Mohon tunggu...
Pinto Basuki
Pinto Basuki Mohon Tunggu... wiraswasta -

wong jawa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Saatnya Digitalisasi UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1

28 Februari 2017   23:17 Diperbarui: 1 Maret 2017   00:19 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Pasar ilang kumandhange. Demikianlah salah satu petikan dalam ramalan Jayabaya yang masyhur. Yang secara harfiah berarti pasar hilang gema/suaranya. Dan ramalan itu hari ini kian menjadi nyata. Jika dulu banyak yang melihatnya dikarenakan semakin sepinya pasar dikalahkan dengan mall dan swalayan, kini lebih konkrit lagi perwujudannya ketika pasar berpindah ke lapak-lapak digital. Demikan adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan dalam era digital ini. Dimana internet menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat pada umumnya.

Bahwa Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dimana di masa lalu kita boleh bangga dengan status swasembada pangan kita. Namun kini "keagrarisan" itu mulai terkikis oleh zaman. Generasi sekarang sedikit yang mau meneruskan tradisi sebagai petani dan lebih memilih sektor lain sebagai pekerjaan. Tentu ini menjadi keprihatinan mengingat tanah kita dikenal sebagai tanah yang "loh" alias luar biasa subur. Hingga Koes Plus pun mengatakan tongkat kayu saja bisa jadi tanaman.

Tentu bukan tanpa sebab hal tersebut terjadi. Menjadi petani sekarang dianggap kurang menjanjikan secara ekonomi. Seringkali petani harus menderita kerugian ketika masa panen tiba karena harga yang anjlok. Belum lagi ditambah cuaca ektstrim yang juga mempertinggi resiko gagal panen. Salah satu masalah yang kentara tentunya adalah masalah mata rantai distribusi yang panjang sehingga petani harus menerima harga yang rendah meski di tingkat konsumen harganya tinggi. Ada yang sudah memulai memutus mata rantai tadi dengan memanfaatkan pasar digital tadi. Menjual langsung kepada konsumen. Namun sayangnya belum semua orang mampu atau bahkan tahu tentang teknologi tersebut.

Maka disinilah semestinya pemerintah sebagai penyelenggara negara berperan lebih aktif. Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat satu:  (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Pada masa saya kecil dulu dalam ingatan samar saya memahami peran aktif pemerintah melalui koperasi. Dimana harga beli komoditas pertanian dikontrol melalui koperasi tersebut. Yang mana jika tak salah ingat saat itu sangat populer adalah Koperasi Unit Desa (KUD). Sementara saat sekarang yang lebih polpuler adalah Koperasi Simpan Pinjam yang mana lebih banyak pinjam ketimbang simpannya :D.

Dalam angan-angan saya yang awam ini bolehlah pemerintah melindungi petani dengan memanfaatkan pasar digital tadi. Yaitu dengan menggalakkan kembali KUD versi digital. Tentunya harus didukung dengan sosialisasi dan persiapan SDM yang benar. Pemerintah seyogyanya menjadi jembatan antara petani sebagai produsen dengan pedagang ataupun konsumen langsung yaitu dengan menyediakan suatu lapak tersendiri. Dari sana pemerintah bisa mengontrol harga atau bahkan memberikan subsidi jika memang diperlukan.

Jika kehidupan petani lebih terjamin maka saya yakin, pamor kita sebagai negara agraris akan terangkat kembali dan swasembada pangan bisa kembali kita genggam. Karena jika pekerjaan sebagai petani menjanjikan maka generasi mendatang akan lebih mudah untuk diajak terjun ke sektor ini. Perihal cuaca ekstrim, pemerintah juga semestinya bisa membantu petani melalui dunia digital ini dengan bekerjasama dengan pihak yang kompeten. Misalnya saja dengan membuat aplikasi yang mampu memeprhitungkan kondisi cuaca perkiraannya dengan masa tanam.

Dan Telkom adalah mitra yang sangat tepat untuk digandeng mengingat sejauh ini Telkom adalah pemilik jaringan terluas di suluruh Indonesia. Apalagi dengan diluncurkannya  Satelit Telkom 3S tentu menambah luas dan kuat jaringan Telkom. Dengan demikian program tersebut bisa membantu hingga pelosok-pelosok tanah air dimana banyak petani-petani konvensional berdiam.

Apa yang saya bicarakan ini mungkin memang hanyalah sebatas mimpi. Bahkan saya tak tahu apakah secara teknis itu bisa diwujudkan atau tidak. Tapi setahu saya segala hal yang bisa dibayangkan atau diimpikan bisa diwujudkan. Mungkin bukan oleh saya atau pun bukan sekarang tapi suatu saat nanti. Siapa tahu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun