Sebenarnya aku masih ingin tinggal di Jakarta selama beberapa hari lagi, tapi keadaan tidak mengizinkanku.
Hari Selasa pagi aku terbangun jam setengah 7. Pagi itu menjadi akhir perjalananku di Jakarta karena stok pakaian sudah habis, dan kebetulan esok hari aku memiliki agenda di Semarang. Setelah mandi dan berkemas, aku berpamitan dengan temanku untuk memulai petualangan pulang menuju Semarang. Rute yang kulalui sama seperti rute ketika aku berangkat dari Semarang. Saat memulai perjalanan pulang menuju Semarang, aku mengganti jenis bahan bakar yang sebelumnya Pertalite dengan oktan 90 menjadi Shell Power dengan oktan 95. Perjalanan pulangku pun akhirnya dimulai.
Jalan demi jalan kulalui dengan semangat. Selama perjalanan, tidak ada kendala berarti yang kuhadapi. Jam demi jam pun berlalu. Tanpa terasa aku sudah melalui berbagai kota. Ketika itu aku mulai memasuki kota Brebes, dan tiba-tiba aku teringat bahwa aku harus membawakan oleh-oleh untuk orang rumah. Kebetulan di sisi jalan aku melihat toko telur asin khas Brebes berdiri berdampingan dengan rapi. Kemudian aku menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu toko-toko itu. Aku membeli satu kotak paket telur asin yang isinya 5 telur asin rebus dan 5 telur asin bakar. Ibu penjaga toko langsung memberi tahu harga yang harus kubayar dengan wajah senyum dan nada yang ramah. Harga untuk telur-telur yang kubeli itu adalah 40rb rupiah. Mungkin memang sedikit lebih mahal dari harga telur asin pada umumnya, tapi harga itu masih bisa ku terima.
Perjalanan pun berlanjut. Entah apa yang membuatku begitu bersemangat hari itu, aku merasa aku benar-benar menikmati perjalanan dan tidak merasakan rasa lelah seperti yang ku alami saat berangkat dari Semarang ke Depok. Aku benar-benar tidak merasakan berapa banyak waktu yang telah berlalu, dan aku hanya menikmati pengalaman berkendara bersama tungganganku. Sesekali aku menghentikan laju motor untuk membeli minum di Indomaret dan membeli bensin. Akhirnya aku tiba di Semarang, dan saat itu waktu menunjukkan jam 5 kurang. Aku tiba di rumah jam setengah 6 sore.
Sesampainya di rumah, aku langsung memandikan motor, helm, dan ranselku. Setelah selesai, aku mandi dan langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Rasa lelah, pegal, dan perih pun seketika terasa secara mendadak. Aku tidak menyadari bahwa sisi atas telapak tangan dan kakiku terbakar hebat oleh terik matahari sepanjang siang tadi. Kulitku yang terbakar itu sama sekali tidak menampakkan kecerahannya seperti biasanya. Memang salahku karena aku mengabaikan pentingnya fungsi sarung tangan dan sepatu. Di sisi lain, tulang belakangku yang menopangku selama berjam-jam saat duduk diatas motor juga mulai meneriakkan keluh kesahnya. Rasa pegal dan nyeri muncul secara bersamaan, seolah membuatku merasa bersalah akan perlakuanku pada tubuhku sendiri.
Tapi ada satu hal yang sangat kusyukuri, bahwa aku berhasil melalui perjalanan tersebut dengan selamat dan sehat. Perjalanan berkendara dengan motor sejauh lebih dari 500km seorang diri ini merupakan perjalan pertama dan mungkin akan menjadi yang terakhir kalinya bagiku. Keseruan yang kudapat tidak sebanding dengan kesehatan tubuh yang kukorbankan. Selain itu jalur Pantura yang penuh lubang dan benjolan berpotensi besar membuat velg dan shock breaker rusak. Sulit untuk mengatur kecepatan di jalur Pantura, karena semakin pelan pengendara memacu kendaraannya, semakin lama ia harus menikmati kejamnya medan Pantura.
Sekedar informasi, di tahun 2017 total ada 556 kasus kecelakaan yang terjadi di sepanjang jalur Pantura, meningkat dari tahun 2016 yang berjumlah 521 kasus. Selain itu di jalur ini, sedikitnya ada 47 kasus begal yang berhasil diungkap oleh pihak kepolisian sepanjang tahun 2017.Â
Sekian ceritaku di awal tahun 2018 ini, semoga bermanfaat, salam ! :)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI