Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: mitraindonesia.id

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menguji Konsistensi Netizen Budiman Berkomentar di Medsos

30 Juni 2025   19:36 Diperbarui: 30 Juni 2025   19:36 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Netizen budiman berkomentar, kasihan malingnya buka saja pintunya, lepas ikatannya biar dia bisa pulang ke rumahnya, dia seorang ayah yang mencari nafkah buat anak-anak dan istri.

"Jangan dipukuli bisa-bisa mati malingnya. Jangan main hakim sendiri, kasih saja dia uang," kata netizen budiman tadi.

Nah, ketika netizen budiman yang berkomentar positif tadi rumahnya disamperin maling, giliran dia jadi provokator "bakar malingnya", sadis!.

Cerita diatas tadi menguji konsistensi netizen berkomentar di media sosial yang lumrah terjadi di masyarakat netizen atau warganet, terutama di era media sosial, di mana empati bisa berubah menjadi emosi massa dalam sekejap---tergantung siapa yang terkena dampaknya.

Netizen budiman yang awalnya terkesan bijak dan penuh empati, menyerukan kebaikan, belas kasih dan menentang kekerasan terhadap bromocorah. Tapi ketika giliran dia sendiri menjadi korban, responsnya justru bertolak belakang dari komentarnya. Mendadak bengis, hilang rasa empatinya.

Banyak orang mudah bersikap adil dan berbelas kasih... selama mereka tidak menjadi korban. Tapi ketika realita menyentuh langsung kehidupan mereka, idealisme bisa runtuh dan tergantikan oleh naluri balas dendam.

Kadang empati yang ditunjukkan di media sosial bukanlah empati sejati, tapi lebih kepada pencitraan atau tren.

Dari "rasa kasihan" sampai umpatan "bakar!", hal ini memantik reaksi massa berubah dengan cepat dan tidak rasional.

Komentar netizen di media sosial seringkali tidak mencerminkan sikap aslinya. Mudah bicara di hadapan publik, tapi sulit bersikap konsisten saat dirinya jadi korban oleh keadaan nyata.

Ini merupakan sindiran sosial yang tajam---dan penting untuk direnungkan bersama, apakah kita benar-benar adil dan konsisten dalam menilai perbuatan negatif seseorang? Atau hanya terlihat baik di media sosial, sebelum merasakan  menderita menjadi korban?.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun