Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi dan Kekuatan Mama

10 Desember 2020   10:30 Diperbarui: 10 Desember 2020   10:46 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada letupan tajam yang membelah garis baku kehidupan ketika pandemi covid-19 menggoncang jagat dan menggelisahkan hidup manusia zaman ini. Pandemi memaksa kehidupan harian biasa yang bebas menjadi ritme hidup terpola.

Pandemi seakan mengisyaratkan tanda krusial dengan menggusur kemapanan dan  memberi cela pada jendela keterpurukan. Dengan itu, pandemi selain mengubah nasib tetapi juga kazanah nilai hidup yang harus digumuli dan direkontruksi secara baru.

Aneka dampak destruksitif dari pandemi terasa menggelapakan atau mengaburkan  pandangan kita yang biasanya tetapi bukan soal logika seharusnya dimana bisa menjerumuskan hidup kita. Justru pandemi menggiring kita pada zona pemahaman baru bahwa hidup harus senatiasa dibaharui. Sebab segala kenyataan akan berubah dan yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri.

Bila digeluti secara teliti, pandemi justru menjadi titik protes dengan gerakan untuk kembali. Gerakan kembali itu merupakan suatu penggiringan manusia dari gelaja eksternalitas terhadap internalitas.

Dari tatanan yang terlihat mapan, pasti dan biasa kepada agenda yang tak pasti, terasa miris dan penuh gejolak. Dari bentangan ketakpastian dan ketercerawutan ini menjadi peluang untuk meramu nilai dasariah dalam memperkokoh hidup.

Secara faktual terlihat bahwa pandemi mengembalikan kita kepada rumah keluarga, kepada didikan sejati orang tua tanpa atribut yang nihil makna, kepada kesadaran akan rahim yang telah menyambung nafas bagi hidup kita dan kepada diri sendiri. Sebab disana kita menemukan otentisitas diri sebagai pribadi yang terberi dan terdidik. 

Oleh karena itu adagium klasik "Gnothi se Authon"-"kenalilah dirimu" harus menjadi seruan yang tak lekang dalam waktu dan terhapus dalam ingatan kita. Lebih tepatnya, kalimat yang harus menjadi pertanyaan yang terus menerus menggugat eksistensi kita.

Bila dicermati baik secara biologis maupun religius ditemukan bahwa hidup adalah sesuatu yang terberi. Hidup sebagai anugerah (religius) dan hidup itu dilahirkan (biologis). Berarti keberadaan hidup diberikan dan ditentukan. Oleh karena itu hidup tidak selamanya hanya dinikmati tetapi juga harus digeluti.    

Keluarga dan Sosok Mama

Bagi saya, pergumulan diri dan hidup dihadapan bayang-bayang pandemi bukan perkara yang mudah. Ada berbagai benturan dengan resiko seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan akan mengganjal laju perjalanan hidup. Sebab itu keharusan itu berada dekat keluarga adalah jawaban sederhana untuk menggenapi aneka tuntutan hidup sekaligus mengindahkan anjuran yang disuarakan disaat pendemi.

Keluarga sebagai tempat dan situasi yang paling mungkin menyelematkan hidup (kesehatan), menunjang kebutuhan harian (ekonomi) dan pengasuhan nilai (edukasi) bagi kita. Boleh dibilang keluarga adalah perpanjangan tangan dimana program pemerintah bisa diejawantahkan. Spesifiknya yakni pendidikan formal harus terjadi dalam rumah keluarga dengan bantuan dan kerja sama semua anggota keluarga.

Maka makna keluarga harus dicerna dengan baik. Kelurga itu adalah istana yang dibangun ayah. Keluarga itu rahim yang diwakili mama. Keluarga itu lingkaran cinta yang tak terputuskan. Tanda penghubungnya adalah aliran darah yang selalu terhubung dan terikat kuat. Dan itu hadir dalam diri sudara dan kerabat yang tak bisa disangkal.

Keluarga itu tempat dimana jiwa kita dibentuk, paras kita dipoles dan jalan kita dituntun. Keluarga pemberi identitas ibarat baju yang menutupi ketelanjangan tubuh dan kekosongan diri kita. Bahkan oleh karena keeratan keluarga makhota keberasilan boleh kita raih. Ibarat kapal yang engkau tumpangi menuju tepian seberang.

Dan yang tak boleh dilupakan adalah keluarga adalah mata pertama yang melihat kejatuhan kita dan tangan pertama yang akan akan mengusap air mata kegagalan kita serta kekuatan pertama yang menarik dan membangunkan kita. Keluarga juga memberikan situasi istimewa yang selalu menginspirasi kita bagaimana kita menenum jati diri.   

Namun tahukah kita bahwa dari berbagai kriteria dan sumbangan keluarga itu sebenarnya ada dalam diri mama. Yach, mama menjadi sosok yang fundamental ruang dan rumah keluarga.

Dengan rahimnya mama melahirkan. Dengan air susunya mama mengasih supaya kita bertahan hidup. Dengan pangkuannya mama mengasuh supaya kita terjaga. Dan dengan logika tangannya kita diasah menjadi pribadi yang kuat dalam hidup.

Sosok mama kita kenal dan tahu namun bagi saya tak ada satu pun kata yang cukup kuat untuk menggambarkannya. Mama bahkan hadir dan telah mewakili segalanya bagi hidup kita. Walau hidup oleh, dari mama namun terkadang hidup kita jarang untuk mama. Ini miris. Seperti ironi politik yang sulit menyentuh kekotoran rakyat.

Teknik meutika dalam tempahan mama

Kahlil gibran dalam puisisnya yang terkenal "anakmu, bukanlah milikmu" seakan mempromosikan posisi kemandirian dan kemerdekaan anak. Dengan prioritas bahwa anak merupakan pribadi yang bebas dalam hidupnya dan perjuangan untuk meraih masa depan. Pernyataan ini benar adanya. Namun pengagungan berlebihan terhadap ideologi Gibran ini akan mencederai aspek kewajaran dalam hal edukasi.

Di sini yang perlu digaris-bawahi adalah tidak pernah ada keterlepasan total soal panutan sosok dalam keluarga terhusus sosok mama. Keluarga seperti bahan bakar yang menyanggupkan  rosa hidup berjalan dan seperti kendaraan yang kita tumpangi menuju masa depan. Lepas dari kontrol keluarga ibaratnya pohon tanpa akar yang hanya menunggu waktu tuk roboh oleh tiupan angin kencang.

Bagi saya masa pandemi merupakan saat tepat dimana semua orang harus menggali kembali kekuatan edukatif dalam keluarga. Sebab keluarga sebagai wilayah intim dan substansial dalam aspek penanaman nilai-nilai. Oleh karena itu tidak pernah salah jika kesempatan ini kita bernostalgia tentang ajaran dari keluarga terkhusus mama.

Secara pribadi saya hidup bersama mama hingga sampai waktunya harus berpisah karena harus pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan SMP. Kurang lebih 12 tahun hidup bersama mama, saya terasa sangat berat karena pekerjaan harian yang melelahkan.

Selain harus pergi ke sekolah kurang lebih satu jam lebih untuk ke sekolah, ketika pulang saya harus memasak, mencuci pakaian, pergi menjemput mama di kebun untuk membawa pulang hasil kebun yang sangat berat. Bagi saya berat bakul yang saya junjung atau pikul tidak seharusnya diletakan untuk anak seumuran saya.

Pekerjaan harian ini sudah menjadi rutinitas yang pasti. Kelalaian akan tugas ini maka saya akan dirotani. Hal yang pasti adalah ketika malam saat belajar dengan lampu pelita, saya menangis karena bekas rotan itu masih ada, sakit bahkan membekas ditubuh saya. Kesakitan-kesakitan ini tidak pernah membuat saya takut dan benci terhadap mama. Karena hanya dialah harapan saya.

Ketika hidup sendiri jauh dari mama hingga saat ini, saya akhirnya mengerti apa artinya perlakuan mama terhadap saya. Saya memahami bahwa mama telah menanamkan dimensi perjuangan hidup yang cukup keras dalam diri saya. Mama telah melatih saya bagamana harus hidup sendiri dikota. Mama telah memberikan saya tantangan sejak saya kecil. Dan mama telah membangkitkan hasrat hidup baik sejak saya kecil.

Hari ini saya mengerti pola didikan mama bahwa sesungguhnya walaupun mama tidak pernah mencampuri niat, cita-cita masa depan saya namun ia mempunyai andil dalam mengusung saya pada pencapaian itu.

Mama secara tidak langsung menempah saya seperti metode meutika sokrates di zaman Yunani kuno. Metode kebinanan yang berusaha, membantu mengeluarkan bayi dalam kandungan ibu. Suatu metode untuk menarik keluar kemampuan dalam diri seseorang agar ia tumbuh menjadi diri sendiri sesuai kapasitas yang ia miliki.

Melalui metode ini mama telah membentuk pola kepribadian, hasrat hidup, dan jiwa yang kuat dalam mengarungi kehidupan. Hingga hari ini, saya tidak takut akan apapun tantangannya dalam hidup karena mama.

Yang paling penting dan terhapuskan dari memoriku adalah dibawah kaki gunung berapi rokatenda itu hingga akhir hayatnya, mama orang yang telah, terus melukis wajahku dalam tenunannya sehingga aku bisa berdiri disini sekarang. Terima kasih mama!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun