Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memilih Pemimpin Memantulkan Mutu Moral Pemilih

3 Februari 2019   12:33 Diperbarui: 3 Februari 2019   13:25 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada fakta empirik, para politisi dan juga para calon pemimpin kerap menjadikan mimbar doa sebagai media manipulasi hidden interest (kepentingan tersembunyi). Cilakanya para pemimpin agama, kerap mau menjadikan dirinya sebagai media memperlancar manipulasi doa itu.

Dalam tradisi doa orang Kristen, juga mungkin dalam tradisi doa para rekan kaum muslim, selalu ada pengakuan rendah hati  terhadap Tuhan Sang Maha Pencipta, Maha Ada dan Maha Pengada. Dalam tradisi kristen selalu diucapkan doa mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa. Itu arrtinya apa?

Artinya manusia menyadari dan mengakui dirinya tidak bersih atau tidak bebas dari noda dosa. Tetapi manusia yang berdosa  itu diundang atau dipanggil oleh suara moralnya (moral vocation) untuk selalu  mengakui  ketaklayakan hidupnya dalam kehidupan sehari-hari, supaya   tidak berbuat salah lagi. Tidak mau berbuat salah lagi didasarkan pada kesadaran diri tentang keadaan  serba membelum, sehingga kesadaran itulah justru  akan mendorong dirinya sendiri untuk  bertobat dan tidak berbuat dosa  lagi. Itulah yang disebut metanoiya.

Kata para perenung, terutama kaum  meliorisme realis. Dikatakan, manusia percaya jika realitas itu tidak sempurna adanya. Tetapi realitas yang tidak sempurna itu diyakini dapat disempurnakan terus-menerus.

Penyempurnaan atas realitas itu, dalam politik dinyatakan terutama pada dua subyek. Pertama, calon pemimpin itu sendiri. Dia dipanggil secara moral (moral vocation) untuk menyempurnakan dirinya, karena hanya dengan demikian calon pemimpin keluar dari sejumlah keterbatasannya. Dengan kesanggupan dan kesediaan itu, dia layak menjadi calon pemimpin. Kedua, untuk para pemilih. Sikap pemilih dalam memilih pemimpin politik justru direflesikan melalui siapa yang dipilihnya. Kategorisasi moral pemilih ditentukan juga oleh siapa  yang dipilih rakyat. Dengan demikian, pemimpin yang terpilih adalah representasi moral para pemilih atau  pemimpin yang terpilih  memantulkan moral politik pemilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun