"Mengapa kamu tidak berbicara banyak sewaktu makan?" tanya Krapf.
"Kalau semua bicara siapa yang mendengarkan."
"Bukan itu maksudku. Setidaknya kamu bicara barang sekata," Krapf menimpali.
"Aku hanya bermenung. Apa yang akan kukatakan esok saat jemaat berkumpul." kata Rebmann pelan dan murung.
"Kamu lihat, mereka memperlakukan kita seperti Raja."
"Benar, tapi kita makan seperti rumah kita sendiri," jawab Rebmann kesal.
"Apa maksudmu?" tanya Krapf tegas.
"Sudahlah! Beristirahatlah. Jangan lupa bangunkan aku besok."
"Hemm" Krapf hanya mendehem tak iklas.
Malam kian larut. Begitu gelap permukaan bumi dan di langit panorama bintang-bintang menjadi etalase agung galaksi. Di padang gurun yang luas, keindahan langit disulam cahaya aorora meliuk-liuk seperti lampu sorot pada tetaer Las Vegas-- memantulkan cahaya ular-ular yang merayap pelan dan licik tanpa suara menghirup urin di pasir bekas kaki pelancong.Â
Di sudut yang lain, gemuruh ombak Segitiga Permuda melantunkan nyanyian pemberontakan, mengaburkan siluet-siluet batu karang yang jauh lebih tegar dari baja Menara. Â