Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hujan yang Menepati Janji

26 Januari 2019   21:15 Diperbarui: 27 Januari 2019   00:13 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari https://www.artstation.com/

Di tepi langit, hujan sedang berdoa dengan khusyuk. Sambil berdoa, makhluk besar itu menyerap energi yang berserakan di ceruk-ceruk semesta. Karena itu saat ini dia sedang mengambil wujud sebagai awan-awan kelabu menghitam yang tangan-tangannya menjuntai, seperti perdu kekeringan.

Sementara itu di bawah langit, Ece, ibu beranak dua yang ditinggalkan suaminya dua tahun lalu berteriak memanggil Ardi, putra sulungnya yang masih betah mengurung diri di dalam kamar. Air kiriman dari pintu air semakin deras melanda perkampungan dan rumah mereka.

Dalam waktu kurang dari setengah jam saja, ketinggian air yang semula di mata kaki kini memanjat ke atas betis.   

Ece pun membuka pintu kamar dan mendapati Ardi sedang duduk di atas jendela sambil memandang banjir yang mulai meninggi dan memenuhi gang di samping rumah mereka. Seragam SMA-nya belum lagi ditanggalkan, baru beberapa kancing baju yang terlepas dari lobangnya. Di atas tempat tidur ada pakaian yang ditumpuk tak keruan dan susunan buku-buku pelajaran.

"Apa yang kamu buat, Nak? Ayo bawa baju sama buku-bukumu! Itu Pak Haji sudah menunggu," seru Ece lagi.

Ardi berpaling dan menjawab ibunya,

"Saya menunggu hujan lewat, Mak."

Ece menatap tak mengerti.

***

Di tepi langit, energi sang hujan semakin penuh. Perlahan-lahan dia mulai mengubah bentuknya dari gumpalan-gumpalan awan mendung menjadi titik-titik air yang nyaris membekukan udara di sekitarnya. Dari atas dia melihat doa-doa yang dipanjatkan manusia membumbung tinggi dan membentuk ribuan payung tak kasat mata.

Hujan tersenyum. "Sebentar lagi payung-payung doa kalian tidak cukup untuk menahan diriku, wahai manusia," batinnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun