenek saya masih menggunakan kayu bakar untuk kemudian benar-benar beralih ke minyak tanah.

Bila pulang kampung, saya biasa disuruh nenek untuk beli minyak tanah ke warung terdekat. Dengan dibekali jerigen dan uang beberapa ratus rupiah saya bisa mengisi penuh jerigen ukuran 3 liter, sisanya bisa beli es atau permen.

Minyak tanah digunakan untuk menyalakan kompor bersumbu. Mengisi kompor menggunakan corong kecil ke dalam tabung yang menyatu dengan kompornya. Jika tak hati-hati tumpahan minyak tanah bisa tersambar api selain bau minyak tanah yang sangat khas.

Meskipun minyak tanah dijual di banyak tempat, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar rumah tangga masih cukup besar terutama di pedesaan. Nenek pun masih tetap punya persediaan kayu bakar di belakang rumah meskipun sudah lebih banyak memakai minyak tanah untuk memasak.

Kayu bakar digunakan jika ada acara dan memasak dalam jumlah besar seperti kenduri, mauludan, atau pesta-pesta adat lainnya. Biasanya di kebun belakang akan dibuat tungku dadakan dari tumpukan batu bata. Berjejer hingga 4-5 tungku untuk memasak partai besar. Pasokan kayu bakar pun sudah disiapkan oleh kakek dan pemuda desa.

Sayangnya nenek saya tidak mengalami perubahan minyak tanah ke gas alias elpiji. Nenek saya meninggal masih di masa orde baru sebelum reformasi. Kebijakan perubahan bahan bakar minyak tanah ke elpiji dilakukan oleh pemerintahan SBY, di sekitar tahun 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun