"Papua menyajikan kenyataan bahwa surga tak selamanya tanpa luka dan air mata!"_Petrus Pit Supardi
Setiap mata yang memandang Papua dengan hati jernih pasti melantunkan syukur kepada yang Ilahi. Hamparan alam Papua yang indah, hutan, gunung, sungai, laut, pantai, danau, aneka flora dan fauna  menampilkan gambaran paling lengkap mahakarya Tuhan Pencipta langit dan bumi.
Kekinian, surga yang jatuh ke bumi itu, sedang menjerit. Konflik bersenjata tidak kunjung berakhir. Dalam situasi itu, hutan alam dibongkar melalui Proyek Strategis Nasional (PSN), yang merusak tatanan hidup harmoni, sekaligus menggusur masyarakat adat, pemilik ulayat dari tanah leluhurnya.
Atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat, Papua terluka. Surga terakhir di muka bumi itu bergejolak. Konflik berlarut, mulai dari konflik ideologi, sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Apakah orang asli Papua dan orang-orang yang hidup di tanah Papua akan sejahtera di atas puing-puing kehancuran akibat konflik bersenjata yang tak kunjung henti ini? Â
Luka sejarah
Memoria Passionis Papua seperti mazmur, ratapan dukacita. Hidup di tanah Papua seperti malam tanpa siang. Gelap tanpa terang. Badai tanpa teduh. Air mata seperti mata air yang mengalir tanpa henti.
Sejarah penindasan Papua terang benderang. Suara menuntut keadilan Papua berkumandang. Tetapi, siapa mau peduli dan mendengarkan jerit-tangis Papua? Penguasa memiliki mata, tetapi tidak melihat. Kekuasaan sekaligus bikin telinga tuli! Dan, Papua terus bergejolak!
Tentang sejarah Papua yang bengkok itu, mengapa tidak diluruskan? Mengapa ada ketakutan akut terhadap proses pelurusan sejarah Papua?
Papua memiliki sejarahnya sendiri. Tetapi, mengapa ia tak boleh menjadi dirinya sendiri? Bukankah setiap suku bangsa berhak menentukan dirinya dan masa depannya di dalam rumahnya sendiri?
Dalam Sangkar
Sangkar emas sekalipun tetap sangkar. Tak ada kebebasan. Tak ada kepedulian. Ada di dalam sangkar. Sekedar pajangan. Jadi tontonan gratis.
Sudah 62 tahun Papua hidup dalam sangkar. Penguasa merawat sekedarnya saja. Hidup saja sudah bersyukur. Sehat, bisa sekolah dan lanjut usia itu bonus. Karena, di sangkar ini, kematian dini lumrah. Tidak sekolah biasa saja. Gizi buruk jadi pajangan. Siapa mau peduli? Tidak ada!
Melepaskan diri, terbang ke luar merupakan suatu keniscayaan. Waktunya akan tiba, dan pasti datang. Dalam ruang terbatas ini, perlu belajar, bekali diri dengan keterampilan. Banyak membaca, menulis. Bikin riset. Uji coba dan latihan terus-menerus sampai mahir dan mandiri!