Mohon tunggu...
Pinggala Mahardika
Pinggala Mahardika Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia

Gitu aja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tur Kecil-kecilan

1 April 2019   18:23 Diperbarui: 1 April 2019   18:54 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kopi, nongkrong, obrolan yang tidak penting, suara tawa, dan alunan musik payung teduh menjadi rutinitas kami setiap malam. Malam itu malam minggu, tepatnya setelah bagi raport semester ganjil kami nongkrong dirumah Langit. Rumah Langit merupakan markas besar grup "Keraton". Keraton bisa dibilang sebagai genk yang anggotanya merupakan teman-teman dekatku di sekolah.

Malam begitu hening pada saat itu, ditambah lagi dengan alunan mellow music folk jazz dari payung teduh membuat suasana semakin syahdu. Entah mengapa, pada waktu itu masing-masing dari kami seperti enggan mengeluarkan suara untuk memulai percakapan. 

Madi mengisi kekosongan waktu dengan menggosok akar bahar untuk dijual. Akar bahar adalah tumbuhan laut yang biasanya diolah menjadi berbagai kerajinan tangan yang bernilai tinggi.

Ayah Madi merupakan salah satu pengrajin akar bahar yang cukup terkenal di Kota Muntok, maka dari itu ia melakukan hal tersebut untuk menambah uang saku ketika menjelang liburan. 

Beda lagi dengan Gembul, games adalah  santapan yang dilahapnya setiap hari. Ia selalu up to date dengan dunia games. Kalau sudah memgang androidnya, ia tidak bisa diganggu lagi bagaikan batu, tak peduli hujan tak peduli panas. Lain ceritanya dengan Apri, ia adalah seorang madridista sejati. 

Kecintaannya pada Real Madrid tak ada yang bisa menandinginya. Ia rela mengorbankan matanya menahan rasa kantuk demi menyaksikan laga klub kesayangannya itu. Jika ia melewatkan satu pertandingan, ia akan menontonnya lewat youtube tanpa memikirikan berapa banyak kuota yang dihabiskan untuk itu. Pinho, merupakan anak hits masa kini. Ia yang paling modis diantara kami. 

Foto foto yang diunggah di akun instagramnya selalu banjir 'like'. Hal itu membuat followers instagramnya melesat dengan drastis bak selebgram papan atas. Kalau Buluk, masih saja sibuk membalas chat dari berbagai wanita. Handphonenya tak pernah sepi. Ia adalah playboy kelas kakap yang harus diwaspadai setiap wanita. Buluk tak pernah kehabisan amunisi untuk meluluhkan hati wanita. 

Aku bingung mengapa begitu banyak wanita yang terpikat olehnya. Bolehlah kusebut dia sebagai mafia cinta dan asmara kaum abg labil. Sedangkan Langit, masih berjibaku di dapur menyiapkan kopi dan mie goreng untuk kami. Dan aku, hanya bisa termenung dengan gitarku yang memainkan melodi sumbang tak berirama sambil melamuni apa yang harus kulakukan selama liburan nanti.

Tak lama setelah itu, Langit mengantar kopi dan mie goreng ke ruang tamu. Hanya butuh beberapa saat bagi kami untuk melenyapkan mie goreng itu dari piring. Bunyi perut yang tadinya menggerutu seperti orang mau demo perlahan-lahan mulai kondusif dan terkendali. 

Setelah merasa kenyang, barulah obrolan "ngalor-ngidul" keluar dari mulut para ningrat Keraton. Mulai dari kondisi politik, harga cabai, model motor masa kini, nilai rapot semester yang amburadul, skor pertandingan sepak bola, tingkah laku tetangga sekitar rumah, sampai rumah tangga orang menjadi bahan diskusi para ningrat keraton.

Di tengah-tengah percakapan yang ngalor ngidul itu, tercetus satu ide gila yang keluar dari mulut Buluk.

"Liburan masa di Mentok trus, bosen ah. Mending besok kita ke Pkp yok? Modal bensin aja cukup kok." Ujar Buluk.

"Modal bensin? Kau gila ya? Aku lagi gaada duit, mau  makan pake apa? Masa makan batu., ogah ah!", balas Langit.

"Aduh, masalah kaya gitu kok pusing. Gampanglah, yang penting modal badan,aja cukup kok. Aku ikut, duitnya belakangan! Hahahaha.", pungkas Gembul.

"Mumpung aku ada tabungan cadangan nih. Daripada duitnya aku abisin buat yang ga jelas, mending buat ngetrip aja. Aku juga lagi pengen jalan-jalan, sekalian nyari channel baru, hehehehe.", kata Pinho.

"Bener tuh, kalo ada niat pasti ada jalan. Banyak jalan menuju Roma, boii.", Buluk menjawab sambil bersemangat.

"Aku sih yes, mas Anang. Gimana kalo mas Dhani?", jawab Apri sambil tertawa.

"Kalo aku nunggu proyek dari Boss cair. Biar ga kelaperan disana nanti. Hahahah", lanjut Hadi.

"Oke deh kalo gitu, kalo semua mau pergi, aku ikut juga deh. Kebetulan honor manggung minggu kemaren masih aku simpen, sengaja buat liburan.", aku menjawab.

Dengan begitu, artinya semua personil keraton menyetujui ide tersebut. Tapi biasanya, jawaban seperti itu bukan berarti ide tersebut akan terlaksana. Banyak ide-ide serupa tidak pernah terealisasi, tak jauh beda seperti para politikus melontarkan janji-janji manis dari mulut mereka, omong kosong belaka. Namun kali ini, Buluk menanggapi serius jawaban kami dan ia sangat bersemangat mengenai hal itu.

"Kali ini aku serius, lho. Kalau beneran mau pergi, kita tentuin tanggalnya dari sekarang. Biar bisa ngumpulin duit dulu, ya minimal bisa buat beli bensin dan isi perut seadanya.", ujar Buluk.

"Oke, aku setuju. Tapi masa nanti kita disana Cuma sehari? Ngga seru ah.",  jawab Pinho.

"Ya udah deh, mending tiga hari aja biar puas. Ngga tanggung-tanggung.",  lanjut Gembul.

"Tapi nanti kalo tiga hari, mau tidur dimana kita? Kan ngga mungkin kalo kita tidur rame-rame di emperan toko.", balas Apri.

"Kalo masalah itu sih gampang. Disana ada kost kakak aku. Kebetulan kakakku juga lagi pulang ke Mentok, jadi sekarang kostnya kosong. Kalo mau ntar aku pinjem kuncinya biar kita nanti bisa nginep disana, gimana?", kata Buluk.

"Boleh juga tuh. Aku ikut. Fix.", tanpa berbasa-basi Langit menjawab.

"Okelah kalo begitu, tapi sepertinya minggu ini aku dan keluargaku mau mengunjungi nenekku yang ada di Simpang Katis. Tapi jarak antara rumah nenekku dan Pkp tidak begitu jauh. Kalau kalian benar-benar ingin pergi, hubungi aku saja biar aku bisa menyusul kalian.", pungkas Madi.

Sedangkan aku, hanya menganggukan kepala yang berarti aku setuju dan tidak mau ambil pusing dengan hal tersebut. Walaupun sebenarnya di dalam otakku sedang berfikir keras bagaimana caranya untuk mendapatkan  uang dalam waktu yang singkat. 

Saat itu di dalam dompetku  tidak ada uang satu rupiahpun dan yang tersisa hanyalah kertas-kertas nota, dan kartu pelajar yang membuat dompetku terlihat sedikit berisi. Aku pun mencari solusi untuk menggemukkan kembali dompetku .

Keesokan harinya, ketika aku hendak mengambil handuk di halaman belakang rumah, aku melihat beberapa aki motor yang sudah soak berjejer di sudut gudang. Tak jauh dari situ, terdapat pula potongan-potongan besi dari knalpot bekas yang sudah berkarat. 

Melihat hal itu, tiba-tiba sebuah Ide gila muncul dalam otakku. Ya, mungkin kau bisa menebak apa yang akan aku lakukan. Tepat sekali, aku akan menjual aki-aki soak beserta potongan-potongan besi itu. Dan itu artinya, aku sudah menemukan solusi yang mujarab untuk mengakhiri masa paceklik di dompetku. Tanpa berfikir panjang, aku bergegas mandi dan kemudian langsung melakukan pergerakan bawah tanah. 

Aku mengendap-endap seperti maling sembari memasukkan potongan besi dan aki-aki itu ke dalam karung. Jika saja ayahku sampai tahu ulahku kali ini, bisa murka dia. Aki-aki yang telah lama dikumpulkannya, aku jual begitu saja tanpa permisi. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Hanya ini yang bisa kulakukan dalam keadaan yang mendesak seperti ini, karena aku sudah tidak tega melihat dompetku terus menderita. Kalaupun aku meminta uang secara baik-baik ke ayahku, itu sama saja seperti menanam padi di tengah gurun pasir, tidak akan ada hasilnya. Aku hanya berharap nanti ketika ia tahu dengan kelakuan ku kali ini, dia bisa memakluminya. 

Aku lekas menuju tempat pengepul untuk menjual aki-aki dan potongan besi itu. Kami melakukan tawar menawar sampai terjadi kesepakatan harga. Begitu harga pas, aku langsung tancap gas. Dompetku kini terlihat gemuk kembali, pertanda masa paceklik yang melanda telah berakhir. Krisis moneter ku kali ini dapat teratasi berkat strategi ekonomi "Jubebu", jual besi buruk.

Segera kusampaikan kabar gembira ini kepada teman-temanku lewat grup BBM. Mereka menanggapi dengan respon yang positif. Gembul mengusulkan agar malam ini Keraton mengadakan pertemuan untuk membahas rencana kami untuk pergi ke Pkp. Para ningrat keraton mengiyakan usulan itu.

Pada malamnya, kami sudah berkumpul di rumah Langit. Kopi dan beberapa cemilan telah tersaji dengan rapi di ruang tamu. Buluk membuka suara memulai persidangan untuk menentukan waktu keberangkatan. Masing-masing dari kami melontarkan argumen. 

Pinho berkata ia tidak bisa pergi bersama dengan kami dikarenakan besok pagi ia harus pergi ke Pkp karena ada acara keluarga. Begitupun Madi, ia juga nanti akan mengunjungi rumah neneknya yang ada di Simpang Katis. Namun mereka tetap bisa menyusul kami bila kami telah tiba di Pkp. Tinggalah Buluk, Langit, Gembul, Apri, dan aku yang tersisa untuk menyepakati tanggal keberangkatan. Lalu kami sepakat untuk pergi ke Pkp 3 hari lagi, yaitu hari Rabu. Untuk masalah kendaraan, aku, Buluk, dan Apri yang akan membawa motor. Akhirnya, sidang telah usai dan kesepakatan sudah tercapai.

Keesokan paginya, selepas bangun tidur aku langsung menuju ke garasi di samping rumah. Beberapa motor tua usang berjejer diselimuti debu yang sudah menebal. Semua motor itu mesinnya sudah rusak semua. Namun, ada satu motor yang terbalut oleh kain putih. Kutarik kain itu, dan tampaklah wujud dari balik kain tersebut. Ya, itu adalah motor Honda Tiger yang telah dimodifikasi menjadi model antik CB 100. 

Warnanya putih, tangkinya mulus, spakbor dan velgnya masih mengkilap. Mesinnya terawat, dan motor itu jarang digunakan oleh ayahku. Karena itu adalah motor kesayangan ayahku, hanya ia kendarai pada saat-saat tertentu. 

Berkilo-kilometer aspal telah dilewatinya, mulai dari, Pkp, Sungailiat, Toboali, Jambi, Palembang, Lampung, hingga Jakarta. Aku tertarik untuk mencoba menyalakan mesinnya. Dengan sekali engkol, dan brrmmm... Motor itu telah hidup. Suaranya bagaikan auman singa yang terbangun setelah terlelap begitu lama, begitu gagah dan garang. Aku terlalu menikmati suara itu sampai aku tidak menghiraukan suara ayahku dari depan toko.

Kemudian ia berteriak, "Hei Bang, kenapa kau hidupkan motor itu? Mau kemana kau?"

 "Ng, nggak apa-apa. Cuma iseng, mau ngetest aja gimana suara motor ini. Hehehe.". jawabku gugup.

"Awas kalau nanti kamu pakai diam-diam. Nanti motor itu rusak, ayah sudah bosan dengan kelakuanmu. Ngga pernah awet kalo pakai barang. Tahunya cume pake aja, ngerawat ngga mau.", balas ayah sambil menatapku tajam.

Setelah ia ngomong seperti itu, aku langsung menciut mendengar perkataannya. Padahal, aku baru saja mau ngomong dengan ayah bahwa aku mau memakai motor itu untuk pergi ke Pkp. Tapi apa mau dikata, dia sudah murka melihatku menghidupkan motor kesayangannya itu tanpa sepengetahuanya. Apalagi kalau ia tahu aku sudah menjual besi dan aki miliknya, aku tak bisa membayangkan raut wajahnya nanti. Sementara ini, ku kubur dalam-dalam hasratku untuk mengendarai motor CB 100 itu. 

Biarlah, mungkin besok atau ketika aku mau berangkat nanti aku baru akan menyampaikan maksudku. Karena aku sudah terbiasa meminta sesuatu ke ayahku secara mendadak. Biasanya dia tak sempat mempertimbangkannya lagi bila aku meminta sesuatu kepada ayah kalau mendesak. Menunggu keadaan menjadi kembali kondusif adalah solusi yang paling tepat.

Selepas magrib, HP ku berbunyi. Berisik sekali, karena BBM yang masuk begitu banyak. Aku menduga pasti itu adalah pesan-pesan dari para ningrat keraton. Dan benar saja, dugaan ku kali ini benar. Namun, kali ini bukan kabar baik yang kudapat. Rupanya keributan di dalam grup bbm itu disebabkan oleh pernyataan Apri yang tidak jadi ikut pergi ke Pkp. Hal itu membuat Buluk menggerutu tak henti-henti. Tak hanya Apri, Langit juga membatalkan niatnya karena suatu alasan yang tak bisa dijelaskan. 

Pesan-pesan berisi umpatan ditulis Buluk walaupun tidak ada maksud untuk serius. Namun aku tahu Buluk kecewa karena hal itu. Dan kini, yang masih bertahan tinggal Buluk, Gembul, dan aku. 

Aku juga belum tahu kelanjutan nasibku setelah peristiwa tadi pagi. Bagaimana aku mau pergi kalau aku tidak ada kendaraan, aku risau, Jangan sampai Buluk tau hal itu, kalau tidak "kata-kata mutiara" itu akan kembali terlontar dari mulutnya. Sudah menjadi karakternya bahwa mulutnya memang lincah dan berbisa dalam berkata. Aku lebih memilih tidak mengatakan apapun kepada Buluk dan mencari solusi terbaik untuk mengatasinya.

Aku mulai berfikir untuk mencoba membujuk ayah pada keesokan harinya. Jangan sampai rencana kami gagal hanya gara-gara aku tidak ada kendaraan. Aku harus pandai bernegosiasi dengan ayah. 

Ayah adalah orang yang tidak suka diganggu ketika ia sedang focus bekerja. Maka dari itu, aku mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan maksudku. Tengah malam adalah waktu yang sangat pas untuk melakukakan hal tersebut. Jadi aku menunggu ayah menyelesaikan pekerjaannya sampai tengah malam. Ketika waktunya tiba, aku menghampiri ayah yang sedang santai menonton televise. Dengan suara yang halus, aku mulai berbicara dengan ayah.

"Yah, besok abang mau pergi."

"Mau pergi kemana?"

"Ke Pkp.",

"Mau ngapain?"

"Refreshing yah, hehehe."

"Trus, apa maksudnya mau ngomong sama ayah. Pasti ada maunya nih. Kalo mau minta duit, ayah lagi ngga punya."

"Bukan, bukan itu. Kalo masalah duit aku masih ada yah. Sebenernya bukan masalah duit, tapi takut ngomongnya."

"Emangnya mau ngomong apa? Kok bertele-tele sih?"

"Engga yah. Cuma mau bilang abang besok ke Pkp mau bawa motor."

"Ooh, mau minta ijin ya? Boleh kok kalo naek motor. Ayah ngga ngelarang. Kalo mau tuh pake motor supra. Mesinnya kan ngga ada masalah, bensinnya irit lagi."

"Iya sih yah, tapi masa jalan jauh pake motor butut kaya gitu. Ngga kenceng lah, bisa ketinggalan nanti. Kalo boleh, abang mau pake motor CB yah. Soalnya kan motor itu enak kalo dibawa touring, ngga bakalan capek naekinnya. Ayah juga kan sering bawa motor itu kemana-mana. Masak abang ngga boleh bawa motor itu?"

"Hmmm... Gimana yah, ayah pikir-pikir dulu deh."

Setelah itu, ia langsung bergegas menuju kamar meninggalkan aku sendirian di ruang tivi. Tapi, jika mendengar apa yang ayah ucapkan tadi, dapat aku simpulkan bahwa ada kemungkinan bagi ayah untuk mengizinkan aku untuk memakai motor kesyangannya. Namun, itu cuma perkiraan ku saja. Mungkin ayah sudah lelah sehingga ia enggan untuk berbicara panjang lebar mengeluarkan omelannya karena itu akan membuat jam tidurnya berkurang. 

Dan kini, aku pasrah. Aku tidak tahu besok apa yang akan terjadi. Akankah Buluk dan Gembul nanti kecewa jika aku tidak diizinkan ayahku untuk membawa motor. Ahh, tapi sudahlah. Sudah terlalu malam untuk memikirkan hal itu. Yang bisa kulakuan saat ini hanyalah memejamkan mata diatas ranjang sembari menunggu keajaiban saat besok pagi.

Dalam mimpiku, aku mendengar suara yang memanggil namaku. Suara itu seakan tak henti-hentinya menyebut namaku hingga akhirnya aku terbangun dari tidurku..Dan benar saja, ketika aku keluar dari kamarku suara itu benar-benar ada. Jarum jam menunjukkan pukul 6 pagi. Kubuka pintu samping rumahku, kudapati Gembul telah duduk manis di ayunan teras rumah. 

Setelannya terlihat sangat lengkap, memakai sepatu, jaket sweater, tas ransel, dan kacamata yang dipakai di atas kepala. Aku heran, mau apa dia pagi-pagi buta seperti ini datang kerumahku mengenakan setelan seperti itu. Kalaupun mau mengajakku pergi jogging, alangkah tak pantasnya pakaian yang dikenakannya itu. Kemudian aku bertanya kepada Gembul.

"Hei, mau apa kau pagi-pagi buta seperti ini  datang kerumahku?", tanyaku penuh keheranan.

"Lho? Piye iki mas? Jangan pura-pura lupa deh.", jawab Gembul.

"Apanya yang lupa? Aku Cuma heran kenapa pagi ini kau terlihat sangat necis. Mau kemana sebenarnya kau ini?", tanyaku lagi.

"Gawat kau ini. Masa kau lupa dengan rencana kita?" balas Gembul.

Aku terdiam dan berfikir sejenak mencerna perkataannya. Ah ! Aku lupa kalau hari ini adalah hari keberangkatan kami ke Pkp. Tanpa banyak bicara, aku tinggalkan Gembul sendirian di teras rumah dan bergegas untuk mandi. 

Saat mandi, pikiranku tidak terfokus pada sabun, sampo, dan sikat gigi. Aku malah memikirkan bagaimana caranya untuk membujuk ayahku agar mengisinkan aku untuk mengendarai motor CBnya. Kalau aku gagal merayunya, maka gagal juga rencana kami. Setelah keluar dari kamar mandi aku langsung berbelok menuju kamar ayahku. 

Ku lihat ia sedang tertidur pulas. Aku takut membangunkannya, tapi jika itu tidak kulakukan, apa yang harus aku jelaskan kepada Gembul dan Buluk kalau aku sebenarnya tidak diizinkan untuk membawa motor CB itu. Tapi pikiranku sudah terlalu kacau, dan aku tak lagi menghiraukan apapun. Apa saja akan aku lakukan asalkan rencana kami berjalan sebagaimana mestinya. Kemudian aku mencoba membangunkan ayahku. Kugoyang-goyangkan pundaknya sampai ayahku tersadar Aku tahu ini tidak baik, namun keadaan akan semakin buruk jika hal ini tidak kulakukan. 

Ayahku pun terbangun. Aku bingung apa yang harus aku katakan terlebih dahulu. Jantungku berdebar, aku takut kalau ayahku tiba-tiba menyerangku dengan kata-kata mautnya yang membuat aku tunduk tak berdaya. Ia hanya mengerutkan dahinya sambil menatap ku penuh keheranan.

"Ada apa bang?", tanya ayahku sambil mengusap-usap matanya.

"Yah, aku mau ke Pkp pagi ini. Tapi belum ada kendaraan, sedangkan Gembul sGembulh ada di depan rumah menungguku. Dia tadi diantar ibunya, jadi ngga bawa motor. Jadi boleh ngga abang bawa motor cb ke Pkp? Mendesak nih, abang juga ngga enak sama si Gembul, udah nungguin dari tadi. Aku mohon, sekali ini saja yah.", jawabku.

Tiba-tiba ayahku langsung beranjak dari tempat tidurnya, cuci muka, dan langsung menuju garasi. Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya, karena ia tadi belum memberikan jawaban apapun. Seketika ia langsung mengeluarkan motor CB itu dari garasi dan memeriksa setiap bagiannya. Perasaanku sedikit lega, sepertinya ia akan mengizinkan aku untuk membawa motor itu. Namun setelah ia mengecek semua bagiannya, ia menemukan per rem belakang itu kendor. 

Hal itu bisa menyebabkan rem menjadi blong. Ah, sial ! Bagaimana ini ? Rencana kami bisa berantakan. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Sedangkan Gembul masih menunggu di teras samping rumah. Apa yang harus ku katakan pada Gembul dan Buluk ? Kalau ku katakana pada mereka tentang hal ini, pasti mereka akan kecewa.

"Yah, bagaimana ini? Bisakah kita perbaiki dulu yah?", tanyaku.

"Hmm..", ayahku menggumam.

 "Nanti ayah akan coba dulu. Siapa tau ayah masih menyimpan per bekas yang masih bisa digunakan. Tunggu sebentar.", kata ayah.

Setelah itu, aku menghmapiri Gembul dan menyuruhnya masuk ke dalam garasi rumahku. Aku berusaha untuk tenang, dan menceritakan hal yang terjadi. Namun, Gembul dengan santai menanggapi hal tersebut. Ia yakin kalau kami pasti akan berangkat ke Pkp. Entahlah, dengan kondisi yang seperti ini mustahil kami bisa berangkat kesana. Aku hanya berharap ayahku dapat mengatasi hal ini. Tak lama kemudian, ayahku muncul kembali sambil membawa beberapa per bekas. 

Aku coba membantu ayah memasang per itu, begitupun Gembul. Dan per itu berhasil terpasang walaupun tidak sempurna. Setidaknya masih bisa untuk ngerem. Melihat kondisi motor yang seperti itu, ayahku menyarankan agar membawa motor yang satunya lagi. Tapi aku bersikeras ingin membawa motor itu. 

Kali ini, ayahku sudah bosan mendengarku terus-terusan merengek. Akhirnya ia mengizinkanku membawa motor kesayangannya itu. Akan tetapi, jika ada apa-apa, ia tidak mau tahu karena ia sudah berkali-kali melarangku membawa motor itu. Aku tak peduli lagi, yang penting aku sudah diizinkan untuk membawa motor itu. Aku pun lekas menyiapkan peralatan yang akan dibawa nanti.

Kini, aku dapat menghela nafas untuk sesaat setelah aku selesai menyiapakan peralatanku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Aku dan Gembul sudah bersiap-siap sambil memanaskan motor. Akan tetapi, aku merasa masih ada hal yang mengganjal. Dan benar saja, hal itu disebabkan oleh Buluk yang tak kunjung datang kerumahku ataupun memberi kabar. 

Gembul menebak pasti Buluk masih tertidur pulas. Sudah menjadi kebiasaan Buluk bangun siang ketika sedang liburan. Jangankan liburan, saat waktu sekolah pun ia kerap kali datang lebih dari jam 8 pagi. Namun, ia tak pernah ambil pusing dengan hal itu. 

Tiba-tiba, seseorang belok ke halaman rumahku mengendarai motor scoopy warna putih merah. Kalian pasti bisa menebak siapa yang datang. Ya, orang itu adalah Buluk. Raut wajahnya terlihat abstrak, seperti benang layang-layang yang kusut. Aku tebak orang ini pasti belum sempat cuci muka dan gosok gigi.

"Mau kemana kalian ini?", tanya Buluk dengan tatapan yang sendu.

"Konyol ah, jangan pura-pura lugu. Aku dan Gembul Gembulh siap-siap nih.", jawabku.

"Jadi ya mau ke Pkp? Kirain ngga jadi. Hahahah.", balas Buluk sambil tertawa.

"Eleh eleh, kan kau yang punya ide kok jadi kau yang lupa. Mendingan sekarang kau pulang kerumah terus mandi, siapin barang-barang, abis itu balik lagi kesini. Kami tunggu.", cetus Gembul.

"Okesip mantap boss, laksanakan !", ujar Buluk.

Sekitar setengah jam kami menunggu Buluk. Ketika ia kembali kerumahku, ia telah mengenakan setelan touring, lengkap dengan sepatu bot dan kacamatanya. Ia nampak sangat siap untuk memulai perjalanan. Tepat jam 7.30 pagi, kami meninggalkan Kota Muntok untuk pergi ke Kota Pangkalpinang.

Pagi itu terasa sangat damai. Jalanan seperti bersahabat dengan kami. Matahari memancarkan sinarnya dengan lembut. Namun, perasaanku tetap tak tenang. Aku tetap waspada karena kondisi rem motorku yang sewaktu-waktu dapat rusak kembali.

Perjalanan Mentok-Pangkalpinang kami tempuh dalam waktu kurang lebih 2,5 jam. Kami bersyukur karena selama perjalanan kami tidak menemui hambatan yang berarti. Sesampainya di Pangkalpinang, kami langsung menghubungi Madi. Madi yang saat itu masih berada di rumah neneknya, menyuruh kami untuk menghampirinya. Lalu, kami menuju jalan Sungai Selan untuk menuju ke arah Simpang Katis. 

Kami kira daerah Simpang Katis letaknya tidak begitu jauh dari Kota Pangkalpinang, namun dugaan kami salah. Daerah Simpang Katis merupakan bagian dari Kabupaten Bangka Tengah. Membutuhkan waktu lebih dari setengah jam untuk bisa sampai ke daerah Simpang Katis. Madi sudah menunggu di dekat Kantor Camat untuk menjemput kami. Jarak dari Kantor Camat ke rumah Nenek Madi juga lumayan jauh.Sesampainya di rumah Nenek Madi, tiba-tiba Buluk langsung menggerutu.

"Kami kira hanya butuh kurang dari 15 Menit untuk bisa sampai kesini, ternyata dugaan kami salah. Sialan kau Madi, hahahah.", cetus Buluk sambil tertawa.

Matahari telah merangkak naik, jam menunjukkan pukul 11.00. Kami dihidangkan santapan makan siang yang leat oleh nenek Madi. Sungguh beruntungnya kami, karena bisa makan siang gratis.   

"Tidak menyesal jauh-jauh kesini ya, hehehehe.", Gembul berkata.

Seusai makan siang, kami tidur siang di rumah nenek Madi. Badan kami sudah terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan, oleh karena itu kami harus mengisi stamina kami agar tidak sempoyongan di jalan.

Ketika menjelang sore, kami kembali ke Kota Pangkalpinang. Kali ini, Madi ikut dengan kami karena ia ingin menginap di Pkp. Setelah sampai di Kota Pangkalpinang, kami langsung menuju kostan Kakak Buluk untuk meletakkan barang-barang kami.

Lelah yang kami rasakan membuat kami malas untuk pergi kemana-mana. Tapi, kami juga merasa suntuk jika kami hanya berdiam diri di dalam kost.

"Hei, kalo kaya gini bukan liburan dong namanya. Masa pergi jauh-jauh ke Pkp cuma buat tidur? Ayo dong, kita nongki di Alun-Alun!", kata Buluk penuh semangat.

"Boleh-boleh, disana banyak jajanan kan?", jawab Gembul.

"Oke deh kalo gitu, aku ikut.", jawabku.

"Aku juga.", sahut Madi.

Malam itu, kami berjalan menuju ke Alun-Alun Taman Merdeka. Suasana kota Pangkalpinang pada saat itu sangat ramai. Banyak kendaraaan yang hilir mudik, jauh berbeda keadaannya seperti di kota kami. Kami mengambil tempat nongkrong di dekat tribun yang berada di seberang Rumah Walikota. Setelah itu, kami berkeliling mencari jajanan dan kembali ke tribun sambil menikmati bandrek. Seperti biasanya, kami selalu mengisi acara nongki kami dengan obrolan-obrolan ngawur sambil ditemani lagu Payung Teduh.

Hari sudah larut malam, mata kami sudah kehabisan daya. Kami memutuskan untuk kembali ke kostan. Badan sudah sempoyongan, menendang engkol motorpun rasanya tak sanggup lagi. 

Ketika hendak kembali ke kost, tiba-tiba aku mendengar seperti ada benda yang patah di bagian belakang motorku. Braakk ! Langsung ku hentikan laju motorku, dan menepi menuju bahu jalan. Buluk langsung menghampiri kami. Setelah diperiksa, ternyata tromol roda belakang ku patah. Hal itu menyebabkan motor ku tidak bisa mengerem dan membuat tuas rem ku berhimpitan dengan sasis belakang. 

Keadaan itu membuat aku panik, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Mungkin karena ini ayahku melarangku mengendarai motor  ini. Aku menyesal melanggar larangan ayahku. 

Malam itu sudah menunjukkan pukul 22.30, sangat mustahil bagi kami untuk mencari bengkel ataupun toko motor untuk membeli sparepart. Aku, Gembul, Buluk, dan Madi mencoba mencari solusi untuk mengatasi hal ini. Dengan kondisi motor yang seperti ini, sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Sesaat aku melamun sembari menatapi jalanan. Kulihat ada gerombolan motor CB yang melintas di depanku. 

Aku sepertinya sudah menemukan solusi untuk hal ini. Pikiranku langsung tertuju kepada ayahku, walaupun berat untuk mengatakan apa yang sedang aku alami sekarang. Namun, hanya inilah usaha yang bisa kulakukan pada saat itu. Aku pun menghubungi ayahku. Setelah aku ceritakan semuanya, untungnya dia tidak memarahiku. 

Ayahku mencoba menghubungi ketua komunitas CB Pangkalpinang untuk membantuku. Tak butuh lama untuk menunggu, segerombolan motor CB langsung menghampiri kami. 

Kuyakin mereka adalah teman ayahku. Kemudian mereka langsung menanyakan apa yang terjadi dan menawarkan bantuan. Setelah itu, kami digiring menuju markas mereka untuk memperbaiki motor CB ku.

Sepanjang perjalanan, kami diiringi motor CB yang membentuk formasi sperti konvoi. Bermacam-macam jenis dan bentuknya. Motor ku berada di tengah-tengah formasi. Aku merasa seperti Presiden yang dikelilingi oleh Voorijder. Pengalaman itu sangat mengesankan bagiku.

Setelah sampai di markas mereka, motorku segera ditangani oleh tim mekanik. Aku dan teman-temanku hanya bisa terdiam melihat mereka beraksi dengan kawanan kunci dan obeng itu. 

Tak sampai satu jam, motorku telah sehat kembali. Setelah itu, kami pamit berterima kasih pada mereka,  kalau saja aku tidak dibantu mereka rencana liburan kami bisa berantakan. Kami pun kembali ke kost dengan perasaan lega.

Keesokan harinya, Pinho datang ke kost. Ia baru bisa mengahampiri kami hari ini karena acara keluarganya telah selesai. Hari ini kami berencana untuk pergi ke Danau Kaolin di Koba, Bangka Tengah. Kebetulan, pada hari itu Tia dan Zizi sedang berlibur di Pangkalpinang. Mereka ingin ikut dengan kami ke Koba. Sekitar jam 10.00, kami menjemput mereka di penginapan dekat Masjid Jamik. Akhirnya, aku, Buluk, Gembul, Hadi, Pinho, Tia dan Zizi bergegas menuju ke Koba.

Itu adalah kali pertama aku pergi ke Koba. Aku sangat terkesan dengan pemandangan di sepanjang jalan Namang-Koba. Pantai-pantai yang berada di pinggir jalan sangat indah dan bersih, terdapat pondok-pondok kecil yang tertata dengan rapi, jalannya juga mulus.

Kami menempuh jalan Pangkalpinang-Koba dalam waktu kurang dari 1 jam. Sesampainya di Koba, kami berhenti di tengah kota untuk beristirahat sejenak sambil makan siang. 

Pepohonan yang rindang membuat kami terbuai dalam rasa kantuk. Namun, kami lebih memilih untuk menahan rasa kantuk daripada harus mengorbankan waktu liburan kami. Setelah itu, kami berdiskusi mengenai destinasi mana yang akan kami tuju lebih dahulu. 

Madi mengusulkan untuk pergi ke air terjun Desa Sadap, karena jaraknya yang tidak begitu jauh dari pusat kota. Ia juga sudah familiar dengan jalannya. Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan kami ke air terjun Desa Sadap.

Air terjun Desa Sadap terletak di bawah kaki bukit yang tidak kuketahui namanya. Udaranya sangat sejuk. Aku merasa seperti berada di daerah pegunungan di Pulau Jawa. Bedanya, jika disana kita melihat hamparan kebun teh, disini kita akan disuguhkan oleh pemandangan hamparan tanaman lada.

Butuh waktu kurang dari 20 menit untuk bisa sampai di parkiran air terjun Desa Sadap. Untuk masuk ke kawasan wisata Air Terjun Desa Sadap ini, kami hanya dikenakan biaya parkir sebesar 5 ribu rupiah. Harga yang sangat murah untuk sebuah kawasan wisata yang sudah menyediakan fasiltas area parkir dan kamar mandi. Dari tempat parkir, kami harus berjalan kaki kurang lebih 500m untuk bisa sampai di Air Terjun. 

Ketika sampai di kawasan air terjun, kami disambut oleh bongkahan batu granit yang berdiri kokoh. Di seberang batu, berdiri tembok tinggi yang di dalamnya terdapat areal pemandian yang airnya berasal dari mata air yang berada di puncak. Gembul dan Pinho sudah tidak sabar lagi untuk basah-basahan, begitu juga denganku. Kami pun akhirnya berenang sambil menikmati keindahan air terjun Desa Sadap.

Sore pun telah tiba. Kami terlarut dalam canda dan tawa selama berada di air terjun. Awan mendung bergerak makin mendekat dan hari sudah mulai gelap, pertanda hari akan turun hujan. Kami pun memutuskan untuk kembali ke Pangkalpinang.

Ketika hujan sudah sangat lebat, kami memacu motor kami lebih kencang. Tiba-tiba, di dekat pertigaan jalan setelah keluar dari Desa Sadap, ban motor Buluk pecah. Kami semua terkejut, ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang ekstrim membuat kami semakin panik. 

Madi yang berada paling depan terus saja memacu motornya karena ia tidak tahu jika motor Buluk mengalami pecah ban. Aku dan Gembul berusaha untuk menyusulnya, sementara Buluk, Zizi, Tia, dan Pinho mencari tukang tambal ban terdekat. Namun karena lebatnya hujan kami tidak bisa mengejar Madi. Aku dan gembul berbalik arah dan ikut mencari bengkel. Untungnya, tidak butuh waktu lama untuk menemukan bengkel terdekat. Kami pun menemani Buluk memperbaiki motornya.

Sembari menunggu motor Buluk diperbaiki, kami beristirahat untuk minum teh di kedai yang berada di seberang bengkel. Sementara itu, Tia dan Zizi berusaha untuk menghubungi Madi. Namun, selalu gagal karena tidak ada sinyal. Kami hanya bisa menunggu motor Buluk selesai sambil menanti hujan reda.

Begitulah sekilas perjalanan kami. Tidak akan ada habisnya jika kuceritakan semua kisah-kisah kami pada kalian. Banyak peristiwa tak terduga yang telah kami alami. Baik suka maupun duka telah kami lewati bersama. 

Aku selalu mencari hikmah yang bisa kupetik dari kejadian yang telah ku alami bersama sahabat-sahabatku. Ingin rasanya kuhabiskan waktu lebih lama lagi dengan mereka untuk membuat lebih banyak memori. 

Namun sebentar lagi kami akan berpisah, meniti masa depannya masing-masing menuju tangga kesuksesan yang telah ditakdirkan olehNya. Terima kasih Tuhan, kau telah mempertemukanku dengan sahabat-sahabat terbaik. Semoga persahbatan kita tetap abadi, kawan. 

-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun