Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Penyangkalan

19 April 2014   00:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:30 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Matahari sudah mengintip dari balik cakrawala, tapi bekunya malam masih menggantung di udara. Pelataran Imam Besar sesubuh ini sudah ramai oleh Imam-imam Kepala, pemuka agama dan beberapa penduduk setempat. Memang tidak lama lagi sebagian besar warga Yerusalem akan memperingati hari raya Paskah. Tapi keramaian besar di pagi buta begini bukan hal lazim, seolah ada peristiwa besar yang akan terjadi sebentar lagi.

Wanita dan orang-orang tua berkasak-kusuk. Seorang Nabi dan Guru besar baru saja ditangkap, kata mereka. Sebagian penduduk lain menceritakan sepak terjang sang Guru selama ini di tengah penduduk. Dia bersih dari tipu muslihat, berkeliling dari desa ke desa untuk mengajarkan banyak petuah. Dia berkawan dengan siapapun. Mulai dari nelayan dan para janda untuk memberi semangat kehidupan, bahkan pemungut pajak untuk menyapa mereka dengan kasih tulus. Padahal orang lain mengucilkannya, karena pemungut pajak dianggap kawan penjajah Romawi. Dia menyembuhkan orang sakit, bahkan kabarnya pernah mengembalikan nyawa seorang mati. Perlahan, pengikutnya semakin banyak. Pesonanya menyaingi pesona para pembesar masyarakat.

Akibatnya, para pemuka agama menjadi berang. Beberapa kali Sang Guru juga mengecam cara hidup mereka yang munafik. Namun mereka takut menyerang sang Guru secara terbuka karena banyak masyarakat yang menaruh simpati padanya. Akhirnya cara licik pun ditempuh. Sebuah konspirasi besar yang didalangi oleh pembesar-pembesar agama membuatnya ditangkap.

Dengan keahlian retorika dan menggunakan beberapa saksi palsu berhasil menghasut sebagian masyarakat untuk berbalik mengecam sang Guru Besar. Penangkapannya tengah malam tadi, merupakan awal dari sebuah tragedi besar yang merupakan bagian dari rencana bulus mereka.

Di salah satu sudut pelataran, beberapa orang berdiang di dekat api untuk menghangatkan tubuh. Seorang lelaki berwajah kokoh mendekat malu-malu. Matanya bergerak liar meneliti setiap sudut gerbang gerbang istana Imam besar. Dia adalah satu dari dua belas murid kesayangan sang Guru besar. Di daerah mereka, hampir setiap orang mengenalnya. Tapi mungkin tidak demikian di kota sebesar Yerusalem. Makanya lelaki itu mencoba mencari kesempatan untuk melihat keadaan sang Guru.

Nyatanya salah satu wanita yang berdiam di dekat api mengenal wajahnya.

“Bukankah kamu salah satu dari murid orang itu?”

Lelaki tersebut terkejut lalu dia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Tapi dia tetap menggeleng.

“Bukan... aku bukan murid orang itu....,” sahutnya.

Dia pun beranjak dari situ. Namun saat melintas di dekat kawanan prajurit, seorang lelaki lain menegurnya.

“Bukankah kamu murid orang itu? Kamu yang melukai saudaraku saat penangkapan orang itu....”

“Ah,...” Lelaki itu mengingat kembali peristiwa semalam, saat dengan marah dia menebas daun telinga salah satu prajurit. Namun sang Guru menghardiknya untuk menyimpan pedangnya, lalu menyembuhkan telinga prajurit tersebut.

“Bu... bukan aku, kawan. Aku sama sekali tidak mengenal orang itu....,”

“Ya, benar. Aku mengingat raut wajahmu. Kamu juga salah satu dari mereka, bukan?” kata prajurit yang lain.

Lelaki itu menggeleng cepat.

“Sungguh. Aku bukan salah satu dari mereka. A.. aku, aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang itu,” sahutnya lalu berlalu cepat-cepat dari situ.

Belum jauh melangkah, jantungnya seperti tercekat oleh sesuatu manakala telinganya menangkap suara yang sudah sangat lazim di awal pagi itu. Suara ayam jantan berkokok panjang terdengar dari kejauhan. Matanya melotot. Memorinya kembali berputar pada peristiwa perjamuan terakhirnya dengan sang Guru sebelum sang Guru berakhir di tangan para prajurit.

Lamat-lamat suara sang guru menggema kembali dalam gendang telinganya.

......sebelum ayam berkokok, kamu telah menyangkal aku tiga kali,......

Kata-kata itu diucapkan Sang Guru dengan sedih setelah dia dengan gigih menyatakan akan membela Sang Guru sampai tetes darah penghabisan. Tapi nyatanya kini, dia sendiri sudah menyangkalnya habis-habisan.

Dia merasa dadanya panas dan sesak, sehingga dia berlari dari situ dengan hati pedih.

Menyesal.

Sedih. (PG)

***********************************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun