Sepertinya tempat-tempat bordil atau prostitusi segera dioperasionalkan kembali agar mereka melampiaskan nafsu bejatnya di tempat-tempat tersebut ketika birahi sedang memuncak. bukan disalurkan kepada anak gadis yang tidak berdosa apalagi anak kandung sendiri. Ketika semua hukum dijalankan setengah hati, hasilnya pasti “bobrok”
Saya kehabisan kata-kata, tega-teganya seseorang yang diberi amanah melindungi masa depan anak gadisnya, kok malah memperkosanya secara bergilir, ibarat peribahasa indonesia ‘Pagar Makan Tanaman’.
Kekerasan seksual merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai kekerasan struktural. Kekerasan seksual terhadap anak tidak dapat dipungkiri adalah sisi lain dari ketidakadilan keseharian yang kerap kita jumpai dalam bentuk-bentuk diskriminasi, pemaksaan, pembungkaman dan penindasan. Yang dialami TF (15) mengingatkan kita bahwa pembelaan kekerasan terhadap anak gadis dibawah umur harus tetap dilakukan secara intens, sebab kenyataannya perempuan belum pernah bebas dari jerat kekerasan dan saya yakin masih banyak TF lain yang kasusnya belum tersingkap.
Kekerasan seksual ataupun kekerasan terhadap manusia tidak akan berhenti selama kehidupan sehari-hari jauh dari perilaku hidup yang bermakna bagi manusia. Dengan demikian, komitmen-komitmen kemanusiaan harus tetap terjaga. Karena tidak terpenuhinya tempat aman serta nyaman sekiranya pantas saya menyebut Indonesia rawan kejahatan moralitas.
Kebiasaan-kebiasaan menyayat hati itu seperti ingin menyampaikan bahwa mereka (pedofil, penjahat asusila) kebal jerat hukum yang dilakukan setengah hati. Memanfaatkan kelemahan sistem mencuri lengahnya pengawasan, kemudian bergentayangan dikelengahan prahara rumah tangga.
Dari pemberitaan media online kasus pemerkosaan terhadap anak, adalah cerminan puncak Himalaya siap mencair kapan saja, karena kasus ini lebih sering menimpa anak relatif tidak terlaporkan. Tidak tahu mau bicara apa lagi seperti nukilan diatas.
Makassar, 2 Agustus 2016