Indonesia memiliki kerangka hukum lingkungan yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, namun implementasinya masih lemah. Data menunjukkan rendahnya jumlah kasus yang berakhir pada hukuman maksimal dan masih luasnya kerusakan akibat aktivitas ilegal seperti tambang dan pembakaran lahan. Faktor seperti lemahnya koordinasi antar lembaga dan korupsi memperparah kondisi ini. Solusi mencakup penguatan penegakan hukum, pengadilan lingkungan khusus, serta penerapan prinsip strict liability. Tanpa penegakan hukum yang konsisten dan adil, kerusakan lingkungan akan terus meluas dan mengancam generasi masa depan.
Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas, namun ironi terjadi ketika kekayaan alam tersebut justru terancam oleh lemahnya penegakan hukum lingkungan. Walaupun secara normatif Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup kuat, praktik di lapangan seringkali tidak mencerminkan semangat perlindungan lingkungan hidup sebagaimana yang diamanatkan undang-undang.
Secara hukum, dasar penegakan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dalam Pasal 69 ayat (1), jelas disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. UU ini juga memberikan sanksi tegas berupa pidana penjara dan denda bagi pelanggar, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 hingga Pasal 103.
Namun, implementasinya jauh dari harapan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa dari 159 kasus kejahatan lingkungan yang ditangani sepanjang tahun 2022, hanya sebagian kecil yang berujung pada hukuman pidana maksimal. Banyak kasus berhenti di tahap administrasi atau sanksi denda yang seringkali tidak sebanding dengan kerugian ekologis yang ditimbulkan.
Salah satu kasus mencolok adalah perusakan lingkungan akibat pertambangan ilegal di Kalimantan dan Sumatera, termasuk di Jambi dan Riau. Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa seluas lebih dari 1 juta hektare lahan rusak akibat tambang ilegal di Indonesia, namun mayoritas pelaku tetap bebas berkeliaran. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara aturan tertulis dan keberanian aparat untuk menindak tegas pelanggar.
Faktor lain yang memperburuk kondisi adalah lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum, serta adanya praktik korupsi yang menyelusup dalam proses perizinan dan pengawasan. Dalam laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2021, sektor sumber daya alam termasuk dalam tiga sektor paling rawan korupsi, khususnya dalam proses penerbitan izin dan pengawasan lingkungan.
Padahal, penegakan hukum yang tegas merupakan prasyarat utama untuk menciptakan efek jera. Tanpa itu, pelaku kejahatan lingkungan akan terus merasa leluasa merusak alam demi keuntungan sesaat. Negara akan mengalami kerugian jangka panjang, baik dari sisi ekologi, kesehatan masyarakat, maupun stabilitas sosial.
Untuk memperbaiki kondisi ini, Indonesia perlu memperkuat kapasitas lembaga penegakan hukum, mengembangkan pengadilan lingkungan khusus, serta mendorong partisipasi publik dalam pengawasan lingkungan. Selain itu, pemerintah harus secara konsisten menegakkan Prinsip Strict Liability sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU PPLH, yang menyatakan bahwa setiap orang yang kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan wajib bertanggung jawab tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keadilan dan kelestarian, Indonesia seharusnya menempatkan hukum lingkungan sebagai instrumen utama dalam menjaga masa depan. Alam bukanlah warisan, melainkan titipan untuk generasi mendatang. Maka, keadilan ekologis hanya bisa terwujud jika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI