Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Silence

28 April 2020   01:53 Diperbarui: 9 Mei 2020   13:58 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://whytheworldwagstoday.wordpress.com/2019/04/24/embracing-silence/

Teruntukmu "kalian-kalian" yang tidak dapat disebut satu persatu!

Terkadang pemahaman itu tiba kala kita berhenti berlari. Terkadang talenta dapat berbuah di tanah yang tidak ditaburi benih. Dan terkadang si bisu pun bisa bernyanyi. Saya tidak pernah menyangka, "kalian" dapat menamai situasi-situasi ini dengan kata yang tidak pernah saya pikirkan. Sebuah kata yang lahir bukan dari sebuah kepastian, namun ragu; tanda seru yang dibaca dalam tanda tanya: Getsemani #Ina Minsilia, syair tanpa irama #Bonaventura Manalu, sebuah kesedihan dan ajakan untuk pulang #Ube Ube--- sebuah keheningan yang tidak berubah #Ans Santo, karena Bunda sedang terluka #Rio N. Sekali lagi saya tidak pernah berpikir tentang ini, tentang sebuah kata yang muncul setelah bahasa manusia dilukai oleh penderitaan, "tentang Golgota dalam bayang-bayang Corona". Saya tidak pernah menyangka "orang-orang kudus" di dalam gereja setuju dengan Gandhi: My Religion is humanity. --Atau--- apakah ini yang dinamakan hester panim, "saat-saat Allah menyembunyikan wajah-Nya dari kita", entahlah!  

 Mungkin inilah Malam yang oleh Elie Wiesel (1928-2016) diekspresikan sebagai sesuatu yang takkan terlupakan.

"Takkan pernah aku lupakan lidah api itu, yang membakar habis imanku untuk selama-lamanya. Takkan pernah aku lupakan kesunyian malam itu, yang merampas dariku untuk selama-lamanya, seluruh gelora hidupku. Takkan pernah kulupakan saat-saat itu, yang membunuh Allahku dan jiwaku dan menghancurkan semua cita-citaku. Takkan pernah kulupakan semua hal ini, biarpun hidupku akan serasa jadi terkutuk selama-lamanya". (Malam: 51).

Dalam suatu kesempatan yang berahmat, beberapa tahun lalu, saya mengikuti 'Dia' ke Kota Karang masuk ke dalam sebuah Ordo yang pendirinya belum pernah saya lihat mukanya. Hanya gambar, terjemahan tulisan pribadinya (Otobiografi), dan cerita-cerita tak teratur dari mereka-mereka tentangnya. Yang pasti dia lahir di Sallent 1907, sebuah kotamadya di Provinsi Barcelona-Spanyol, yang dibelah menjadi dua bagian oleh sungai Llobregat. Saya harap "kalian" jangan membayangkan yang lain-lain tentang Llobregat, selain Montserrat yang berada di dekatnya. Montserrat, gunung yang sangat mengagumkan, berbentuk pilar-pilar yang terjadi karena proses alam yang luar biasa indah............. dan khusud karena biara Benediktin ada di atasnya. Tapi seperti ketiga Murid--- pengalaman di atas gunung hanyalah sementara, tidak semua orang dapat bertahan di atasnya, terkecuali untuk tourist camp, pecinta gunung, atau terserah 'kalian' menambah apa, asal jangan menetap

(maksud saya adalah supaya kalian jangan berfokus pada Montserrat atau Llobregat, tapi pada cerita yang ingin kusampaikan). Singkatnya saya masuk ke dalam Ordo itu.

Kerabat-kerabatku, di tempat itu, ada hari-hari di mana kami harus menggunakan bahasa Inggris, termasuk saat mengikuti perjamuan Tuhan. Dan justru di situlah, dalam perjamuan Tuhan itulah, saya mendengar nyanyian yang menyayat hati. Sebuah nyanyian yang melambung tinggi, tinggi, dan tinggi sampai-sampai setiap burung yang terpenjara dilepas dari sangkar dan terbang dengan bebas. Nyanyian itu selalu mengundang anjing-anjing liar di kejauhan meratap bersama dengan kurban altar yang dipersembahkan. Bukan doksologi, namun hati yang remuk redam. Dan seperti kata-kata "kalian", saya pun tidak pernah menyangka mengapa lagu tersebut dinyanyikan dalam perayaan Perjamuan Kudus Kristiani, sedang lagu tersebut adalah ratapan seorang Yahudi (Zvi Kolitz) yang sanak saudaranya dibantai di Jerman. Asal "kalian" tahu, lirik lagu tersebut ditulis dengan peluh air mata di Buenos Aires 1945: "saya percaya pada matahari, bahkan jika ia tidak bersinar. Saya percaya pada cinta, bahkan jika saya tidak merasakannya. Saya percaya pada Allah, bahkan ketika Dia diam"(I believe in the sun, even when it is not shining, I believe in love, even when there's no one there. And I believe in God, even when he is silent).

Sebelum saya menceritakan ini lebih lanjut, saya ingin bertanya: menurut "kalian", bagaimana menerjemahkan Silent: sunyi, diam, atau bungkam?

Kalian tentu pernah membaca Novel Shsako End, Silence, yang mengisahkan tentang dua misionaris Jesuit Portugis abad ke-17 di Jepang. Mereka mencari kebenaran tentang apa yang terjadi pada guru mereka yang dikabarkan telah murtad. Ketika mereka berhadapan langsung dengan realitas Kekristenan Jepang, isi dan kekuatan iman yang mereka hadapi menimbulkan tantangan bagi panggilan mereka sendiri dan bagi pemahaman mereka tentang kemuridan.

Saya rasa tidak perlu bercerita lebih jauh karena novel tersebut telah dibuat film oleh Martin Scorsese, dengan pengerjaannya hampir dua puluh tahun. Banyak orang seringkali menyangka bahwa tokoh utama dalam novel tersebut adalah Pastor Sebastian Rodrigues dan rekannya Pastor Garrpe. Namun di dalam novel tersebut (atau pun filmnya) terdapat tokoh-tokoh bisu yang jarang terlibat dialog, melainkan tersenyum dalam kegentaran, menerima kemartiran tanpa kompromi, dan digantung dalam arus laut yang bergelora sambil bernyanyi dengan nada tinggi yang murung.  Apakah mereka-mereka inilah yang disebut Endo dalam judulnya Silence. Sebuah iman yang sederhana, yang ingin mati tanpa harus dikenang sebagai pahlawan. Karena bagi mereka, let me know You, let me love You, let me serve You, and let me praise You, so that all can come to know, to love, to serve, and to praise You, now and for ever, Amen.

Teruntukmu "kalian", yang bukan hanya sebagai pembaca, namun saksi-saksi tragedi ini, siapa yang bungkam atau siapa yang diam, Allah? Korban? Ataukah kita sendiri? Saya hampir yakin, setelah wabah ini, iman kita tidak akan lagi dapat rampung seperti sebelumnya. Iman terkadang harus diam. Ada kelemahan dalam iman yang mengetahui jawaban atas semua pertanyaan teodise.

Kutunggu suratmu dari Ordo ini. Ordo yang kumasuki beberapa tahun yang lalu.

Warm Regard

Petrus Pit Duka Karwayu

30 Maret 2020.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun