Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sastra Berhutang Nyawa: Holocaust Versi Indonesia, Memori G30S/PKI

30 September 2020   17:18 Diperbarui: 30 September 2020   17:30 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

".... cerpen-cerpen terpilih yag terbit di majalah sastra Horison dan film serta novelPengkhianatan G30S/PKI. Karya-karya ini digunakan dan dimanipulasi oleh penulis-penulis liberal/religius dan agen-agen kebudayaan Orde Baru untuk menyebarkan ideologi anti-komunis yang bertanggungjawab terhadap proses legitimasi terhadap pembantaian massal 1965".

Di bawah ini saya akan memaparkan kutipan-kutipan dalam Novel Pengkhiantan G30S/PKI yang ditulis oleh Aswendo Atmowiloto.

Mendadak suasana damai dalam masjid robek. Ketentraman somplak. Doa lembut diganti dengan teriakan kesetanan. Pintu somplak, dan kilatan senjata-senjata berkelebatan. Pacul, sekop, linggis, pisau, golok, membacok, menusuk, memukul, menyodok, menyongkel tubuh yang duduk semarah. Darah memercik, muncrat ke segala jurusan. Membanjir tikar yang direnggut paksa, dirobek. Kitab Suci Al-Quran dirobek dan diinjak-injak (hal 13).

Sampai dengan proklamasi kemerdekaan, anggota PKI tak pernah kelihatan andilnya dalam peristiwa yang menjadi tonggak kemenangan suci bangsa Indonesia. PKI sesuai dengan ajaran marxisme-Leninisme bergerak kembali menyusun kekuatan untuk bangkit dan merebut kekuasaan. Sebelum seluruh Republik Indonesia bisa dikomuniskan, PKI tak, akan berhenti melakukan aksi-aksinya. Dapat dibayangkan novel ini ditulis dengan berdasar pada fakta sejarah. Artinya kredibilitasnya memengaruhi masyarakat luas cukup tinggi. Masyarakat Indonesia lalu mengalami sebuah fobia atas komunis dan yang ironinya lagi adalah pemakluman atas kisah berdarah yag sempat mengisi sejarah bangsa.

Di samping transparansi Aswendo, muncul pula cerpen-cerpen yang dimuat di majalah Horison yang kurang transparan namun sejatinya justru melenyapkan korban dari atensi pembaca dengan terpusat pada pergulatan psikologi para pembunuh atau eksekutor.

Sebagai contoh cerpen Usamah "Perang dan kemanusiaan".Digambarkan dalam cerpen tersebutsuatu depresi berat dari alter ego Usamah seorang interogator para komunis saat menyaksikan Dr. X mantan dokter keluarganya yang sangat baik, disiksa habis-habisan karena terlibat dalam komunis. Bukan hanya itu, ia pun tak dapat menyelamatkan nama Sri mantan teman sekolahnya dari daftar calon yang akan dibunuh oleh para tentara.


Sedemikian hebatnya depresi yang dialami sampai-sampai baginya, tidak pernah ada tragedi kemanusiaan di dalam pembunuhan para komunis. Tragedi sejatinya adalah ketidakmampuannya dalam mengatasi krisis mental yang ia hadapi sebagai seorang humanis.

"Sampailah saya pada puncak kengerian, selama bertugas di sana. Saya tidak sanggup bertahan lebih lama. Walaupun hal itu biasa dalam medan perang di mana saya sendiri dapat diperlakukan sama seperti Sri kalau PKI menang, tapi jiwa saya, nurani saya, terlalu kecut untuk menghadapi kenytaan-kenyataan dan keharusan-keharusan semacam itu. saya tidak menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Tidak ada yang salah (Horison No. 8, Agustus 1969, 234).

Selain karya Usamah, Gerson Poyk dalam cerpennya "Perempuan dan anak-anaknya" juga mengisahkan mengenai pergulatan psikologi yang dialami oleh tokoh A yang bersimpati terhadap seorang janda dan anak-anaknya.Suami si janda telah dibunuh oleh rekannya karena dituduh komunis. Pada awalnya simpati itu ditampilkan sbagai bentuk dari rasa simpati kemanusiaannya,

"A tidak bisa tidur. Dia meliht mayat-mayat berjatuhan. Ribuan.... dia membolak-balik tubuh dan berpaling, ketakutan.... Matanya menatap langit-langit sambil berusaha melupakan yang baru saja terjadi. Dia mengangkat tangannya dan membayangkan tangan itu adalah tangan K yang membusuk. Dia tertekan dan mencoba membuang ingatan itu ke sudut pikirannya (Horison No. 5 Thn. I (November 1965)."

Dalam bacaan secara lebih lanjut, rupanya rasa simpati itu kemudian dilandasi oleh perasaan asmara karena istri K rupanya adalah mantan kekasih dari A. Kendati demikian, A kemudian mencapai sebuah kesadaran bahwa simpati kemanusiaannya telah membuatnya berkhianat terhadap keyakinannya sendiri, bangsanya dan ideologi negara Pancasila, "Saya telah berdosa terhadap Pancasila".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun