Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Asa Ramadan dari Taman Makam Pahlawan

6 Mei 2019   15:16 Diperbarui: 6 Mei 2019   15:27 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang TMP Kairagi. Sumber: dokumentasi pribadi

Bulan Ramadhan yang penuh berkah kembali menyapa. Ucapan selamat dan dukungan telah dibagi kepada teman-teman yang menunaikannya.

Jujur, saya termasuk yang tidak begitu ngeh dengan agenda puasa tahun ini. Di Manado, yang notabene mayoritas non-Muslim, gema Ramadhan tidak sesemarak seperti di pulau Jawa. Tidak ada pawai, festival, atau pasar takjil kagetan.

Memang perang promo telah ditabuh di pusat-pusat perbelanjaan. Namun, tidak sedikitpun ada keinginan untuk mencari tahu kapan hari pertama puasa jatuh kali ini. Tidak sampai saya mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP) dua hari lalu.

Seorang teman mengajak keluar dan, secara aneh, kami menyepakati bertemu di TMP Kairagi. Dia guru sejarah, saya penikmat sejarah, dan kami sama-sama belum pernah mengunjungi TMP tersebut. Klop. Begitulah sesama histori-mania menghabiskan akhir pekan: di TMP.

Kompleks yang diresmikan pada 1 April 1969 itu terbagi dalam empat kapling. Dua di depan, dan dua di belakang. Di sebelah kiri terdiri dari nisan-nisan berbentuk salib, sedangkan di sebelah kanan untuk yang Muslim. Yang terdekat dengan gerbang masuk berisi makam-makam yang paling tua.

Pada tengah hari kami mulai menelusuri jejak-jejak para pahlawan. Dari nama-nama yang tertera, ternyata banyak yang berasal dari suku Batak dan Jawa. Yang lebih mengherankan, banyak nisan bertanggal antara tahun 1958 hingga 1960.

Siang itu tidak ada pengunjung lain selain kami berdua, sehingga dengan cepat kami menangkap pergerakan dari seorang gadis remaja yang baru masuk. Ekor mata kami mengikuti bagaimana ia dengan lincah menelusuri rute yang tampaknya sudah ia hafal. Tak butuh waktu lama, berhentilah ia di sebuah nisan di kapling tengah.

Kapling Makam Muslim di TMP Kairagi. Sumber: dokumentasi pribadi
Kapling Makam Muslim di TMP Kairagi. Sumber: dokumentasi pribadi

Kami tidak kuasa untuk tidak mengajak berbicara gadis itu. Dari dekat kami bisa menebak usianya, sekitar 20-an. Ia sendiri baru dua tahun pindah dari Surabaya mengikuti keluarganya di Bitung, sebuah kota pelabuhan dekat Manado.

Ia menuturkan bahwa ia adalah cucu dari pahlawan yang sekarang terbaring di bawah nisan tersebut. Kakeknya dulu merupakan salah seorang tentara yang ditugaskan untuk menindaklanjuti peristiwa di Lubang Buaya. Setelah itu kakeknya pindah dan bermukim di Bitung.

Alasan ia datang ke TMP Kairagi pada hari itu adalah untuk nyekar dalam rangka menyambut bulan puasa. Tradisi yang saya tahu berlaku di Medan, tanah kelahiran saya, dan di pulau Jawa. Untuk itulah ia membawa serta air kemasan 1,5 liter dan sejumput bunga.

Ada yang berbeda dari sorot matanya. Cucu pahlawan itu tidak mengharapkan orang bersimpati atas apa yang sedang ia kerjakan. Di kota yang mungkin tidak acuh terhadap bulan puasa ini, ia tetap melakukan apa yang menurutnya harus ia lakukan.

Ia tidak cengeng. Tidak seperti oknum-oknum agamis yang menghabiskan energi memaksa orang-orang bersimpati atas kelaparan dan kehausan mereka. Ia mewarisi ketabahan para pahlawan di masa lalu.

Menarik untuk diketahui bahwa banyak momen bersejarah Republik ini terjadi pada bulan puasa. Teuku Umar, pahlawan Aceh itu, misalnya, gugur dalam sebuah penyergapan sekitar tanggal 30 Ramadhan 1316. Enam tahun sesudahnya, istrinya, Cut Nyak Dien, juga disergap dalam bulan Ramadhan. Belanda tahu persis waktu terbaik untuk menyergap musuh-musuhnya adalah pada waktu mereka berpuasa.

Strategi yang sama mereka pakai bahkan setelah Indonesia merdeka. Tepat ketika umat Muslim bersiap memasuki malam ketiga Ramadhan pada bulan Juli 1947, tentara KNIL merangsek memasuki ibukota Jakarta. Perjanjian Linggarjati mereka khianati.

Ternyata pola yang sama diterapkan ketika perang saudara meletus di Sulawesi. Dalam bulan Ramadhan 1377 H, atau pada April 1958, Angkatan Udara Revolusioner (AURev) Permesta memborbardir kota Makassar, Balikpapan, dan Morotai. Alasan mengapa ada banyak nisan bertahun 1958 hingga 1959 di TMP Kairagi adalah cermin dari perjuangan tentara melawan Permesta.

Sayup-sayup TMP ini menyerukan sebuah hikmah dan harapan untuk bulan Ramadhan. Pertama, seorang pahlawan tidak kurang heroik pada bulan puasa.

Bagi para kesuma bangsa, puasa bukan hanya soal menahan lapar dan haus. Ketidaknyamanan itu tidak dapat dibandingkan dengan kesakitan meregang nyawa melawan penjajah. Ramadhan bagi mereka adalah perjuangan melawan ketidakadilan, perpecahan, dan kebodohan.

Kedua, puasa melintasi agama. Dalam setiap fase Republik kita, para pahlawan berpuasa, baik dalam bulan Ramadhan tiba, maupun di luar itu. John Lie sering tidak makan ketika menjalankan misi menyelundupkan senjata bagi pejuang-pejuang Republik. 

Begitu pula Soejono, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) pada masa Pemerintahan Darurat RI, ikut berpuasa bersama pasukannya ketika bergerilya di Minangkabau dan Jambi. Nama baptisnya Hubertus.

Ketiga, mari kita mewaspadai strategi sergap-ketika-puasa ala Belanda. Presiden Soekarno mengingatkan bahwa perjuangan kita lebih berat karena melawan saudara sendiri. Banyak musuh dalam selimut berkedok organisasi keagamaan bercita-cita mengganti ideologi negara. Mereka tahu, saat paling tepat untuk menimbulkan riak adalah pada waktu umat Muslim berpuasa.

Janganlah kita lupa bahwa Republik ini lahir pada bulan Ramadhan. Dalam kondisi lemah, pusing, dan bibir pecah-pecah, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Seluruh Indonesia dipersatukan pada bulan puasa.

Harapan itu kiranya tetap terpelihara. Ketika Anda berpuasa di Sumatera, di Kalimantan, di Jawa, atau di Papua, kami yang di Sulawesi Utara juga turut merasakan. Indonesia bersatu pada bulan Ramadhan. Itulah asa dari Taman Makam Pahlawan.

Salam dari Bumi Nyiur Melambai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun