Desa Suppiran terletak di pelosok kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Jarak tempuh dari Makassar ke kota Pinrang, ibukota kabupaten, kurang lebih 185 km ke arah utara. Sementara dari ibukota kabupaten, desa ini ditempuh dalam waktu sekitar dua jam melewati gugusan bukit yang membentang di sebelah timur.
Tidak ada angkutan umum yang masuk sampai ke desa tersebut. Mobil yang mengantar kami adalah mobil pribadi milik salah satu penduduk desa yang “dialihfungsikan” menjadi mobil penumpang. Pada hari-hari tertentu mobil tersebut membawa penumpang dari desa Suppiran ke kota Makassar dan sebaliknya.
Selama tiga hari, tanggal 18-20 Juni lalu, saya bersama salah satu Pengurus CU kami memfasilitasi beberapa pelatihan untuk anggota CU yang berdomisili di desa Suppiran dan sekitarnya. Kebetulan hari Selasa, satu hari sebelum kegiatan, bertepatan dengan jadwal mobil dari Makassar ke desa Suppiran. Dibanding rute kendaraan umum yang membutuhkan beberapa kali ganti kendaraan, kami memutuskan untuk menumpang mobil warga Suppiran tersebut.
Menuju Suppiran
Kami meninggalkan Makassar pada pukul empat subuh. Sepanjang perjalanan mobil kami singgah dua kali untuk minum kopi dan makan siang. Kurang lebih pukul 10.30 siang, kami sudah memasuki kota Pinrang. Menjelang perbatasan dengan kabupaten Polman, pada pertigaan Bakarru, kami mengambil jalur kanan melewati jalan yang melintasi desa Lemosusu.
Saya dan beberapa kawan pernah berkunjung beberapa kali ke desa Suppiran pada tahun 2010. Tapi pada saat itu belum ada mobil yang langsung menuju ke Suppiran. Jadi kami mengendarai kendaraan umum yang menuju ke Mesawa, melewati kota Polewali. Lalu pada pertengahan jalan di sekitar daerah Pasapa, kami menumpangi ojek sampai ke desa Suppiran. Perjalanan tersebut dapat memakan dua kali lipat dibanding rute yang kami ambil saat ini.
Setelah melewati desa Lemosusu jalanan terasa semakin menanjak. Jalan juga semakin berliuk-liuk karena mulai memanjat bukit demi bukit. Setelah berjalan beberapa lama, jalanan beraspal digantikan jalan berbatu. Mulailah kami tergoncang-goncang di dalam mobil. Semakin mencapai ketinggian, jalanan semakin ekstrim. Pada beberapa ruas jalan ada bekas jalanan beton yang sudah lama dan rusak karena tidak pernah direnovasi lagi, sehingga menambah kesulitan perjalanan. Mobil yang kami tumpangi jadi mirip mobil-mobil offroad yang melintas medan, bedanya di dalam mobil ini ada 10 penumpang.
[caption id="attachment_344315" align="alignnone" width="448" caption="Pemandangan Kabupaten Pinrang dari atas bukit "][/caption]
[caption id="attachment_344319" align="alignnone" width="448" caption="Desa tujuan ada di bebukitan itu"]

Tapi kepenatan dan lelah terbayar sudah begitu kami sampai ke tujuan, Desa Suppiran, yang terletak di antara bukit-bukit menjulang di sebelah timur Pinrang. Saat itu waktu menunjukkan tengah hari lewat dua puluh menit. Sejauh mata memandang yang nampak hanya keindahan alam. Hijau warna pepohonan yang memenuhi hamparan bukit dan hijau kemuning warna hamparan padi yang sebentar lagi siap dipanen. Udara juga masih segar, belum tercemar oleh karbonmonoksida. Selain itu, tempat ini benar-benar cocok untuk mengisolasi diri sejenak dari hiruk pikuk kesibukan kerja, karena belum ada sinyal dari provider telekomunikasi yang sampai disini. Ada sih satu dua titik tertentu yang kena imbas sinyal nyasar, tapi sinyalnya begitu lemah sehingga hanya dipakai dipakai mengirim dan menerima SMS saja. Buat menelepon susah sekali.
[caption id="attachment_344321" align="alignnone" width="448" caption="Pemandangan desa Suppiran. Indah nian"]

[caption id="attachment_344322" align="alignnone" width="448" caption="Rumah yang kami tumpangi. Dari teras depan itulah kami menikmati keindahan alam sekitar sambil ngobrol bersama warga."]

Tuan rumah menyambut kami dengan ramah, lalu tak lama kemudian dengan sigap menyiapkan makan siang. Memang saat itu, waktu sudah menunjukan waktunya makan siang. Apalagi energi kami lumayan terkuras dalam perjalanan.
Setelah makan siang kami ngobrol ngalor ngidul, berbicara banyak mulai dari keadaan masyarakat setempat, persiapan pelatihan kami sampai isu-isu politik terkini. Kami juga jadi tahu kalau keesokan harinya ada pasar rakyat yang memang hanya terjadi seminggu sekali di desa itu, setiap Rabu pagi. “Wah, kayaknya seru. Bisa buat bahan liputan lagi nih,” batin saya.
Beberapa warga sekitar yang menjadi anggota CU kami juga berdatangan untuk bergabung dalam acara ngobrol kami. Beberapa kali tuan rumah menghidangkan kopi. Penduduk desa Suppiran masih didominasi oleh warga turunan Toraja, jadi kopi hitam memang jadi menu wajib keseharian mereka. Dalam sehari kita bisa minum bergelas-gelas kopi. Jangankan orang dewasa, bocah pun sejak kecil sudah biasa dengan minuman yang satu ini. Waktu pun berjalan tak terasa.
Saat malam mulai menggantikan siang, udara semakin dingin menggigit. Makanya di rumah-rumah penduduk selalu tersedia selimut super tebal untuk mengusir hawa dingin. Begitu pula di kamar tamu yang disediakan untuk kami. Karena masih tersisa lelah akibat perjalanan jauh, malam itu kami tidur dengan pulas.
Keesokan paginya, kabut dan larik-larik sinar matahari yang mengintip dari sela-sela dinding papan membangunkan kami. Rupanya seluruh lembah disekitar rumah diselimuti kabut sejauh mata memandang. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan memotret sepuas-puasnya. Tuan rumah pun menghidangkan kopi hitam yang masih mengepul bersama beberapa potong gorengan pisang. Hmm... nikmat dan lumayan jadi penghangat badan.
[caption id="attachment_344323" align="alignnone" width="448" caption="Kabut yang memayungi lembah."]

[caption id="attachment_344324" align="alignnone" width="448" caption="Beberapa warga yang menuju ke lokasi pasar rakyat."]

Sambil menikmati hidangan dari atas rumah, kami melihat beberapa rombongan warga yang berduyun-duyun menuju ke lokasi pasar tersebut.
Kegiatan kami hari itu baru akan dimulai pada pukul 13.00, jadi masih ada waktu untuk ikut mengunjungi pasar rakyat. Tuan rumah mengatakan pasarnya dekat saja dari rumah.
Mengintip Pasar Rakyat
Sekitar pukul 09.00 pagi, kami sudah rapi jali. Kami bertiga, saya, salah satu pengurus CU, dan kawan sesama manajemen, Kepala Kantor Messawa berjalan mengikuti keramaian warga. Jalan yang kami telusuri masih berupa tanah, sehingga ada genangan becek di beberapa tempat. Syukurlah, mendekati pasar, jalan kampung ini sudah dicor. Walaupun lebarnya tidak seberapa, jalan beton itu lumayan membantu perjalanan kami, begitu pula dengan beberapa kendaraan bermotor yang melintas.
Lokasi pasar memang cukup dekat. Tak sampai 15 menit berjalan kaki, kami sudah menemukannya. Saat itu pasar yang hanya berlangsung beberapa jam itu sedang ramai-ramainya.
Struktur pasar mengikuti pinggir jalan beton. Namun lapak sebagian besar pedagang berada di sisi timur jalan hingga terbentuk beberapa blok pedagang kecil-kecilan. Di sekitar pasar, nampak beberapa rumah penduduk yang juga membuka jualan di depan rumahnya. Sebagian besar penganan lokal dan makanan ringan.
Beberapa blok pedagang tersebut dipisahkan dengan lorong-lorong yang sedikit becek, karena beberapa hari ini memang sering turun hujan. Lapak-lapak pedagang cukup sederhana. Jangan bayangkan barisan toko bertembok semen dan pasir. Disini semua los atau kios menggunakan papan dan kayu. Malah sebagian besar hanya lapak terbuka saja, seperti panggung raksasa beratap tenda biru, lalu diatasnya dipetak-petak sesuai kapling pedagangnya.
Kami pun bergabung dalam keramaian untuk melihat-lihat dagangan-dagangan yang digelar. Saya mulai dengan masuk ke dalam lorong pasar paling ujung. Di sepanjang lorong nampak penjual perkakas rumah tangga. Mulai dari yang berbahan plastik, seperti aksesoris meja makan, gayung, ember sampai perkakas berbahan logam seperti parang dan cangkul.
Di bagian tengah pasar, ada banyak barisan penjual pakaian mulai dari pakaian anak-anak sampai pakaian orang dewasa. Nampak pula pedagang beras, tepung, minyak goreng, mie instan dan sembako lainnya. Sebagian besar dari mereka menghamparkan dagangannya di atas lapak terbuka, mirip lapak pedagang kaki lima yang biasa ditertibkan satpol PP itu.
Di bagian tengah ini volume pembeli lumayan banyak. Sebagian besar ibu-ibu rumah tangga.
Pada sisi paling timur pasar, nampak juga beberapa kios, namun sebagian masih tertutup rapat. Pedagang yang menjual peralatan rumah tangga seperti ijuk, dan lain-lain mengatakan beberapa pemilik kios lainnya sementara ada urusan di kota Pinrang sehingga tidak sempat membuka kiosnya hari itu.
Di salah satu kios yang menjual peralatan kosmetik saya mampir untuk jepret-jepret untuk berbicang dengan pemilik warung yang merupakan anggota CU kami. Kiosnya juga cukup ramai didatangi pembeli yang. Kios itu berukuran sekitar tiga kali empat meter. Penuh dengan aneka produk sabun mandi, body lotion, aneka bedak, beberapa peralatan make up dan lain-lain. Tapi masih ada sedikit ruang untuk penjual dan asistennya. Saya bertanya berapa biaya sewa kios tersebut. Jawabnya sejuta.... setahun. Saya dan kawan terkejut. Murah amat. Walaupun hanya terbuat dari papan, saya berpikir paling tidak sewa tempat tersebut berada sekitar tiga atau empat juta per tahun. Ini malah cuma sejuta. Tapi ibu pemilik kios berkata, iya wajar karena bukanya juga sekali seminggu. Kami pun manggut-manggut.
Di lorong terakhir yang tidak kalah ramainya, banyak pedagang ikan kering. Di sebelah luarnya nampak beberapa penjual ikan basah yang nampak sigap memotong-motong ikan berukuran sedang, untuk melayani permintaan pembelinya. Hewan yang satu ini memang cukup jarang ditemukan di desa ini, karena tempatnya cukup jauh dari pantai. Ikan-ikan yang bertebaran di pasar disuplai dari Polewali. Waktu tempuhnya kurang lebih lima atau enam jam dari Suppiran. Itu pun dengan catatan cuaca cerah sehingga kondisi jalanan baik. Kalau hujan dan jalan kampung becek, waktunya bisa lebih lama lagi
[caption id="attachment_344325" align="alignnone" width="448" caption="Keramaian di salah satu lorong pasar."]

[caption id="attachment_344326" align="alignnone" width="448" caption="View dari kios penjual kosmetik. "]

[caption id="attachment_344327" align="alignnone" width="448" caption="Keramaian di bagian pedagang ikan asin. "]

Sebagian besar warga Suppiran bermatapencaharian sebagai petani. Namun hasil sawahnya biasa digunakan hanya untuk konsumsi sendiri. Untuk mendatangkan tambahan penghasilan, mereka memelihara kopi dan coklat. Mereka memelihara kopi jenis Robusta. Dengar-dengar harga saat itu dihargai Rp 20.000an sekilo. Hasil kebun berupa coklat sedang jelek, karena ada hama tanaman yang menyerang banyak tanaman coklat milik warga. Jadi setiap kali pasar digelar, banyak penduduk yang menjual hasil dari kebun kopinya kepada pembeli, dan uangnya digunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain.
Margin harga dagangan pada pasar rakyat ini, tidak terlalu jauh berbeda dengan harga di kota besar seperti Makassar. Contohnya salah satu mie instan dihargai Rp 2.500 per buah. Tidak jauh beda dengan harga di Makasasr untuk produk yang sama. Kisaran harganya 2.300-an bahkan ada pula yg Rp. 2.500. Hanya saja harga bensin sedikit mahal. Untuk bensin botolan yang di Makassar di banderol dengan harga Rp 8000-an per botol (ukuran satu liter), disini paling murah Rp 10.000 per botol. Itu pun saya lihat tinggi bensin dalam botol lebih rendah. Margin keuntungan pedagang pasti lebih besar lagi. Tapi kisaran harga yang wajar sih, karena SPBU cukup jauh. SPBU terdekat ada di kota Pinrang. Itupun pembelian lewat jerigen akhir-akhir ini sudah diperketat. Kalau petugas SPBU mau melayani mereka ada fee tambahan, sekitar Rp 5.000 per jerigen.
Setelah puas keliling-keliling (seluruh pasar habis ditelusuri hanya dalam waktu 15 menit, itupun karena berdesak-desakan dengan pengunjung lain) kami keluar dari pasar. Seorang penjual obat menggelar tikarnya dekat jalan masuk, terus berteriak-teriak lewat toa yang dipegangnya sambil memperlihatkan bebapa gambar. “Iya bapak ibu, minyak lintah ini bagus untuk bapak-bapak atau anak muda yang mau supaya ‘barang’nya besar....,”
Sontak kami terkekeh geli. Ah, ada-ada saja penjual obat ini. Tapi lapaknya lumayan ramai juga saya lihat.
Tidak jauh dari pasar, masih di dekat jalan beton, ada rumah anggota CU. Kami pun naik sebentar ke rumah untuk mengobrol dan memandang pemandangan ke bawah. Beberapa mobil pengangkut barang dagangan sudah diparkir di beberapa tempat. Eh, rupanya ada juga pedagang es krim keliling yang menggunakan sepeda motor untuk mengangkut boks esnya.
Keramaian pasar semakin berkurang di atas jam 10 pagi. Sekitar jam 11 pasar benar-benar hampir sepi. Pengunjung yang ada paling hanya penduduk desa Suppiran saja. Pembeli dari luar desa sudah pulang lebih awal. Beberapa pedagang juga nampak mulai mengemas dagangannya termasuk beberapa pedagang keliling yang menyewa mobil untuk mengangkut dagangannya ke lokasi pasar berikutnya. Pasar Kamis rupanya berada di desa Paladan, seorang bapak menunjuk salah satu bukit. Desa tersebut, katanya berada di balik bukit itu. Wah, kami jadi membayangkan kerasnya kehidupan yang harus dilakoni para penduduk pedalaman ini.
Selain mobil, dan juga motor ada juga beberapa kuda yang dijadikan sarana angkut. Daerah ini memang daerah bebukitan. Pada beberapa daerah yang masih sulit dijangkau kendaraan bermotor karena medan yang terlalu ekstrim, kuda memang jadi alat transportasi yang lebih efektif.
Menjelang tengah hari kami pun pamit pada pemilik rumah untuk kembali ke rumah tumpangan kami membawa satu lagi pengalaman berharga. (PG)
[caption id="attachment_344329" align="alignnone" width="448" caption="Mengamatai pemandangan di luar pasar dari rumah salah satu anggota CU kami."]
