Mohon tunggu...
petrusxavier chyko
petrusxavier chyko Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Seorang Mahasiswa semester 5 berkuliah di STIE IEU Yogyakarta. Hobby saya Sepak bola dan musik .

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Halaman katalong kolom komentar:mengapa belanja dimedia social commercejauh lebih 'bikin nagih'dan apa artinyabagi loyalitas merek

11 Oktober 2025   13:28 Diperbarui: 11 Oktober 2025   13:15 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan: Ketika Belanja Tak Lagi Soal Tujuan, Tapi Perjalanan.

Dulu, berbelanja online adalah sebuah misi yang terstruktur dan terencana. Kita membuka aplikasi -commerce, mengetik kata kunci yang spesifik ("sepatu lari", "mixer roti"), membandingkan spesifikasi produk, membaca ulasan, dan akhirnya melakukan transaksi. Proses ini sangat logis, berorientasi pada tujuan (goal-oriented), dan seringkali terasa dingin—sebuah jalur lurus dari kebutuhan menuju pemenuhan. Fokus utama konsumen adalah efisiensi harga dan logistik (pengiriman cepat dan murah). Namun, kini, pengalaman belanja berbasis misi itu terasa usang. Perilaku konsumen telah bergeser secara masif: kita tidak lagi membuka aplikasi dengan tujuan membeli; kita membuka media sosial untuk hiburan, dan tanpa sadar, kita menemukan produk, dan kemudian membeli. Inilah fenomena Social Commerce (S-commerce). S-commerce bukan sekadar menjual di media sosial; ini adalah integrasi fundamental di mana interaksi sosial, konten video, dan hiburan menjadi pemicu utama pembelian. Pergeseran ini menunjukkan bahwa konsumen modern tidak hanya mencari efisiensi transaksional, tetapi juga validasi relasional (kepercayaan dari komunitas dan rasa memiliki).

Tesis Utama: Pergeseran perilaku konsumen menuju S-commerce didorong oleh kebutuhan psikologis akan otentisitas, kepercayaan, dan hiburan belanja (shoppertainment). Hal ini secara fundamental menuntut merek untuk mentransformasi strategi retensi, bergerak dari insentif berbasis transaksi (diskon dan poin) menjadi berbasis hubungan (komunitas dan koneksi emosional) demi menjaga loyalitas jangka panjang.

Menggali Perbedaan: S-commerce vs. E-commerce Tradisional

Perbedaan mendasar antara -commerce dan S-commerce terletak pada psikologi konsumen yang mendasarinya. -commerce adalah laksana sebuah katalog digital raksasa, didorong oleh niat logis (mencari, membandingkan, membeli). Platform ini unggul dalam memenuhi demand yang sudah diketahui (misalnya, membeli ulang sampo yang sudah habis). Perjalanan konsumen di -commerce bersifat kaku dan linear (Model : Attention, Interest, Desire, Action) (Model Pemasaran Klasik, St. Elmo Lewis). Metriknya pun "dingin," berfokus pada , , dan kecepatan pengiriman. Sebaliknya, S-commerce beroperasi sebagai sebuah acara sosial, pasar malam, atau pusat hiburan. Inti dari S-commerce adalah serendipitas (discovery) dan validasi sosial. Perjalanan konsumen di sini sirkular; tujuan utamanya adalah untuk dihibur, terhubung, atau belajar, dan tindakan pembelian hanyalah sebuah interupsi yang menyenangkan. Mekanisme dasarnya adalah Teori S-O-R (Stimulus-Organism-Response) (Mehrabian & Russell, 1974), di mana konten yang sangat menarik bertindak sebagai stimulus kuat yang memicu respons pembelian spontan. Perbedaan ini mengubah dinamika kekuatan: -commerce memberikan kendali penuh pada pengguna (mereka mencari), sementara S-commerce justru menyerahkan kendali pada algoritma dan kreator (mereka yang menemukan produk untuk Anda). Pergeseran dari ekonomi "pull" (pengguna menarik produk) ke ekonomi "push" (produk mendorong diri ke pengguna melalui algoritma) inilah yang membuat S-commerce sangat dominan dalam menangkap daya beli yang spontan. Loyalitas di S-commerce dibangun di atas figur, bukan hanya sistem.

E-commerce: Attention, Interest, Desire, Action (AIDA)

-commerce tradisional adalah panggung bagi model (Attention, Interest, Desire, Action) (Model Pemasaran Klasik, St. Elmo Lewis). Perjalanan konsumen cenderung linear:

  • Pencarian: Konsumen aktif mencari produk.
  • Perbandingan: Fokus pada spesifikasi dan harga.
  • Tindakan: Pembelian.

Di sini, metrik kesuksesan utamanya adalah Tingkat Konversi (Conversion Rate). Platform berfungsi sebagai katalog raksasa; efisiensi adalah raja.

Social Commerce: Discovery, Advocacy, and Circular Journey

S-commerce menghancurkan linearitas . Perjalanan konsumen menjadi sirkular dan didominasi oleh penemuan:

  • Penemuan (Discovery): Produk ditemukan saat pengguna sedang asyik scrolling atau menonton live streaming.
  • Validasi Komunal: Produk dievaluasi melalui ulasan langsung, komentar, atau rekomendasi influencer.
  • Advokasi (Advocacy): Pembeli baru didorong oleh , dan pembeli lama menjadi advocate yang memproduksi konten (UGC) baru, memulai siklus lagi.

S-commerce beroperasi berdasarkan Teori S-O-R (Stimulus-Organism-Response) (Mehrabian & Russell, 1974), di mana konten hiburan adalah stimulus yang memicu respons pembelian yang seringkali impulsif. Kepercayaan di sini bergeser dari Kepercayaan Institusional (percaya pada merek Shopee/Tokopedia) menjadi Kepercayaan Interpersonal (percaya pada host live atau reviewer di TikTok).

Analisis Mendalam: Tiga Alasan Konsumen Berpindah

Mengapa pengguna internet di Indonesia, terutama Gen Z dan Milenial, merasa lebih "tertarik" untuk berbelanja di Social Commerce? Alasannya terletak pada perpaduan faktor psikologis dan pengalaman teknis.

  • Jebakan Shoppertainment dan Impulsivitas.
  • Shoppertainment adalah peleburan belanja dan hiburan yang mentransformasi belanja dari sekadar tugas menjadi sebuah aktivitas rekreasi. Faktor kunci di sini adalah live streaming, yang mengubah etalase toko menjadi acara TV interaktif dengan host yang karismatik. Investasi emosional dalam sesi live—mulai dari berbagi anekdot, demonstrasi lucu, hingga respons real-time—menciptakan hubungan parasosial yang mendalam. Konsumen menjadi loyal bukan hanya pada produk, tetapi pada personalitas yang menjualnya, menciptakan rasa kedekatan dan koneksi yang intim. Lingkungan yang serba cepat, interaktif, dan emosional ini adalah tempat yang sempurna bagi pembelian impulsif. Kombinasi dari urgensi waktu-nyata (flash sales yang hitung mundur), persepsi kelangkaan (stok terbatas yang diumumkan host), dan suasana "pesta" secara efektif memintas proses pengambilan keputusan rasional. Studi tentang model S-O-R menunjukkan bahwa stimulus yang sangat menarik (seperti video live yang interaktif) akan menghasilkan keadaan internal yang kuat (seperti kegembiraan atau urgensi), yang berujung pada tindakan segera (pembelian). Jalur pintas psikologis ini, yang mengeksploitasi sisi emosional dan reaktif konsumen, sangat sulit ditiru oleh antarmuka statis berbasis katalog dari -commerce tradisional. Dampaknya, belanja menjadi pengalaman yang "bikin nagih."
  • Kepercayaan Bergeser ke Teman dan Komunitas.
  • Di dunia yang dibanjiri pilihan produk, validitas dan otentisitas telah menjadi mata uang utama. Jika -commerce meminta konsumen untuk mengandalkan kepercayaan institusional (keandalan sistem platform), S-commerce mendemokratisasi kepercayaan, membiarkannya mengalir dari rekan sejawat (peers) dan figur yang relatable—fenomena yang disebut Key Opinion Consumers (KOCs). Pergeseran ini sangat dipengaruhi oleh prinsip Bukti Sosial (Social Proof) (Cialdini, 1984); konsumen modern cenderung lebih percaya pada rekomendasi dari orang biasa yang mereka ikuti atau ulasan dari sesama anggota komunitas daripada iklan resmi merek. Otentisitas video ulasan yang tidak diedit, bahkan jika tampilannya kurang profesional, jauh lebih meyakinkan daripada kampanye iklan yang dipoles. Selain itu, sesi live menjadi alat pembangun kepercayaan yang tak tertandingi. Ketika seorang host secara transparan menjawab pertanyaan sulit tentang produk (misalnya, kelemahan atau cara pakai yang rumit), ia membangun kepercayaan instan berfidelitas tinggi. Interaksi yang langsung dan transparan ini menghilangkan keraguan real-time, yang selama ini menjadi hambatan terbesar dalam belanja online, dan secara efektif mempercepat jalur dari melihat produk hingga mengambil keputusan untuk membeli. Kepercayaan yang didorong oleh sesama ini membentuk ikatan yang lebih kuat dan personal, memupuk loyalitas yang lebih tahan banting.
  • Pengalaman Tanpa Gesekan (Zero Friction).
  • Keberhasilan S-commerce dalam mengubah niat menjadi pembelian secara cepat sebagian besar berasal dari kemampuannya menghilangkan gesekan (friction) dalam proses belanja. Konsep kuncinya adalah perdagangan kontekstual (contextual commerce): menempatkan tombol checkout tepat di momen dan tempat terjadinya penemuan dan keinginan. Konsumen tidak perlu lagi melalui proses terfragmentasi yang melelahkan: melihat produk di TikTok, menyalin nama merek, pindah ke Shopee atau Tokopedia, mencari ulang, dan baru menyelesaikan pembelian. Proses multi-langkah ini sangat rentan terhadap pengabaian. Sebaliknya, S-commerce memungkinkan pengguna untuk mengklik tag produk di video dan menyelesaikan pembayaran di dalam aplikasi yang sama (in-app checkout). Kelancaran teknis ini memfasilitasi dorongan impulsif yang dihasilkan oleh shoppertainment. Selain itu, algoritma personalisasi di S-commerce jauh lebih agresif dan cerdas. Algoritma media sosial memanfaatkan data interaksi yang kaya (lama tontonan, komentar, share) alih-alih hanya riwayat pembelian statis. Ini memungkinkan sistem menyajikan produk yang begitu relevan dengan minat pengguna, sehingga penemuan produk terasa seperti sengaja dirancang hanya untuk mereka. Rasa personalisasi yang tinggi ini mengurangi beban kognitif yang diperlukan untuk mencari produk yang cocok, menciptakan lingkaran konversi yang mudah dan mulus—sebuah kemenangan strategis dalam pemasaran psikologis.

 

 

Implikasi Krusial: Transformasi Retensi dari Transaksi ke Relasi

Pergeseran konsumen ke Social Commerce adalah panggilan darurat bagi merek untuk merevolusi strategi retensi.

  • Perubahan Paradigma: Retensi sebagai Persahabatan
  • Model Retensi Transaksional lama (-commerce), yang mengandalkan diskon, cashback, dan program poin, sangat mudah ditiru oleh pesaing dan hanya menghasilkan loyalitas yang rapuh dan sensitif harga. Tuntutan baru adalah Retensi Relasional (Dwyer, Schurr, & Oh, 1987), yang memprioritaskan pembangunan modal emosional jangka panjang. Ini berarti merek harus menggeser fokus dari volume transaksi ke nilai keterlibatan (value-driven engagement). Kehadiran merek harus terasa seperti hubungan yang berkelanjutan, bukan serangkaian transaksi tunggal. Dalam konteks ini, Community Building menjadi strategi retensi utama. Merek yang cerdas menciptakan ruang eksklusif (private group di Telegram, Discord, atau WhatsApp) di mana pelanggan setia mendapatkan privilege non-moneter: akses awal ke produk baru, kesempatan memberikan feedback pada desain produk, atau sesi langsung dengan pendiri merek. Hal ini memupuk rasa kepemilikan (tribe mentality) yang sangat kuat, membuat konsumen merasa bahwa pindah merek sama dengan meninggalkan komunitas sosial, yang mana secara psikologis jauh lebih sulit daripada hanya mencari diskon yang lebih besar.
  • UGC adalah Modal Loyalitas
  • Di S-commerce, pelanggan setia Anda adalah aset pemasaran dan pilar retensi terkuat. Ketika pelanggan membagikan video unboxing, tutorial, atau ulasan jujur (User-Generated Content/UGC), mereka tidak hanya membantu merek mengakuisisi pelanggan baru, tetapi yang lebih penting, mereka secara aktif memperkuat ikatan emosional mereka sendiri dengan merek tersebut melalui tindakan self-advocacy. Merek harus menganggap UGC bukan sekadar konten gratis, tetapi sebagai investasi sosial yang mendalam. Strategi retensi harus secara eksplisit mendorong UGC. Ini dapat diwujudkan melalui program penghargaan terstruktur: mulai dari hadiah, kartu ucapan personal, hingga fitur khusus kepada top contributors (pelanggan yang paling sering berbagi atau mengadvokasi). Dengan mempromosikan dan merayakan UGC, merek secara efektif mengubah pelanggan pasif menjadi duta merek yang kredibel. Selain itu, konten follow-up yang relevan pasca-pembelian—seperti tutorial styling produk yang baru dibeli atau tips pemeliharaan—akan membuat pelanggan terus terlibat dengan merek, memelihara hubungan setelah transaksi awal selesai, dan memastikan bahwa mereka kembali untuk pembelian berikutnya.
  • Strategi Community Building Pasca-Pembelian
  • Retensi kini terjadi setelah transaksi selesai, jauh dari keranjang belanja. Community Building adalah strategi sistematis untuk memelihara hubungan yang berlandaskan koneksi emosional, bukan sekadar insentif moneter. Merek harus menciptakan platform, baik di dalam aplikasi sosial (misalnya, grup tertutup di Facebook atau fitur "Teman Dekat" di Instagram) maupun di luar (grup obrolan eksklusif), yang berfungsi sebagai ruang aman bagi pelanggan setia. Di ruang ini, interaksi difokuskan pada nilai non-transaksional: berbagi tips penggunaan produk, diskusi topik yang relevan dengan nilai merek, dan kesempatan berinteraksi langsung dengan tim inti merek. Selain itu, Layanan Pelanggan Empatik melalui saluran sosial (DM, inbox) sangat krusial. Merespons pertanyaan atau keluhan dengan cepat dan dengan bahasa yang personal membuat pelanggan merasa didengar dan dihargai sebagai individu, bukan hanya nomor pesanan. Dengan demikian, S-commerce memungkinkan personalisasi melampaui riwayat pembelian; ia memungkinkan merek untuk memprediksi kebutuhan berdasarkan riwayat interaksi (like, komentar, durasi tontonan), yang jauh lebih kaya dan kontekstual daripada data transaksi semata.
  • Tantangan Fragmentasi dan Kebutuhan Jangkar Emosional
  • Meskipun S-commerce kuat dalam membangun hubungan, sifatnya yang fragmented (berbagai platform, konten yang tak terbatas) menimbulkan risiko besar. Perhatian konsumen sangat terdistraksi, dan merek pesaing hanya berjarak satu scroll saja. Risiko Brand Switching sangat tinggi karena kemudahan akses dan rentannya loyalitas pada penawaran harga yang sedikit lebih baik. Untuk melawan risiko ini, merek harus membangun Jangkar Emosional (Emotional Anchor)—yaitu sebuah Brand Voice dan Sistem Nilai yang kuat, konsisten, dan mudah dikenali. Merek harus melampaui sekadar fitur produk dan fokus pada why (mengapa merek itu ada, misalnya, komitmen pada keberlanjutan, pemberdayaan komunitas, atau humor yang khas). Ketika konsumen terikat pada nilai inti merek, alih-alih sekadar harga, mereka akan menjadi lebih imun terhadap upaya kompetitor. Jangkar emosional ini diperkuat oleh konsistensi brand narrative di semua saluran, memastikan bahwa setiap konten—mulai dari live stream hingga balasan di komentar—merefleksikan jiwa merek tersebut. Dengan memprioritaskan nilai dan narasi, merek dapat mengangkat diri di atas persaingan harga, membuat konsumen loyal pada ide dan komunitas di baliknya.

Studi Kasus: Bukti di Asia

Indonesia dan Asia Tenggara adalah episentrum di mana Live Shopping telah membuktikan kekuatan retensi relasional. Studi kasus yang menonjol adalah fenomena Loyalitas Host (Host Fandom). Merek yang paling sukses di live streaming adalah mereka yang menempatkan investasi besar pada host yang karismatik dan relatable. Loyalitas konsumen seringkali bersarang pada kepribadian host tersebut; penonton kembali untuk melihat interaksi dan energi host-nya, baru kemudian membeli produk yang mereka rekomendasikan. Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan ditransfer dari individu yang kredibel kepada merek. Strateginya adalah memberikan Akses Eksklusif (bukan sekadar diskon). Contohnya, memberikan penonton setia live stream kesempatan membeli produk edisi terbatas H-2 sebelum peluncuran publik, atau menyediakan sesi tanya jawab eksklusif dengan pakar. Ketika dibandingkan, Voucher Diskon 20% (-commerce) hanya menawarkan nilai moneter yang dapat direplikasi, sementara Akses Awal Eksklusif (S-commerce) menawarkan nilai emosional dan status yang jauh lebih efektif dalam mempertahankan pelanggan. Merek yang cerdas menjadikan live stream sebagai privilege komunitas, bukan sekadar saluran penjualan.

Kesimpulan: Era Baru Manajemen Hubungan

Pergeseran dari e-commerce ke Social Commerce adalah gerakan yang tidak dapat dihindari, didorong oleh kebutuhan mendalam manusia akan koneksi, hiburan, dan validasi sosial. Konsumen di era digital tidak ingin lagi diperlakukan sebagai dompet yang berjalan; mereka menuntut untuk diakui, dihibur, dan divalidasi sebagai bagian dari komunitas. Implikasinya bagi dunia bisnis sangatlah jelas: Retensi adalah Relasi. Merek harus bergeser dari fokus pada Manajemen Transaksi—yang hanya mengoptimalkan —ke Manajemen Relasi—yang memprioritaskan dan (CLV) melalui interaksi sosial yang bermakna. Kegagalan untuk menerima model relasional ini akan membuat bisnis terjebak dalam "perang harga" yang melelahkan di ranah -commerce tradisional. Masa depan ritel digital tidak lagi tentang mengoptimalkan halaman checkout, melainkan mengoptimalkan interaksi dan koneksi emosional yang mendalam. Kunci utama retensi adalah mengubah setiap transaksi menjadi percakapan, dan setiap pelanggan menjadi kolaborator.

DAFTAR PUSTAKA

Cialdini, R. B. (1984). Influence: The Psychology of Persuasion. William Morrow.

Dwyer, F. R., Schurr, P. H., & Oh, S. (1987). Developing, evaluating, and maintaining  buyer-seller relationships. Journal of Marketing, 51(2), 21-34.

Lewis, E. S. (c. 1898). The AIDA Model. (Model Klasik Pemasaran).

Mehrabian, A., & Russell, J. A. (1974). An Approach to Environmental Psychology. The MIT Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun