Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Zanitha

29 Maret 2020   19:40 Diperbarui: 21 Mei 2020   14:49 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari https://thewallpaper.co/

"Ah, Nisa. Itu koleksi pribadi. Tapi ... bukankah tidak sopan masuk ke ruang privat seseorang tanpa izin?"

"Maaf, Hans. Aku tadi, sedikit tersesat. Aku baru sekali ini berkunjung ke tempat ini," sahut Nisa. "...tapi aku serius. Aku jatuh cinta pada lukisan itu."

Hans tidak menanggapi. Setelah menghabiskan air dalam gelas, dia meletakkan gelas kosong ke atas buffet.

"Aku tidak melihatmu sejak tadi."

Nisa tertawa pelan. "Tentu, karena banyak wanita lain yang mengelilingimu," sahutnya.  

Hans ikut tertawa. Dia lalu memberi isyarat kepada Nisa untuk segera beranjak dari situ.

"Ayo bicara bisnis. Aku dan staf akan segera berkemas-kemas," ucapnya. Nisa termasuk ke dalam barisan wanita yang tidak akan diberi hati sedikit pun.

Malam harinya Hans duduk di depan perapian dengan pandangan sayu. Dia didera kesedihan mendalam karena harus mengakhiri hidup Zanitha dengan tangannya sendiri. Zanitha yang malang kini hampir tak tersisa di dalam perapian. Sudut gulungan kanvas yang belum sempat dimakan api, disodoknya masuk lebih dalam.

Hans membatin,

Maafkan aku, Zanitha. Kamu,.. sudah tidak suci lagi. Kita sudah berjanji satu sama lain, bukan, aku menciptakanmu dengan syarat tidak seorang pun boleh memandang keindahanmu selain aku. Ya, ini memang bukan sepenuhnya salahmu. Tapi janji tetaplah janji.

Malam semakin larut, tapi Hans belum terlelap. Dia mencoba melupakan kesedihannya dengan menata easel lalu menggelar kanvas kosong di sana. Palet berisi cat aneka warna di tangan kiri, dan kuas sudah siap di tangan kanannya. Dia menyapukan kuas sekenanya di atas palet lalu menggurat permukaan kanvas dengan hati-hati. Warna merah merona tertera di situ, begitu kontras dengan latar kanvas yang putih pucat.

Ya, Delima. Delima bisa jadi nama yang manis untuk kekasih baruku, batinnya.

--- 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun