Sastra sebagai aktivitas membaca, menulis, berpikir, menganalisis, menginterpretasi, refleksi, sarana empati dan mengapresiasi sebuah karya, diharapkan mampu menjadi alternatif solusi masalah-masalah etika berkomunikasi di Indonesia.
Etika berkomunikasi di era digital saat ini semakin menurun. Kemunculan media sosial menimbulkan beberapa masalah dalam berkomunikasi. Masalah-masalah itu menurut Haryatmoko (ahli etika dan etika publik) antara lain: penyebaran berita palsu dan kebanalan kebohongan; dampak psikologi yang merugikan pengguna media sosial serta lemahnya intuisi kewaspadaan; munculnya era post truth menggerus kredibilitas informasi; dan berkembangnya jurnalisme warga.
Kebanalan kebohongan berarti berbohong menjadi hal biasa dan cukup diselesaikan dengan klarifikasi. Padahal akibat kabar bohong banyak orang dirugikan. Oleh karenanya klarifikasi tidak boleh dianggap menyelesaikan masalah. Namun justru yang terjadi normalisasi terhadap klarifikasi ketika yang melakukan pejabat publik atau tokoh masyarakat. Sebagai contoh di awal tahun 2025 ini, beberapa pejabat publik menggemparkan dengan ucapan mereka. Mulai dari staff khusus presiden yang mengumpat ke penjual es teh, staff khusus presiden yang mengumpat ke anak SD, menteri yang salah ucap terkait kebijakannya, sampai kepala komunikasi kepresidenan yang melontarkan komentar ngawur terkait teror kepala babi yang diterima kantor majalah Tempo.
Masalah etika komunikasi selanjutnya, yakni media (khususnya online) lebih mementingkan sensasi daripada kebenaran. Objektivitas dan rasionalitas dikalahkan oleh emosi, yang penting viral. Kualitas komunikasi dan informasi diabaikan demi mendapatkan banyak like, viewer, subcriber dan follower. Sebagai media online, memang kecepatan dan keaktualan berita menjadi hal utama. Namun jangan sampai mengesampingkan data, fakta dan kualitas beritanya.
Berikutnya, semua orang bisa menjadi "jurnalis" yang memproduksi informasi tanpa data dan sumber terpercaya. Di era digital banyak bermunculan konten yang orientasinya adalah uang. Banyak podcast bermunculan. Dari sekian banyak podcas itu, sebagian besar pembawa acaranya bukan ahli di bidangnya dan topik yang diperbincangkan tanpa kajian akademis. Padahal konten-konten itu diakses dengan mudah oleh publik. Bahkan dijadikan rujukan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat. Lalu apa yang dapat yang bisa dilakukan oleh masyarakat? Apa peran sastra dalam merespon masalah etika komunikasi di atas?
Sastra: Pemikiran dan Olah Emosi
Sastra diharapkan menjadi salah satu alternatif solusi dari beberapa masalah komunikasi di atas. Memang tidak secara langsung, namun membutuhkan pembiasaan membaca dan menikmati pertunjukkan sastra. Melalui kegiatan membaca sastra, Masyarakat menjadi kritis dan punya daya analitis. Karena pada hakikatnya, sastra tidak sekadar berisi hiburan tetapi kaya akan nilai jika direfleksikan. Melalui tokoh dan konflik dalam karya sastra, pembaca dapat berempati, mengolah emosinya bahkan mampu menentukan sikap.
Untuk dapat menghayati karya sastra, seorang penikmat sastra harus dapat menganalisis dan mengapresiasi isi dari karya sastra itu sendiri. Sastra menyajikan kehidupan problematika manusia dan kehidupan itu sebagian besar berhubungan dengan kenyataan sosial dan nilai moral dalam masyarakat. Penikmat sastra biasanya membaca karya sastra sebagai pengisi waktu luang atau hiburan saja, akan tetapi ada beberapa penikmat sastra yang ingin memperoleh suatu pengalaman baru dari apa yang dibacanya dan ingin menambah wawasan atau pengetahuan untuk memperkaya batinnya.
Menurut Wellek & Warren fungsi karya sastra adalah menghibur sekaligus mendidik, ada unsur keindahan sekaligus edukasi. Karya sastra tidak hanya dinilai sebagai karya seni yang menggambarkan masyarakat atau sekadar ekspresi dan imajinasi pengarang/ penyair saja. Karya sastra merupakan suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi. Baik karya sastra berbentuk prosa, puisi maupun drama, semuanya menawarkan nilai-nilai kehidupan.
Pandangan Wellek & Warren di atas memperlihatkan pengaruh sastra bagi kehidupan manusia. Sastra mampu memberikan nilai-nilai yang bermutu baik dan sangat menginspirasi dan memotivasi pembaca melalui tokoh dan konflik yang dimunculkan. Pembaca yang reflektif, akan mengambil amanat dan nilai dari karya sastra untuk bangkit dari kegagalan atau masa suram kepada kehidupan yang lebih baik. Selain kedua fungsi di atas, karya sastra juga memiliki fungsi kultural. Fungsi kultural ini lebih menempatkan pemahaman bahwa karya sastra adalah salah satu produk budaya, yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki kapasitas untuk memajukan kebudayaan.
Karya sastra sangat terkait erat dengan masyarakat dan kebudayaan. Dalam masyarakat dan kebudayaan apa pun, karya sastra memiliki fungsi dan peran yang sangat penting. Di Indonesia, karya sastra memiliki fungsi dan peran yang berbeda atau berubah-ubah, sesuai dengan kondisi jaman. Dahulu, karya sastra merupakan bagian dari spiritual bagi masyarakat Indonesia. Karya sastra berisi ajaran agama dan pedoman hidup.