"Bapak, makan malam kita telah siap," bisik seorang gadis mewakili tim pemasak di dapur pastoran.
"Bagus. Ayo kita makan," Yaks mengajak kedua misionaris untuk santap malam.
"Makanannya kelihatan aneh, tapi kalau sudah di lidah pasti mau lagi."
"Mungkin kita perlu berdoa sebelum makan," tegur Rebmann mencoba sesantun mungkin.
"Bapa kami yang ada di Sorga, dikuduskanlah namamu," pimpin Rebmann yang langsung disambung oleh Yaks dan Krapf pun gadis-gadis di dapur.
Seolah telah lama tidak berdoa. Ada yang mengucapkan batah. Kadang salah. Para gadis di dapur lebih pelan. Mungkin takut salah. Mungkin belum melafal dengan baik. Atau mungkin karena khusud berdoa.
Malam yang umumnya sunyi ditemani nyanyian jangkrik tidak mendekap perjamuan malam itu. Nikmatnya makanan khas tradisional Mozambik ayam piri-piri dengan rempah yang harum membuat kedua misionaris asing tadi merasa makan di rumah sendiri. Belum lagi Nasi Jollof yang pedasnya membuat tubuh berkeringat seakan mencangkul pekarangan rumah.
"Mereka tak seaneh yang kubayangkan. Tuhan terimakasih," batin Krapf sambil terus mengunyah.
"Yang ini apa?" tanya Rebmann sambil menunjuk potongan tart di meja.
"Ini melktert, semacam milk tart kalau di Jerman," ujar Yaks menjelaskan.
"Ini makanan khas kalian?" Krapf menambahkan.