Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Gereja Katolik yang Menyembuhkan Luka Papua

9 Juni 2022   05:40 Diperbarui: 9 Juni 2022   05:45 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"...pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus." (Matius 28:19)

Titik tolak sejarah Gereja Katolik adalah Pribadi Yesus, Putera Allah. Di dalam dan melalui Yesus, kita mengenal, mengetahui dan menjadi akrab dengan Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus.  

Ketika kita berbicara dan berefleksi tentang Gereja dan sejarahnya, kita sebenarnya sedang masuk ke dalam sejarah (misi) penyelamatan umat manusia dan alam semesta, yang diemban dan diwartakan oleh Yesus. Karena itu, kita perlu mengenal lebih dalam, siapa itu Yesus dan apa visi-Nya?

Kekinian, dalam konteks sejarah misi Gereja Katolik di Papua, bagaimana Gereja Katolik melihat Papua secara utuh (manusia, budaya, alam dan leluhur Papua)? Apakah visi Yesus, yaitu Kerajaan Allah sungguh-sungguh telah diterapkan/diwujudkan oleh para pengikut-Nya di tanah Papua? Bagaimana upaya Gereja Katolik dalam "memeluk dan mengobati" Papua  yang sedang menderita dan terluka saat ini?

Yesus, Allah yang Mengosongkan diri dan Menjadi Manusia (bdk Filipi 2:1-11)

Yesus, Putera Allah menjadi Manusia, bermula di rahim Maria-mengungsi ke Mesir-dibaptis oleh Yohanes-penolakan tua-tua adat, pemuka agama Yahudi-mencuci kaki para murid-menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya-Getsemani-Salib-Kubur-bangkit mulia!

"Jangan takut hai Maria, sebab engkau akan beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya, engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah yang Mahatinggi." (Matius 1:31-32). 

Ia lahir sebagai manusia rapuh di sebuah kandang ternak di Betlehem (bdk Lukas 2:1-20) dan langsung menjadi pengungsi. Ia mengungsi ke Mesir (bdk Matius 2:13-15).

Pada saat memulai karya-Nya, Yesus meminta diri-Nya dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Pada saat keluar dari air, terdengar suara dari sorga, "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi kepada-Nyalah Aku berkenan." (Matius 3:17). 

Di atas gunung, bersama Petrus, Yakobus dan Yohanes, Yesus berubah rupa, wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. Dalam peristiwa transfigurasi itu, terdengar pula suara dari awan, "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." (bdk Matius 17:1-13                                                                                                                                                                                                     

Menjelang akhir hidup-Nya, Ia melakukan perjamuan bersama para murid-Nya. Pada saat itu, Ia membasuh kaki murid-murid-Nya dan berpesan, "Jadi, jikalau Aku membasuh kaki-Mu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab, aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu supaya kamu juga perbuat sama seperti yang Kuperbuat kepada kamu." (Yohanes13:14-15).

Pada perjamuan itu, Yesus mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya bagi umat manusia. "Ambillah dan makanlah inilah Tubuh-Ku." Kemudian, Ia mengambil cawan, mengucap syukur dan berkata,  "Minumlah kamu semua dari cawan ini. Sebab, inilah darah-Ku, darah perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa." (Matius 26:26-29).                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   Di Getsemani, "Ya, Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (bdk Matius 26:36-45). Di hadapan Mahkamah Agama, Ia menjawab tanpa takut, "Kamu sendiri mengatakan bahwa Akulah Anak Allah!" (bdk Lukas 22:63-70). Demikian halnya, di hadapan Herodes dan Pilatus, Ia menerima segala keputusan tidak adil atas hidup-Nya (bdk Lukas 23:1-25).

Salib! Ia memikul salib ke gunung Kalvari. Di sana, Ia disalibkan! "Ya, Bapa ke dalama tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." (bdk Lukas 23:26-49).

Kubur! Yesus, Putera Allah merasakan dan mengalami kegelapan makam! (bdk Lukas 23:50-55).

Bangkit! "Salam bagimu. Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea dan di sanalah mereka akan melihat Aku." (bdk Matius 28:1-10).

 

Gereja Katolik Papua Kembali ke Visi Yesus untuk 

"Memeluk dan Merawat" Papua yang sedang Terluka

 

Hari ini, 22 Mei 2022, kita merayakan 128 tahun Gereja Katolik masuk ke tanah Papua, tepatnya di Sekru, Fak-Fak. Pada hari itu, 22 Mei 1894, Pastor Lecoq Armand de Ville tiba di Sekru, Fak-Fak dan memulai misi pewartaan Kerajaan Allah. Demi memperluas pelayanannya, Pastor Lecoq berlayar ke Mimika. 

Di Mimika, ajal menjemputnya pada tanggal 27 Mei 1896. Dengan kematian Pastor Lecoq, maka misi Katolik di tanah Papua untuk sementara berhenti.

Misi Katolik di tanah Papua, kembali aktif, hidup, tumbuh, berkembang sejak kehadiran misionaris Hati Kudus Yesus (MSC), di Merauke pada 14 Agustus 1905. Mereka adalah dua orang Pastor, yaitu Pastor Henri Nolen MSC dan Pastor Philipus Braun MSC dan dua orang Bruder, yaitu Bruder Adrian van Roesel MSC dan Bruder Melchior Oomen MSC. 

Dalam perkembangan, kita mengetahui Ordo Fratrum Minorum (OFM) tiba di Papua pada 18 Maret 1937  di Kaimana. Kemudian Ordo Santo Agustinus (OSA=Ordo Sancti Agustini) tiba pada tahun 1953 dan melayani di 'kepala burung.' Masih pada era misionaris, Ordo Salib Suci (OSC=Ordo Sanctae Crucis) dari Amerika Serika datang ke Papua Selatan, tepatnya di Merauke pada 7 November 1958 dan selanjutnya melayani di wilayah Asmat.   

Kita bisa membayangkan kondisi transportasi, komunikasi dan medan Papua pada tahun 1894 saat Pastor Lecoq tiba di Sekru sampai dengan tahun 1958, para misionaris OSC tiba di Agats, Asmat. Di dalam situasi saat itu, yang serba terbatas, para misionaris meninggalkan Eropa dan Amerika Serikat menuju ke tanah Papua. Mereka datang dengan membawa visi Yesus, yaitu Mewartakan Kerajaan Allah! 

 

Masuk ke dalam Papua lewat pintu budaya

Kita mendengar kisah, tetapi juga membaca dari literatur sejarah, bahwa Gereja Katolik, melalui para misionaris Katolik hadir di tanah Papua untuk Papua secara utuh. Para misionaris hadir untuk manusia Papua, budaya Papua, alam Papua, leluhur Papua.

Kita tidak menjumpai, baik dalam catatan tertulis atau pun narasi lisan bahwa ada misionaris Katolik merusak/membakar benda budaya orang Papua. Kita menjumpai misionaris Katolik masuk mewartakan Injil melalui pintu budaya, salah satunya adalah bahasa setempat.

Penghormatan terhadap budaya orang Papua, misalnya kita bisa lihat jelas di Asmat. Di sana, Keuskupan Agats mendirikan Museum Kemajuan dan Kebudayaan Asmat. Setiap tahun Gereja Katolik Keuskupan Agats (kini bekerja sama dengan Pemda Asmat) menyelenggarakan festival budaya Asmat. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana Pastor Frans Liehout OFM merayakan Ekaristi dalam bahasa Dani di lembah Balim.

Di Asmat, tepatnya di Sawa Erma, Pastor Vince Cole, MM membangun gedung gereja dengan nuansa simbol-simbol Asmat serta merayakan liturgi kontekstual Asmat. Sejak zaman misionaris Gereja Katolik selalu berupaya mengembangkan inkulturasi dalam Gereja Katolik. Misalnya, di dalam liturgi; doa, nyanyian, tarian.

Bagaimana dengan pastoral kita saat ini, apakah masih menggunakan pendekatan budaya atau pendekatan uang, gula, kopi seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia? Apakah pendekatan pastoral saat ini, sesuai konteks kekinian Papua sehingga kawanan domba merasa disapa, dipeluk dan dirawat di dalam rumah Gereja Katolik Papua?

 

Tinggal bersama Papua

Kita pasti ingat kisah Emaus. Dua murid mengajak Yesus, yang mereka tak kenal itu, supaya tinggal bersama mereka. "Tinggallah bersama-sama dengan kami..." (Lukas 24:29). Gereja Katolik, kalau mau sungguh-sungguh menjadi Papua, harus tinggal bersama Papua!

Tinggal bersama-sama memiliki makna luas. Di sana, ada percakapan, diskusi, saling bicara, saling menemukan titik-titik rapuh dan titik-titik kekuatan. Melalui tinggal bersama-sama, kita menemukan: "apa yang dapat kita lakukan bersama untuk memeluk dan merawat mereka yang terluka di tanah ini?" 

 Kita telah menerima Yesus dan Injil, sekaligus mendirikan dan menjadi bagian dari rumah Gereja Katolik. Kita adalah Gereja Katolik Papua. Apakah orang Papua yang tinggal di dalam rumah Gereja Katolik Papua menjadi lebih baik? 

Bukankah sampai saat ini, orang Papua Katolik di pelosok Papua masih berada dalam situasi sulit: orang sakit tidak bisa berobat. Anak-anak usia sekolah tidak bisa sekolah! Ibu hamil dan anak balita menderita gizi buruk. Ekonomi umat sangat terbatas. Hutan alam, dusun, tempat keramat hilang karena perkebunan kelapa sawit, perumahan, perkantoran, dll!

Saat ini, kekinian Papua, di tanah Papua ini, pada perayaan 128 tahun misi Katolik di tanah Papua, kita diminta untuk: "mari masuk ke dalam rumah Papua!" (cem a..."). Gereja Katolik Papua, baik kaum hierarki: Uskup, Pastor, Diakon, maupun umat awam Katolik; "Gembala dan Domba harus tinggal dalam satu kandang; satu rumah Papua!" 

Kita tahu bersama selama ini, terutama pada masa setelah misionaris, dan secara khusus, pada era otonomi khusus Papua (otsus-2001), kita tercerai-berai. Domba-domba, baik yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif maupun  kawanan domba yang ada di kampung-kampung, mencari jalannya sendiri. 

Sementara, Gembala tinggal di pastoran, menunggu domba-domba datang. Keduanya, Gembala dan Domba terpisah; tidak tinggal lagi di dalam satu rumah Gereja Katolik Papua!

Apakah para Gembala sudah datang tinggal dengan kawan domba di dalam satu kandang/rumah Gereja Katolik Papua?

 

Saling "mencuci kaki" 

Wasiat terakhir Yesus pada malam perjamuan bersama para murid sangat jelas! Ia berkat, "Jadi, jikalau Aku membasuh kaki-Mu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab, aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu supaya kamu juga perbuat sama seperti yang Kuperbuat kepada kamu." (Yohanes13:14-15).

Sebagai Gembala, apakah kita sudah berani "turun" ke tempat rendah, merendahkan diri untuk "mencuci kaki" kawanan domba yang dipercayakan kepada kita? Di dalam keluarga-keluarga kita, apakah kita berani saling "mencuci kaki" satu sama lain: suami-istri, anak-anak-orang tua, dll.

Sebagai anak-anak Allah, yang tinggal di dalam rumah Gereja Katolik Papua, kita perlu merefleksikan kembali semangat pelayanan kita kepada sesama kita. Apakah kita telah sungguh-sungguh melayani sesama seperti kita melayani Tuhan Yesus yang tersalib, ataukah kita bersikap acuh-tak acuh terhadap sesama, alam, lingkungan di sekitar kita?

 

Gereja Katolik Papua, Saling Berjumpa dan Berdialog 

Orang asli Papua menganut adat-istiadat dan budaya yang mengagumkan! Nilai-nilai hidup baik seperti berbagi, tegur-sapa, menerima dan menghormati sesama, memelihara keseimbangan ekologi dan membangun relasi baik dengan leluhur. 

Injil Yesus semestinya bertumbuh subur di atas nilai-nilai budaya Papua ini. Kita mesti ingat, bahwa Injil Yesus datang menjumpai orang Papua yang telah "mengenal Injil Yesus" jauh sebelum misionaris Eropa datang. Karena itu, Injil Yesus yang dibawa oleh para misionaris Eropa ini, datang untuk menggenapi nilai-nilai hidup baik Papua!

Perpaduan nilai-nilai hidup baik dalam budaya Papua dan Injil Yesus, mendasari tumbuh-kembangnya Gereja Katolik Papua! Maka, di dalam rumah Gereja Katolik Papua, seharusnya orang Papua menjadi lebih sehat, bertumbuh, berkembang, umur panjang, damai, sejahtera dan bahagia!

Tetapi, realitas saat ini, justru terbalik! Orang asli Papua hidup menderita di dalam rumah Gereja Katolik! Apa yang sedang keliru dengan model pastoral di tanah Papua ini?

Perjumpaan dan Dialog! Saat ini, aspek perjumpaan, kunjungan pastoral ke rumah umat semakin jarang. Gembala dan Domba jarang bertemu. Ruang-ruang dialog, diskusi, percakapan antara Gembala dan Domba semakin terpisah lebar. Kalaupun Gembala bertemu Domba, biasanya gembala pergi ke "domba yang gemuk!" Domba yang memiliki harta, jabatan, kekuasaan, atau domba yang memiliki hubungan pertalian darah/keluarga/suku!

Secara khusus, saat ini dialog antara Gembala dan tetua adat, pemerintah kampung, pemuda, tokoh perempuan di kampung-kampung/stasi/kombas merupakan suatu kemendesakan. Generasi kita sedang rusak oleh pengaruh-pengaruh dari luar seperti lem aibon, seks bebas, konsumsi minuman alkohol berlebihan, dll. Bagaimana Gembala bisa menjembatani perjumpaan dan dialog untuk mengatasi permasalahan sosial ini?

Pendidikan! Bagaimana proses pendidikan iman umat berjalan kalau tidak ada perjumpaan? Pastor hanya baptis; selebihnya umat bertumbuh sendiri! Apakah mungkin kebun yang tidak dirawat akan menghasilkan panenan yang berlimpah? 

Pendidikan informal, Katekese, tidak berjalan; kalaupun berjalan tidak efektif! Para Katekis kampung/dewan Gereja di stasi-stasi tidak disiapkan dengan baik! Kawanan domba di kampung terpencil bagaikan "anak tiri!" Mereka mau hidup atau mati, bukan urusan Gembala! Ironis!

Pendidikan formal SD-SMA yang berkualitas hanya di kota-kota di Papua dengan biaya mahal. Sekolah Katolik di pinggiran kota sampai pedalaman sedang sekarat! Asrama-asrama Katolik, yang merupakan wadah kader  Katolik semakin sedikit. Alasannya, pemerintah kabupaten/kota sudah bangun asrama-asrama untuk mahasiswa.

Selain itu, sampai saat ini, Gereja Katolik Papua, yang terdiri dari 5 keuskupan, tidak memiliki Universitas Katolik! Padahal, kita tahu bersama, bahwa Universitas merupakan lembaga pendidikan yang menyiapkan sumber daya manusia unggul! Mengapa di pulau lain, begitu mudah Uskup mendirikan Universitas Katolik, sedangkan di Papua sudah 128 tahun tidak ada Universitas Katolik?

Fokus pada manusia, bukan gedung!

Pada zaman misionaris Eropa dan Amerika, para Uskup dan Pastor fokus memperhatikan manusia orang asli Papua. Para misionaris Katolik membangun sekolah, klinik kesehatan, pertanian, pertukangan, peternakan, perkebunan, dll. Pewartaan Injil terjadi dalam seluruh aktivitas para misionaris. Pewartaan Injil menjawab kebutuhan rohani dan jasmani orang Papua pada zaman itu!

Kekinian, justru terbalik! Manusia orang asli Papua, yang tinggal di dalam rumah Gereja Katolik terlupakan, terabaikan, karena Gembala, Uskup, Pastor, dewan Gereja, sibuk membangun gedung gereja dan pastoran atau aula. Pada hari Minggu, kita biasa dengar pengumuman penggalangan dana untuk pembangunan gedung gereja, pastoran dan aula. 

Tetapi, kita jarang mendengarkan gerakkan dana solidaritas pendidikan dan kesehatan untuk kawanan domba di pedalaman/di pelosok Papua.

Kita belajar pada Yesus, bahwa selama karya-Nya, tiga tahun di Palestina, Ia tidak mendirikan gedung apa pun. Bahkan, Ia meratapi Yerusalem. Sebab, Ia tahu Yerusalem dan segala kemegahan-Nya akan hancur! Nubuat-Nya terbukti! Tahun 70 Masehi, bangsa Romawi menghancurkan Yerusalem.

Yesus fokus pada manusia! Secara khusus, manusia yang terpinggirkan, terbuang, orang berdosa, orang sakit. Yesus tidak "berselingkuh" dengan tua-tua adat, orang Farisi. Ia secara tegas mewartakan Kerajaan Allah yang berpihak pada orang miskin dan tertindas!

 

Gereja Katolik Papua ke Depan: Merawat Budaya sebagai Dusun Pertumbuhan Iman 

akan Yesus Kristus dalam Semangat Doa, Pertobatan dan Persatuan

Selama 128 tahun, kita membangun dan merawat Gereja Katolik Papua di atas dasar siapa dan apa? Apakah Yesus dan Injil mendasari perziarahan Gereja Katolik Papua selama ini? Apakah rumah Gereja Katolik Papua sudah menjadi "tempat yang menyelamatkan Papua?"

Merawat budaya suku-suku di Papua sebagai fondasi pertumbuhan benih Injil

Gereja Katolik sebagai "rumah baru" bagi orang Papua, perlu membangun dialog dengan tetua adat, tokoh-tokoh adat, dalam usaha bersama merawat budaya orang Papua sesuai suku masing-masing. Nilai-nilai hidup baik dalam budaya suku-suku orang Papua menjadi fondasi, dasar bagi pertumbuhan benih Injil.

Karena itu, rumah Gereja Katolik Papua, perlu menyiapkan ruang perjumpaan dan dialog dengan budaya suku-suku di Papua secara terus-menerus.

Gereja yang berdoa

Gereja Katolik Papua adalah Gereja yang berdoa terus-menerus, tanpa henti. Kita ingat Yesus, Putera Allah, seluruh hidupnya adalah doa. Ia mengajarkan Doa Agung, "Bapa Kami." (Matius 6:5-14). Ia selalu meminta para murid untuk berdoa dan berjaga-jaga. Di taman Getsemani, Ia berkata, "Berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut tetapi daging lemah!" (Matius 26:41).

Kita perlu jujur pada diri kita sendiri. Selama ini, berapa kawanan domba kita, umat kita, yang datang ke gereja pada hari Minggu? Bagaimana dengan doa pribadi dan doa di dalam keluarga? Kita bisa lihat, berapa orang mengikuti Misa harian?

Doa merupakan komunikasi intim dengan Tuhan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Tetapi, dari mana kita mengenal Allah? Apakah kita tekun membaca dan merenungkan sabda-Nya. Apakah di rumah kita memiliki Kitab Suci/Alkitab? Kalau kita tidak memiliki Alkitab, bagaimana kita bisa mengenal Allah lebih dalam dan intim?

Gereja yang bertobat

Berdoa dan bertobat bagaikan sisi mata uang, tak bisa saling terpisahkan! Seorang pendoa adalah juga seorang pentobat. Gereja Katolik Papua perlu bahkan wajib bertobat, bukan hanya dalam kata-kata pengakuan, "doa tobat!" melainkan dalam tindakan untuk hidup sederhana, berbela-rasa, bersolider, berempati, dengan orang miskin dan tertindas!

Secara khusus, Gereja Katolik Papua harus berani bertobat dari sikap membangun gedung-gedung gereja, pastoran dan aula kepada sikap membangun manusia orang asli Papua di pelosok tanah Papua. Kita bikin gerakan dana solidaritas untuk pendidikan, kesehatan dan ekonomi umat kita di pelosok Papua. 

Kita harus mengarahkan hati, pikiran, tubuh, jiwa, roh kita ke sana, ke kampung-kampung terpencil, ke tempat orang-orang miskin dan menderita!

Hal mendasar dan tak boleh diabaikan adalah Sakramen Tobat/Pengakuan Dosa! Saat ini, bahkan para Imam/Pastor/Uskup di tanah Papua tidak peduli lagi pada Sakramen Tobat! Seakan-akan Gereja Katolik Papua tidak ada dosa lagi. Sakramen Tobat hanya Natal dan Paskah!

Padahal, di tempat lain, pintu Gereja terbuka setiap saat untuk Pengakuan Dosa! Kita bisa cek, atau cari tahu, berapa orang Imam di Papua ini sungguh-sungguh menghayati dan melayani Sakramen Pengakuan Dosa? Berapa Uskup menyerukan/mengeluarkan Surat Gembala terkait penghayatan dan pelaksanaan Sakramen Tobat?

Satu Papua, Satu Katolik

Gereja Katolik Papua telah berusia 128 tahun, sudah beranjak tua, dalam ukuran umur manusia. Tetapi, kita perlu melihat ke dalam, apakah Gereja Katolik Papua telah sungguh-sungguh menghadirkan Yesus bagi orang Papua yang sedang menderita saat ini?

Di tanah Papua ini, di dalam rumah Gereja Katolik Papua, Yesus punya wajah macam apa? Apakah Yesus yang masih menderita tergantung di Salib ataukah Yesus yang sudah bangkit mulia? Kita harus mengakui bahwa Yesus Papua adalah Yesus tersalib. Kemudian, kita bertanya, "Siapa mau datang kasih turun Yesus yang tersalib di Papua ini?"

Penderitaan orang Papua, terutama yang menjadi warga Gereja Katolik Papua, perlu mendapatkan perhatian serius! Gembala: Uskup, Pastor, Diakon, kaum religius, umat awam, tokoh-tokoh Katolik perlu bersatu, membangun kesepahaman dalam upaya bersama "menurunkan Yesus dari salib hidup orang Papua saat ini!"

Pada titik ini, kita membutuhkan sikap terbuka, mau mendengarkan jeritan penderitaan sesama, mau mendengarkan ajakan/seruan Gembala! Demikian halnya, Gembala juga mau mendengarkan jeritan/seruan dari kawanan domba!

Kita Papua. Satu Papua. Satu Katolik. Para Gembala, Uskup, Pastor, tokoh-tokoh Katolik di pemerintahan, di dewan perwakilan rakyat, di penegakan hukum, beserta dengan segenap kawanan domba yang tinggal di dalam rumah Gereja Katolik Papua perlu melihat "tanda-tanda zaman di Papua" 

dan meresponnya dengan tepat! Sekali lagi, kita perlu bersatu, membangun komitmen untuk peduli dan memperhatikan kawanan domba orang Papua di pelosok Papua! 

Di dalam Tuhan Yesus Kristus, Kepala Gereja, kita adalah satu: Satu Papua-Satu Katolik! Keberagaman suku dan budaya di dalam rumah Gereja Katolik Papua hendaklah menyuburkan iman kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, bukan sebaliknya malah menimbulkan "persaingan tidak sehat" karena masing-masing mau menunjukkan identitas kesukuan dan budayanya sendiri!  

Perziarahan Gereja Katolik Papua akan tetap berlanjut dalam tuntunan dan bimbingan Roh Kudus. Kita berdoa seperti doa Yesus untuk kita, "semoga kita bersatu!" (bdk 17:1-26). Di dalam rumah Gereja Katolik Papua: Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik, kita tinggal bersama, hidup dan berjalan bersama Papua. 

Kita percaya dan yakin bahwa rumah Gereja Katolik Papua akan senantiasa menjadi rumah yang "memeluk dan merawat" Papua yang sedang terluka ini! Amin. [Abepura, Minggu, 22 Mei 2022]. 

Selamat merayakan 128 tahun misi Gereja Katolik di tanah Papua. Dormomoooo..., wa..wa...wa...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun