Mohon tunggu...
Pipit Indah Oktavia
Pipit Indah Oktavia Mohon Tunggu... Fresh Graduate dari Fakultas Hukum Universitas Jember

Menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena ingin belajar lebih banyak. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember yang percaya bahwa perspektif bisa tumbuh dari cerita sederhana. Di Kompasiana, saya ingin berbagi, bukan menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Kehidupan di Lamongan

23 Juni 2025   20:15 Diperbarui: 23 Juni 2025   20:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Animasi kehidupan di desa

Kalau bicara soal Lamongan, kebanyakan orang langsung ingat soto, pecel lele, atau Persela. Tapi buatku, Lamongan lebih dari sekadar tempat asal makanan enak atau klub bola yang pernah berjaya di kasta tertinggi. Lamongan adalah rumah. Tempat di mana hidup berjalan dengan ritmenya sendiri nggak terlalu cepat, tapi juga nggak tertinggal zaman. Ada yang bilang Lamongan itu kota kecil, tapi justru di situlah letak istimewanya. Karena meski kecil, hidup di sini terasa penuh.

Hidup di Lamongan itu tentang keseimbangan antara alam, tradisi, dan kehidupan modern yang pelan-pelan ikut masuk. Pagi hari dimulai dengan suara azan subuh dari masjid terdekat, lalu disambut aroma nasi jagung atau lontong tahu dari penjual keliling. Suasananya adem, apalagi kalau sedang musim panen padi, sawah-sawah di pinggiran kota berubah jadi lautan hijau yang menyegarkan mata. Di desa-desa, aktivitas pertanian dan perikanan masih jadi nadi ekonomi, sementara di kota, geliat UMKM dan toko-toko kecil terus hidup walau kadang harus berhadapan dengan pasar modern dan persaingan harga.

Yang menarik, Lamongan tetap menjaga identitasnya. Banyak tradisi masih dijaga. Mulai dari sedekah bumi, tradisi selametan, hingga budaya gotong royong yang masih terasa kental, terutama di daerah pinggiran. Bahkan di tengah era digital seperti sekarang, kehidupan sosial masyarakatnya masih sangat guyub. Kita masih bisa merasakan sapaan hangat dari tetangga, berbagi sayur matang, atau sekadar ngobrol di pos ronda. Hal-hal seperti itu mungkin terdengar remeh, tapi justru jadi penguat batin.

Namun, bukan berarti hidup di Lamongan tanpa tantangan. Isu-isu seperti akses pendidikan, lapangan kerja, dan infrastruktur tetap jadi PR yang perlu diselesaikan. Banyak anak muda Lamongan yang harus merantau ke kota-kota besar demi pendidikan atau pekerjaan. Tapi di sisi lain, Lamongan juga terus berkembang. Akses jalan membaik, peluang usaha bertambah, dan minat generasi muda untuk membangun daerah asalnya mulai terlihat. Beberapa desa bahkan mulai mengembangkan potensi wisata lokal dari wisata religi, wisata bahari, sampai edukasi pertanian.

Buatku pribadi, Lamongan adalah tempat yang selalu bisa jadi ruang pulang. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, Lamongan menawarkan keheningan yang tenang. Di kota ini, kita belajar hidup tanpa harus terburu-buru. Kita belajar bersyukur dari hal-hal kecil. Belajar menikmati hidup yang nggak harus selalu heboh tapi tetap bermakna.

Jadi, kalau kamu pernah lewat Lamongan dan cuma menganggapnya sebagai kota persinggahan, coba deh berhenti sebentar. Rasakan ritme kotanya. Nikmati makanannya. Lihat wajah-wajah warganya. Karena di balik kesederhanaannya, Lamongan menyimpan banyak cerita yang nggak akan kamu temukan di kota besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun