Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hei Remahan Tanuki....

29 Desember 2020   02:18 Diperbarui: 30 Desember 2020   17:09 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Davina

Aku tak terlalu mengenal pribadi perempuan aneh itu. Jelas dia aneh. Sejak awal pertama kali pertemuan kami, dia yang masih berstatus karyawan baru bahkan tak sedikit pun menunjukkan sikap ramahnya pada kami. Tanpa senyum, nada bicara datar, tapi pandangan matanya begitu tajam.

Sampai kami dipertemukan dalam satu team, dan semua penilaianku tentangnya berubah. Dia mematahkan semua penilaian awalku tentangnya.

Davina, perempuan introvert, yang irit bicara, kaku, bukan pribadi yang menyenangkan dan entah bagaimana bisa bekerja di dunia restaurant yang menjunjung keramahtamahan. Bahkan terhitung senior di bidangnya. 

Davina bahkan nyaris tak pernah mengucapkan salam ketika melihatku datang. Betapa beraninya dia tak menghargai atasannya. Ketika aku memberikan instruksi kerja padanya, Davina hanya akan menjawab 'Baik Pak', lalu bergegas pergi.

"Pak, tadi ada yang nganterin susu ber*ang buat Bapak." Security yang bertugas pagi itu memberikanku sekaleng susu yang masih dingin.

"Dari siapa ya, Pak?" Tanyaku aneh.

Aku tak mendapat jawaban apa pun. Tapi entah kenapa, hatiku menuntunku pada Davina.

Tadi ke outet kirim ini, ya? Tanyaku sambil mengirimkan foto susu kaleng yang ada di tanganku lewat whatsapp.

Kenapa tanya aku? Balas perempuan aneh itu.

Intuisi. Dan intuisiku jarang salah.

Minumlah. Kalau vitamin C tak aman untuk penderita sakit maag, setidaknya susu lebih netral untuk dikonsumsi siapa pun. Walau pun aku nggak tau sebenernya Bapak boleh atau nggak, suka atau nggak minum susu.

Makasih, ya.

Aku nyaris lupa ada Davina di teamku. Entah sudah berapa lama aku tak bertemu perempuan aneh itu. Sejak dia kutugaskan membantu di salah satu cabang, kami memang hampir tak pernah bertemu.

Malam itu aku tahu Davina sedang di kondisi tidak baik. Aku tak cemas. Biasa saja. Tak secemas bila supervisorku lainnya sedang sakit. Aku memang tak terlalu memperhitungkan peran Davina di teamku. Belum banyak yang bisa dia lakukan untuk kami. Ditambah lagi, Davina sepertinya memang punya kepribadian sangat aneh. Sebentar aku bisa merasa dia begitu terbuka, tapi sebentar dia begitu tertutup.

Sore itu aku sengaja mengirimi dia pesan singkat lewat whatsapp. Davina bisa begitu lancar menjawab pertanyaanku dan saran yang dia berikan memang masuk akal. Tapi kenapa selama ini dia bahkan tak pernah membalas pesan-pesan di group whatsapp operasioanl. Mumpung Davina sedang lancar aku ajak bicara, aku lanjutkan obrolanku sore itu dengannya.

Kenapa kalau di group nggak pernah respon?

Apa aku cukup baik dan layak untuk bisa memberikan saran di hadapan senior-seniorku?

Kenapa begitu?

Apa aku harus berbicara begitu aktif, frontal, dan lantang supaya dianggap kerja?

Lagi! Davina membuatku tak mengerti apa yang dia sampaikan.

Nggak ngerti. 

Bahasaku memang sulit dipahami, makanya aku tak ingin terlalu banyak bicara.

Aku tahu Davina juga seorang penulis, dia aktif menulis cerpen di beberapa platform. Mungkin dia lebih paham soal diksi dan majas. Tapi sesulit itukah memahami bahasa seorang penulis.

***

Sabar ya. Aku lagi banyak sampingan kanan kiri. Entar kalo urusan ini kelar, kita ngobrol ya.

Entah kenapa aku kirim pesan itu pada Davina. Aku hanya merasa ada banyak hal yang ingin dia sampaikan padaku. Setidaknya kode itu aku tangkap dari status whatsapp-nya.

Mau nunggu sampai kontrakku habis, ya? Balas Davina.

Aku lupa Davina bahkan masih di masa training. Bisa terhitung jari aku duduk dengannya mengajari sesuatu yang seharusnya dia tau. Atasan macam apa aku. Aku hanya membuka telingaku lebar-lebar untuk mendengar keluhan-keluhan sekitar tentang dia.

Aku bahkan lupa bagaimana dia berproses dari hari ke hari sampai sekarang dia yang selalu dicari rekan supervisor lainnya untuk membantu mereka ketika outlet butuh bantuan.

Aku pasti datang. Tunggu aja.

Dan aku berharap Davina benar-benar mau menungguku.

***

Sore itu aku terima kabar buruk. Davina kehilangan kesabarannya ketika menghadapi antrian ojek online di outlet.

Davina dipukul? Tanyaku cemas ketika Arga menelponku membawa kabar buruk itu.

Kami pagar Bu Vi, Pak. Kami nggak bakal biarin Bu Vi kenapa-napa. Bu Vi cuma supervisor pengganti selama Bu Irene cuti melahirkan. Seandainya yang meledak tadi adalah Bu Irene, saya yang bakalan tahan team kitchen saya buat turun pak. Tapi begitu lihat Bu Vi meledak, saya yang gerakin team saya buat turun. bukan cuma kami, tapi abang-abang ojol lainnya pun gerak cepat bantu Bu Vi. Bapak tau kenapa? Bu Vi dekat dengan siapa pun Pak. Bu Vi punya caranya sendiri untuk curi hati kami.

Ok. Terima kasih sudah jaga Davina.

Tak pernah terbayangkan kalau Davina sanggup meledak-ledak seperti yang aku tonton di layar CCTV. Arga benar. Naluri mereka untuk melindungi Davina begitu spontan.

Pak, Davina minta maaf. Hari ini sudah kehilangan kesabaran. Ngasih contoh tak baik ke team lainnya. Davina malu. Davina nggak bisa kasih contoh baik ke team. Nggak seharusnya Davina mempertontonkan cara memecahkan masalah dengan cara seperti itu. Kalau ada yang harus Davina terima sebagai bentuk tanggung jawab, Davina siap, Pak.

Beginikah Davina yang sesungguhnya? Sudah terlalu jauhkah aku mendengarkan keluhan-keluhan yang beredar selama ini tentang dia. Aku bahkan buta tentang bagaimana dia belajar menjadi sejajar dengan yang lain. Aku bahkan cenderung tak mau tau bagaimana dia berproses.

***

Heiii remahan tanuki...

Aku tunggu di Kopi Memori bawah ya.

Aku bisa melihat Davina online, tapi sayangnya aku tak tau apakah dia sudah membaca pesanku. Dia menonaktifkan laporan dibaca pada aplikasi whatsapp-nya.

"Piccolo, Pak." Davina menyodorkan cangkir kecil berisi Piccolo untukku.

Davina selalu begitu sulit ditebak. Entah dari mana dia tau aku begitu menyukai Piccolo. Diam-diam aku melirik cangkir kecil yang ada di hadapannya. Espresso! Perempuan aneh ini apa tidak salah pesan kopi. Apa dia tau apa yang akan diminumnya.

"Toraja Sapan single Origin, honey proses." Davina menyebutkan jenis biji kopi asal Espresso di hadapannya.

Davina selalu sulit ditebak.

"Maaf. Aku terlalu sibuk belakangan sampai hampir tak pernah lagi keliling outlet." Aku mengawali percakapan kami sore itu.

Davina tak merespon.

"Maaf, semalam aku emosi." Sambungku.

"Yang mana?" Respon singkat dari Davina.

"Aku sudah terima kabar dari HRD. Kenapa kau langkahi aku?"

"Kabar soal?"

"Surat pengunduran dirimu. Kenapa kau langkahi aku? Kenapa kau tak lebih dulu memberitahuku?"

Davina kembali tak merespon. Dan dari beberapa hal aku belajar, Davina bukan tak merespon. Dia memilih untuk tidak mengucapkan hal yang tak baik sebagai responnya.

"Bicaralah."

"Tentang?"

"Tentang susu yang kemarin kau kirim. Tentang air minumku yang berubah menjadi hangat, padahal sebelumnya aku minum air es. Tentang tasku yang selalu tertutup dengan sendirinya ketika aku pergi dan membiarkannya terbuka begitu saja."

Davian kembali tak merespon. Ok. Ini bukan topik penting untuknya.

"Tentang bagaimana mereka memperlakukanmu. Tentang marahmu yang tak pernah kau perdengarkan."

Davina menatapku dalam. Sekian bulan aku hampir tak pernah berani menatap mata tajamnya.

"Aku tak ingin membuatmu merasa salah. Aku ingin kau selalu benar. Bahkan ketika kau salah menilaiku."

"Nggak ngerti."

"Jaga kesehatanmu. Tetaplah sehat."

Sungguh.. Ingin sekali rasanya aku mencakar-cakar meja kami sore itu. Davina benar-benar membuatku terlihat tolol.

"Ok.. bisakah setiap pertanyaanku kau jawab? Aku Tanya, lalu kau jawab. Tolonglah."

Davina mengangguk lambat.

"Benar mereka bahkan tak pernah mengajarkan apa pun?"

"Aku ini seorang leader. Aku harus bergerak sendiri bukan digerakkan."

"Benar mereka tak pernah meminta pendapatmu ketika terjadi masalah di operasional?"

"Aku ini seorang leader, apa pantas untukku berucap aku tak tau jika terjadi masalah di operasionalku."

"Benar kau bahkan masih sering membantu mengangkat piring kotor di operasional?"

"Aku ini seorang leader, apa turun harga diriku sebagai seorang leader hanya karena mengangkat piring kotor."

"Ada pertanyaan lain yang agak berbobot?" Sambung Davina mengesalkan.

"Benar kau yang mengirimiku susu?"

"Iya."

"Kenapa?" Tanyaku sedikit menekan nada bicaraku.

"Karena kau selalu sibuk memperhatikan kesehatan kami, dan kami hanya bisa menyusahkanmu."

"Benar kau yang selalu mengganti minumanku dengan air hangat?"

"Karena air hangat bagus untuk imun."

"Benar kau yang kemarin setiap hari mengantarkan Amora bubur ke kostnya waktu dia sakit berhari-hari dan kami tak satu pun yang tau Amora sakit?"

"Apa aku harus memilih kepada siapa aku boleh menolong? Kau pikir apa cuma kau yang perlu diperhatikan. Mereka teamku. Aku bisa apa tanpa mereka."

Aku memberanikan diri menyodorkan amplop putih itu untuknya.

"Tolong pertimbangkan kembali keputusanmu untuk pergi."

Ahhh,

Aku benci adegan ini. Aku tak pernah secengeng ini. Apa lagi hanya untuk perempuan aneh seperti Davina.

"Boleh kasih aku beberapa pertimbanganya?"

"Hmm... Anak-anak perlu leader aneh sepertimu. Operasional masih butuh orang yang irit bicara, sudah terlalu banyak yang kebanyakan bicara. Dan aku masih butuh banyak susu untuk jaga kesehatanku, aku butuh air hangat setiap saat."

Davina tau bagaimana memanusiakan manusia. Dia bahkan tak pernah melempar kesalahan pada yang lain. 

Hei remahan tanuki,

Terima kasih sudah menjadi pemimpin bodoh yang bijak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun