Mohon tunggu...
Pietro Netti
Pietro Netti Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pribadi Independen, Penghuni Rumah IDE, KARYA & KREASI. Kupang-Nusa Tenggara Timur. \r\n\r\nhttp://pietronetti.blogspot.com, \r\nhttp://rumahmuger.blogspot.com.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

“Tamatan Malaysia” Rata-rata Sakit Jiwa

26 November 2014   23:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:45 2139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lulusan (Gambar: smpinovatif.com

[caption id="" align="aligncenter" width="605" caption="Lulusan (Gambar: smpinovatif.com"][/caption] Oleh: Pietro T. M. Netti

Ada fenomena unik yang saya jumpai sendiri saat saya berkesempatan menetap dan bekerja selama beberapa saat di Pulau Batam dan Pulau Bintan di tahun 2000 silam. Dimana-mana di kedua pulau ini terdapat cukup banyak orang yang oleh warga setempat biasa dijuluki sebagai “Tamatan/Lulusan/Alumni Malaysia”.

Jika dilihat dari kehidupan para “alumnus” ini memang sangat memprihatinkan, tetapi begitulah kenyataan yang terjadi. Mereka adalah sosok-sosok yang tidak jelas atau lebih tepatnya tidak diketahui asal-usul dan latar belakang identitas, keluarga dan kewarganegaraannya. Teman-teman saya mengatakan bahwa para alumnus ini ada yang berasal dari Vietnam, Philipine, India, negara-negara tetangga lainnya di Asia Tenggara dan Asia, dan juga sebagian lagi berasal dari Indonesia sendiri yang tidak bisa kembali ke kampong halamannya masing-masing.

Para lulusan Malaysia ini menghabiskan hidup keseharian mereka di jalan-jalan, di emperan-emperan toko, tapi tanpa meminta dan mengharapkan belas kasihan orang-orang di sekelilingnya. Ya, mereka hidup dengan cara mereka sendiri tanpa berniat membebani orang lain. Mereka bukan preman yang hidup dengan mengandalkan kekerasan dan/atau pemerasan. Mereka juga bukan gelandangan dan pengemis yang mengulurkan tangan untuk sekeping/dua keeping rupiah walaupun banyak orang yang turut merasa berbelas kasihan dan iba kepada mereka. Mereka juga bukan pelaku kriminal atau bahkan teroris walaupun kadang suka membuat onar dan menebar teror.

Mereka adalah para “Tamatan/lulusan/alumni Malaysia” (istilah yang dilekatkan pada diri mereka). Ya, para tamatan/lulusan/alumni ini adalah mantan pekerja keras di negeri Jiran Malaysia yakni para mantan tenaga kerja yang akhirnya dideportasi keluar dari Malaysia. Yang aneh dari para mantan tenaga kerja ini adalah bahwa mereka semua mengalami gangguan jiwa akut alias tidak waras atau gila. Ada cerita yang berkembang bahwa sebagian besar dari mereka sebelumnya adalah tenaga kerja illegal yang ditangkap dan telah menjalani masa hukuman di Malaysia dan kemudian dideportasi. Rata-rata mereka memiliki bekas luka cambuk di bagian punggung, dan anehnya rata-rata dari mereka menjadi berangsur-angsur tidak waras setelah dideportasi.

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pemerintah kerajaan Malaysia hingga saat ini memberlakukan hukum cambuk (sesuai Hukum Syariat)kepada setiap pelanggar hukum di negeri Jiran ini. Bekas cambukan di tubuh mereka akan menjadi kenang-kenangan abadi bagi mereka yang pernah melakukan tindak kriminal. Yang belum menjadi pengetahuan umum bagi kita adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga kerja termasuk Tenaga Kerja Indonesia dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW) yang pernah bekerja di negeri serumpun ini selalu menderita sakit jiwa/tidak waras/gila setelah dideportasi atau setelah pulang kampung?”

Selama berdomisili di Batam (3 bulan) dan di Bintan (9 bulan), saya sempat mendapatkan informasi-informasi dari warga setempat yang membuat trenyuh, karena informasi-informasi tersebut sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat saya. Entah benar atau tidak benar, itulah informasi yang saya dengar. “Setiap orang gila yang ada di Batam/Bintan pastilah tamatan/lulusan/alumni dari Malaysia!” demikian pendapat-pendapat warga di dua pulau di Kepulauan Riau ini.

Semula saya berpikir jika para tamatan Malaysia ini kemungkinan besar mengalami stress berkepanjangan sebagai akibat dari siksaan, hukuman dan pendeportasian yang mereka alami yang akhirnya menyebabkan mereka mengalami gangguan jiwa. Dugaan siksaan yang menimpa para tenaga kerja ini juga diakui oleh sebagian warga sebagai salah satu pemicu terjadinya gangguan jiwa walau diakui sangat kecil kemungkinannya. Saya juga berpikir jika para tamatan Malaysia ini, lagi-lagi, mengalami stress mengingat begitu kerasnya kehidupan di Batam dan/atau di Bintan yang harus dijalani. Namun dugaan saya tersebut langsung dibantah oleh sebagian besar warga masyarakat. “Kalau alasannya stress tentang kerasnya kehidupan, kitapun pasti sudah gila sejak lama!”

“Lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan nasib para Wisudawan Malaysia tersebut?”

Melihat fenomena orang gila yang tidak diketahui asal-usulnya ini yang juga adalah mantan tenaga kerja di Malaysia ini, saya mendengar banyak sekali pendapat warga yang senada. Saat ditanya: “Siapa orang-orang itu?”, jawabannya selalu sama: “Tamatan dari Malaysia!” Jika ditanya lagi: “Kenapa mereka menjadi tidak waras atau gila?”, jawabannya singkat, padat dan jelas: “Disuntik laah…!”

Sekali lagi, telah menjadi “pengetahuan umum” bahwa hukum di Malaysia masih memberlakukan Hukum Cambuk yang merupakan penerapan dari Hukum Islam/Hukum Syariat. Yang belum menjadi “pengetahuan umum” adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga yang pernah bekerja di negeri serumpun ini selalu menderita sakit jiwa/tidak waras/gila?” Namun demikian, ada satu hal yang sudah menjadi “rahasia umum” bahwa negeri Jiran inipun melaksanakan Hukum Suntik (istilah sendiri) kepada tenaga kerja yang berkewarganegaraan asing(?). Walaupun Hukum Suntik ini mungkin saja bukan termasuk dan/atau tidak dikenal dalam Hukum Syariat di Malaysia, namun banyak pihak yang membicarakan tentang pemberlakuan Hukum Suntik ini di Malaysia.

Dikatakan bahwa hukum suntik ini tidak serta-merta membuat korban langsung menjadi tidak waras/gila, tapi secara berangsur-angsur suntikan maut tersebut akan merusak sel/jaringan syaraf otak. Isu suntik gila yang, katanya, diberlakukan oleh oknum aparat penegak hukum di Malaysia kepada para tenaga kerja illegal yang kemudian akan dideportasi ini dimaksudkan agar para tenaga kerja illegal ini tidak akan kembali lagi ke Malaysia dengan status yang sama (illegal) untuk mengadu peruntungan mereka. Dikatakan pula bahwa menurut aparat keamanan di Malaysia, “sekali illegal akan tetap illegal”. Setelah disuntik, mereka dipastikan tidak akan kembali lagi ke Malaysia karena pastinya mereka akan mengalami hilang ingatan setelah dideportasi.

Tentu pendapat-pendapat warga di pulau Batam dan Bintan ini tidak harus ditelan bulat-bulat, bisa saja “salah”, tapi bisa juga “benar”. Apapun bisa terjadi! Oleh sebab itu, perlu ada investigasi dan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan salah-benar-nya pendapat/cerita yang sudah berkembang luas di tengah masyarakat ini. Hal inipun perlu menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia dalam hal ini pihak-pihak terkait/berwajib, dan/atau Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada penegakan Hak Asasi Manusia untuk menelusuri dan mengungkap fakta dan kebenarannya. Jika saja benar sesuai dengan tuturan masyarakat di atas, maka kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Malaysia ini sungguh sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Negara/kerajaan yang mengusung Syariat Islam ini akan dikenal sebagai negara dan bangsa paling biadab di muka bumi ini (butuh pendalaman dan pembuktian lebih lanjut).

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, juga terdapat banyak kasus serupa yang luput dari perhatian pemerintah maupun pemberitaan media. Para korban yang akhirnya menderita gangguan jiwa tersebut juga rata-rata adalah mantan tenaga kerja yang pernah bekerja di Malaysia. Sebagaimana kita ketahui, NTT juga tercatat sebagai salah satu penyumbang tenaga kerja terbesar di Indonesia untuk dipekerjakan di Malaysia dan beberapa negara lainnya. Kasus human trafficking pun marak terjadi di NTT.Masih lekat dalam ingatan kita, kasus yang menimpa Nirmala Bonat, TKW asal Timor, yang mengalami penyiksaan di luar perikemanusiaan oleh majikannya di Malaysia. Dan masih banyak lagi kasus yang sama dialami oleh saudara/i kita yang berasal dari daerah lain di Indonesia. Pihak keluarga hanya bisa pasrah menerima keadaan apa adanya dan tidak bisa berbuat banyak karena tidak tahu harus mengadu kemana(?).

Saya juga sempat kaget membaca tulisan seorang Kompasianer (----) beberapa hari yang lalu (24/11/2014), yang membeberkan data TKI di daerahnya, Jawa ----, yang mengalami gangguan jiwa. Dalam tulisan tersebut tercatat TKI yang pernah bekerja di Malaysia, 70% diantaranya mengalami gangguan jiwa saat kembali ke daerah asalnya. Sebuah data yang sangat mencengangkan! (Lihat: ---) Dan tulisan itu pun menginspirasi saya untuk menceritakan fakta-fakta yang berhubungan dengan para TKI yang mengalami gangguan jiwa seusai bekerja di Malaysia. Ada benang merah di antara data di Jawa --- tersebut dan fakta-fakta yang terjadi di berbagai pelosok negeri.

“Mungkinkah sekian banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”

Melihat kasus-kasus yang terjadi dan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri, khususnya, di Malaysia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga Kerja perlu memberikan jaminan keamanan yang pasti dan bantuan hukum yang memadai bagi mereka. Dalam pemberitaan-pemberitaan, para TKI kita yang bekerja di luar negeri sering mendapat perlakuan yang tidak bereprikemanusiaan dari majikan-majikan mereka. Kasus hukum yang dialami dan tuntutan hukum yang dikenakan kepada para TKI/TKW pun tidak adil, cenderung mengada-ada dan malah terkesan semena-mena.

Lebih khusus lagi, Pemerintah dalam hal ini aparat terkait/berwenang (entah apa itu namanya) perlu menganalisa penyebab gangguan jiwa yang terjadi pada kebanyakan tenaga kerja kita yang rata-rata pernah bekerja di Malaysia. Dan yang terakhir, bila perlu, Pemerintah bisa mengerahkan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut dan/atau menelusuri isu Hukum Suntik atau Suntik Gila yang marak diperbincangkan tersebut.

Sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi dan mempertegas kembali pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengusik hati dan pikiran saya sekian lama sejak tahun 2000 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik ini kiranya bisa menjadi perhatian kita semua, khususnya bisa menjadi perhatian serius dari Pemerintah Indonesia ke depannya dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia:

“Mungkinkah sekian banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”

“Only heaven knows!”

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun