Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Najran Tak Pernah Sampai ke Sukabumi

4 Juli 2025   13:11 Diperbarui: 4 Juli 2025   13:11 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                            (Sumber Gambar: Al-Qur'An Quran Scripture - Free photo on Pixabay)

 

Di Hijaz, tahun 631 Masehi---atau 9 Hijriah, tahun yang disebut sebagai 'Am al-Wufud atau Tahun Delegasi---sebuah babak kecil dari sejarah Islam nyaris dilupakan. Delegasi Kristen dari Najran, kota di selatan Jazirah Arab yang dikenal karena biara dan gerejanya, datang ke Madinah. Mereka membawa perbedaan: iman yang memandang Isa sebagai Anak Allah, keyakinan akan salib, dan tradisi yang berbeda jauh dari kaum Muslimin.

Mereka berdialog langsung dengan Nabi Muhammad. Berdebat, saling mengutip ayat, membahas roh dan firman, dan ketika tak kunjung sepakat, Nabi menawarkan mubahalah---doa bersama untuk memohon kutukan kepada siapa yang berdusta (QS 3:61). Tapi mereka menolak. Dan Nabi tidak marah.

Sebagai gantinya, ia menawarkan perdamaian. Ia menulis:

" ..."
 "Bagi mereka jaminan dari Allah dan Rasul-Nya atas agama mereka, tempat ibadah mereka, harta mereka, dan segala yang mereka miliki."

Inilah Perjanjian Najran---sebuah kontrak sosial dan teologis yang menjamin perlindungan penuh terhadap umat Kristen Najran. Tidak satu pun gereja yang dihancurkan. Tidak satu pun salib yang diturunkan. Bahkan praktik ibadah mereka dijamin: para rahib boleh tetap tinggal di biara, misa tetap berlangsung, lonceng tetap berdentang. Nabi menulis bahwa siapa pun yang melanggar perjanjian ini adalah musuh Allah dan Rasul-Nya.

Di antara perjanjian politik dan perintah militer dalam sejarah awal Islam, inilah salah satu dokumen paling progresif tentang hidup berdampingan secara damai. Tapi seperti banyak dokumen perdamaian lainnya, ia tidak diajarkan di sekolah, tidak dikutip dalam khutbah, dan tidak dikenang dalam peristiwa-peristiwa kekerasan.

Sebab Najran, tampaknya, tak pernah sampai ke Sukabumi.

Yang sampai ke sana adalah ketakutan. Ketakutan bahwa nyanyian pujian akan menyulut gelisah. Ketakutan bahwa sekelompok anak muda yang sedang merenung dalam diam bisa mengguncang mayoritas. Dan seperti biasa, ketakutan itu mencari pakaian: "belum ada izin."

Kata "izin" itu terdengar administratif, padahal dalam sejarah kita yang seringkali murung, ia sering dipakai sebagai senjata untuk menyingkirkan. Izin yang bisa digantung tanpa akhir. Izin yang dijadikan pembenaran untuk tak memberi ruang bagi yang minoritas. Izin yang membuat doa menjadi aktivitas yang harus diam-diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun