Aku menulis surat ini dalam diam yang biasa menyelimuti desa kami menjelang fajar. Angin dari pegunungan tampak lebih lirih, seolah ikut menunduk pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Esok pagi, kalian akan menunaikan salat Ied, dan aku, seperti tahun-tahun lalu, akan diam-diam berdiri di tepi jalan, melihat kain putih, takbir, dan anak-anak yang menggenggam tangan bapaknya.
Selamat Idul Adha, saudaraku.
Selamat merayakan ulang kisah pengorbanan, yang tak pernah tua dan tak pernah selesai diceritakan.
Aku tahu, barangkali kau merasa asing di tengah kampung yang mayoritasnya mengucap "Salam Damai" dan bukan "Assalamu'alaikum." Mungkin kau tak pernah melihat sapi dikurbankan di halaman gereja, atau mendengar takbir menggema di dalam kapela. Tapi, izinkan aku menjadi bagian dari yang menyapamu di hari ini---bukan sebagai orang yang berbeda iman, tapi sebagai saudaramu dalam kehausan akan makna.
Dalam Al-Qur'an, Idul Adha mengingatkan kita pada ayat ini:
"Maka Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar"
(QS. Ash-Shaffat: 107)
Ayat itu tak hanya tentang kambing atau domba, saudaraku. Itu tentang kesediaan Ibrahim yang nyaris mustahil dipahami: menyerahkan yang paling dicintainya kepada Yang Mahatinggi. Kesediaan itulah yang membuat Tuhan sendiri mengubah ujian menjadi rahmat. Kurban menjadi kasih. Anak yang nyaris mati menjadi hidup yang baru.
Aku selalu merasa, ini bukan hanya kisah Islam. Ini kisah kita semua. Bukankah kita semua, dalam cara yang berbeda, diminta menyerahkan sesuatu yang tak ingin kita lepaskan---entah itu kehendak, kekuasaan, impian, atau bahkan cinta?
Imam al-Ghazali (1058--1111) pernah menulis:
"Apa yang menghalangimu dari Tuhanmu bukanlah dunia, tapi dirimu sendiri."
Dan sungguh, aku kira inilah makna kurban: memotong ego, bukan sekadar binatang.
Tentu, di balik semua itu, ada pula kisah yang menjadi mitos suci dalam Islam. Tentang bagaimana setan mencoba menggoda Ibrahim di tiga tempat, dan Ibrahim melemparinya dengan batu. Ritual itu hidup dalam lempar jumrah di Mina, tapi maknanya tinggal dalam jiwa: menggoda manusia agar mencintai pemberian lebih dari Pemberi.
Aku mengagumi itu. Dan aku ingin berkata padamu: keyakinanmu adalah kekuatan, bukan beban. Jangan kecilkan dirimu hanya karena di tempat ini kau minoritas. Justru di sanalah panggilanmu bersinar. Seperti Hajar yang berlari-lari antara Shafa dan Marwah---bukan dalam keraguan, tapi dalam iman yang berani bergerak. Tak ada air saat itu, hanya langkah yang percaya. Dan Tuhan membalasnya dengan zamzam.
Saudaraku, kita boleh berbeda tentang nama-nama dan cara menyebut yang Ilahi, tapi kita bertemu di tempat yang sama: di bumi yang haus akan cinta dan pengorbanan.
Di hari ini, izinkan aku menjadi saudaramu yang mengucapkan:
Selamat Idul Adha.
Semoga kurbanmu menjadi jalan pulang---kepada Allah, dan kepada kemanusiaan yang lebih dalam.
Salam dari sahabatmu,
yang menyebut Allah dalam cara Katolik,
namun mencintaimu tanpa syarat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI