YOGYAKARTA-kompasiana.comÂ
Dalam perbincangan dan kajian mendalam di FDTOI (Forum Diskusi Transportasi Online Indonesia) via online, sempat dilontarkan terkait paparan jejak perjuangan dan evaluasi mendalam mengenai proses perjalanan pembuatan payung hukum bagi driver ojek online (Ojol). Hal tersebut dikemukakan dan menjadi bahan open diskusi serta kajian bersama. Dimana sepuluh tahun bukanlah durasi singkat untuk sebuah perjuangan dalam menuntut keadilan hukum (27/06/2025).
Flashback ke belakang sejak kemunculan ojek online, harapan akan regulasi yang memihak driver terus mengemuka. Namun meski istilah "transportasi online" tercantum dalam instrumen eksekutif, dan jejak legislatif, tetapi upayanya seolah terasa buntu. Sepanjang dekade terakhir, upaya merumuskannya di lembaga parlemen selalu mentok dan meninggalkan kekecewaan mendalam.
Pada awal kemunculannya, Tahun 2015 layanan ojek online memecah kebekuan sistem transportasi di kota besar. Akses yang lebih mudah dan lapangan kerja baru menyuntik optimisme masyarakat. Di sisi lain, kekosongan payung hukum menimbulkan berbagai persoalan sejak tarif yang mudah berfluktuasi hingga minimnya jaminan sosial bagi driver.Â
Tahun 2016 narasi pertama regulasi resmi lahir melalui peraturan menteri, tepatnya pada pasal 40 dan 42 PM 32 Tahun 2016, produk hukum ini sejatinya dari Eksekutif Pemerintahan Jokowi saat itu, dibantu Kemenhub, namun lembaga Legislatif DPR tak sekalipun menempatkan isu ini pada Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas). Â Â
Debut kegagalan legislatif itu berlanjut pada tahun berikutnya Tahun 2017. Aspirasi dari jalanan tak berbalas manis dan lagi-lagi tidak masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional. Tak ada satupun rancangan undang-undang yang memayungi transportasi online, begitu pula revisi undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan UU No 22 Tahun 2009. Kekecewaan semakin menebal ketika draft peraturan formal tak kunjung dibahas, seolah ketergesaan eksekutif tak diiringi keseriusan legislatif. Â
Memasuki tahun Tahun 2018 Komisi V DPR Sudah mendengar keluh kesah driver online, namun lagi-lagi belum dijadikan prioritas dan tidak ada inisiatif untuk membuat UU Transportasi Online maupun revisi UU No 22 Tahun 2009
Menginjak Tahun 2019Â desakan aksi aliansi komunitas driver online mencapai puncak. Aksi demo Ojol memaksa parlemen memasukkan rencana revisi undang-undang lalu lintas ke dalam daftar prioritas Prolegnas, tepatnya di urutan ke 44.
Hal tersebut mungkin agar sejalan dengan Eksekutif yang mengeluarkan regulasi setingkat Permen (Peraturan Menteri) yakni PM 12 Tahun 2019 untuk mengatur ojek online. Sayangnya, harapan itu lenyap saat proses legislatif mandek dan draft tertahan di ujung masa sidang.Â