(Sumber Gambar: Al-Qur'An Quran Scripture - Free photo on Pixabay)
Â
Di Hijaz, tahun 631 Masehi---atau 9 Hijriah, tahun yang disebut sebagai 'Am al-Wufud atau Tahun Delegasi---sebuah babak kecil dari sejarah Islam nyaris dilupakan. Delegasi Kristen dari Najran, kota di selatan Jazirah Arab yang dikenal karena biara dan gerejanya, datang ke Madinah. Mereka membawa perbedaan: iman yang memandang Isa sebagai Anak Allah, keyakinan akan salib, dan tradisi yang berbeda jauh dari kaum Muslimin.
Mereka berdialog langsung dengan Nabi Muhammad. Berdebat, saling mengutip ayat, membahas roh dan firman, dan ketika tak kunjung sepakat, Nabi menawarkan mubahalah---doa bersama untuk memohon kutukan kepada siapa yang berdusta (QS 3:61). Tapi mereka menolak. Dan Nabi tidak marah.
Sebagai gantinya, ia menawarkan perdamaian. Ia menulis:
" ..."
 "Bagi mereka jaminan dari Allah dan Rasul-Nya atas agama mereka, tempat ibadah mereka, harta mereka, dan segala yang mereka miliki."
Inilah Perjanjian Najran---sebuah kontrak sosial dan teologis yang menjamin perlindungan penuh terhadap umat Kristen Najran. Tidak satu pun gereja yang dihancurkan. Tidak satu pun salib yang diturunkan. Bahkan praktik ibadah mereka dijamin: para rahib boleh tetap tinggal di biara, misa tetap berlangsung, lonceng tetap berdentang. Nabi menulis bahwa siapa pun yang melanggar perjanjian ini adalah musuh Allah dan Rasul-Nya.
Di antara perjanjian politik dan perintah militer dalam sejarah awal Islam, inilah salah satu dokumen paling progresif tentang hidup berdampingan secara damai. Tapi seperti banyak dokumen perdamaian lainnya, ia tidak diajarkan di sekolah, tidak dikutip dalam khutbah, dan tidak dikenang dalam peristiwa-peristiwa kekerasan.
Sebab Najran, tampaknya, tak pernah sampai ke Sukabumi.
Yang sampai ke sana adalah ketakutan. Ketakutan bahwa nyanyian pujian akan menyulut gelisah. Ketakutan bahwa sekelompok anak muda yang sedang merenung dalam diam bisa mengguncang mayoritas. Dan seperti biasa, ketakutan itu mencari pakaian: "belum ada izin."
Kata "izin" itu terdengar administratif, padahal dalam sejarah kita yang seringkali murung, ia sering dipakai sebagai senjata untuk menyingkirkan. Izin yang bisa digantung tanpa akhir. Izin yang dijadikan pembenaran untuk tak memberi ruang bagi yang minoritas. Izin yang membuat doa menjadi aktivitas yang harus diam-diam.