Mohon tunggu...
Pipit Indah Oktavia
Pipit Indah Oktavia Mohon Tunggu... Fresh Graduate dari Fakultas Hukum Universitas Jember

Menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena ingin belajar lebih banyak. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember yang percaya bahwa perspektif bisa tumbuh dari cerita sederhana. Di Kompasiana, saya ingin berbagi, bukan menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Lelah Fisik Bisa Pulih, Mental Belum Tentu

9 Juli 2025   07:52 Diperbarui: 9 Juli 2025   07:52 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sering banget diminta untuk "istirahat dulu" kalau terlihat kelelahan secara fisik. Disuruh makan yang banyak, tidur cukup, minum vitamin, dan rehat sejenak. Tapi ketika yang lelah itu bukan otot, melainkan hati dan pikiran, semuanya jadi jauh lebih rumit. Lelah fisik bisa dipulihkan dalam semalam. Tapi kelelahan mental? Kadang diam-diam menetap berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, tanpa orang lain sadar, tanpa kita sendiri bisa menjelaskan kenapa.

Realita dunia kerja sekarang sering membuat kita terjebak dalam rutinitas yang menguras energi bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional dan psikologis. Target yang gak pernah habis, notifikasi yang terus menyala, ekspektasi yang selalu tinggi, dan rasa bersalah kalau beristirahat. Kita hidup di tengah budaya kerja yang memuji "sibuk" sebagai simbol sukses, tapi lupa memberi ruang untuk bertanya: "Apakah aku baik-baik saja?"

Salah satu hal paling berbahaya dari kelelahan mental adalah betapa sunyinya dia. Kita tetap datang ke kantor, senyum ke rekan kerja, mengirim email tepat waktu, bahkan produktif secara angka. Tapi di dalam, mungkin sedang rapuh. Kelelahan mental gak selalu terlihat. Gak ada demam atau flu yang bisa dijadikan alasan untuk istirahat. Tapi efeknya jauh lebih dalam: kehilangan motivasi, mudah marah, susah fokus, bahkan merasa hampa meski segalanya terlihat "baik-baik saja".

Menurut World Health Organization (WHO), burnout atau kelelahan kerja secara mental diakui sebagai fenomena serius dalam dunia kerja modern. Ini bukan sekadar stres biasa, tapi kondisi kronis akibat tekanan pekerjaan yang berkepanjangan dan tidak dikelola dengan baik. Burnout bisa menurunkan produktivitas, merusak relasi sosial, bahkan memicu gangguan kesehatan mental yang lebih berat seperti depresi dan kecemasan.

Sayangnya, banyak dari kita yang masih mengabaikan tanda-tanda itu. Kita lebih takut dicap malas daripada jujur bahwa kita sedang lelah secara mental. Kita memilih untuk diam, terus bekerja, lalu pulang dengan tubuh capek dan pikiran yang makin keruh. Bahkan ketika fisik sudah beristirahat, kepala masih sibuk mikirin kerjaan. Bangun tidur gak terasa segar, karena istirahat yang kita jalani cuma dari luar bukan dari dalam.

Memulihkan lelah mental bukan perkara tidur cukup atau liburan ke luar kota. Itu memang membantu, tapi yang paling penting adalah mengembalikan koneksi dengan diri sendiri. Kadang kita perlu jujur: apakah pekerjaan ini masih sehat untukku? Apakah ekspektasi yang aku jalani ini milikku sendiri atau tekanan dari luar? Apakah aku masih tahu kenapa aku melakukan ini semua?

Lelah fisik bisa selesai dengan istirahat. Tapi mental butuh lebih dari itu. Butuh ruang, butuh penerimaan, dan yang paling penting: butuh keberanian untuk mengakui bahwa kita manusia biasa. Bahwa kita punya batas. Bahwa produktif itu penting, tapi gak lebih penting dari waras.

Kalau hari ini kamu ngerasa lelah, bukan cuma karena kurang tidur tapi juga karena kepala dan hati yang sesak, berhenti sejenak bukan berarti kamu lemah. Justru itu tanda bahwa kamu cukup kuat untuk menyadari: tubuh boleh sibuk, tapi jiwa juga butuh pulang.

Referensi Tambahan:

World Health Organization (WHO). Burn-out an "occupational phenomenon": International Classification of Diseases. (2019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun