Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Gereja yang Memeluk Papua

2 Mei 2021   10:16 Diperbarui: 2 Mei 2021   10:53 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pastor Markus Malar memeluk seorang Bapa dari Papua pada saat tahbisan imam di Sorong, (16/08/2020). Dokumentasi Pastor Markus.

"Hadirlah dengan sungguh, menangislah dan menarilah bersama umat dan lakukanlah semaksimal mungkin dan biarkanlah Allah yang menyempurnakannya," Pastor Markus Malar OSA, (04/09/2020).

Badai dan gelombang sedang mengempas Papua. Rumah Papua terombang-ambing. Di tengah ketidakpastian akan masa depannya itu, orang Papua meletakkan harapan dan masa depannya pada Gereja. Orang Papua meyakini dalam pelukan Gereja, mereka akan mengalami keselamatan saat ini dan di masa depan.

Siapakah Gereja? Siapakah Papua? Bagaimana cara Gereja memeluk Papua? Apa yang harus dilakukan oleh para Gembala dalam melayani kawanan domba orang Papua?

Secara etimologis, gereja berasal dari kata bahasa Portugis igreja, yang diambil dari kata bahasa Yunani, ekklesia yang bermakna dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Secara harafiah, gereja bermakna kumpulan orang yang dipanggil untuk keluar.

Sejak kapan Gereja terbentuk? Tradisi kekristenan menghayati bahwa Gereja terbentuk sejak hari Raya Pentakosta yaitu saat Allah mencurahkan Roh Kudus ke atas para pengikut-Nya yang berkumpul pada hari  tersebut (Kis 2:1-13). Roh Kudus hadir dan membimbing para Rasul mewartakan Kerajaan Allah. Pada hari itu, Rasul Petrus berkhotbah dengan penuh kuasa dan membawa banyak orang menjadi percaya dan dibaptis. Jumlah mereka yang dibaptis hari itu mencapai tiga ribu orang (Kis 2:41).

Gereja dihayati sebagai persekutuan orang beriman yang percaya kepada Yesus yang sedang berziarah di dunia ini menuju Allah. Gereja mewartakan Injil, Kabar Baik yang telah dimulai oleh Yesus.  Sebelum terangkat ke Surga, Yesus memberikan amanat kepada para  Rasul-Nya, "Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan, ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman," (Matius 28:19-20).

Berbekal perintah Yesus itu, para misionaris dari Eropa datang ke Papua. Sejarah mencatat bahwa misionaris Protestan memulai karya pewartaan Injil di tanah Papua sejak 5 Februari 1855 di Mansinam, Manowari. 

Sedangkan Gereja Katolik memulai misinya di Fakfak, melalui kehadiran Pastor Corneles le Cocq d'Armandville pada 22 Mei 1894. Tetapi, misi Katolik tidak berlanjut lantaran Pastor Corneles meninggal dalam kecelakaan di pantai Mimika pada 27 Mei 1896. Misi Katolik berlanjut di tanah Papua, ketika pada tanggal 14 Agustus 1905, empat orang Misionaris MSC tiba di Merauke.

Yesus dan Injil untuk Orang Papua

Para misionaris Protestan dan Katolik datang ke Papua membawa kabar baik bagi orang Papua. Injil Yesus tidak serta merta meredusir adat dan budaya yang telah dimiliki oleh orang Papua. Kita mendengar beberapa cerita bahwa di beberapa tempat di Papua, misionaris Protestan meminta tua-tua adat membakar (melepaskan) benda-benda budaya yang diklaim terikat tradisi penyembahan berhala. Kita melihat cara mencintai orang Papua dari perspektif misionaris dari Eropa terhadap orang Papua. Demi keselamatan orang Papua, benda-benda sakral dalam budaya warisan leluhur mesti dilepaskan supaya dapat menerima Yesus.

Para misionaris membawa Yesus memasuki rumah hidup orang Papua. Kita melihat bahwa manusia orang Papua menjadi fokus pewartaan Injil. Para misionaris masuk ke dalam hidup orang Papua dan memperkenalkan Yesus. Kita menyaksikan bahwa Injil diterima dengan cepat. Orang Papua menerima pembaptisan. Orang Papua menjadi anak-anak Allah dan warga Gereja.

Sejak zaman misionaris sampai saat ini, Gereja berjuang memeluk orang Papua. Kita melihat banyak tantangan geografis Papua, bahasa, budaya dan penyakit malaria, tetapi para misionaris berani menerobos laut, sungai, hutan, gunung, lembah demi menjumpai orang Papua dan memperkenalkan Yesus. Para misionaris setia melayani orang Papua di tengah berbagai keterbatasan tersebut.

Para misionaris sungguh-sungguh memperhatikan orang Papua melalui pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pertukangan. Pendeta, Pastor, Bruder, Suster berperan sebagai guru, mantri, penyuluh pertanian dan tukang. Para misionaris mengorganisir orang Papua untuk sekolah, hidup sehat, membuka kebun dan membangun rumah-rumah sehat.

Kekinian, Gereja zaman misionaris seakan-akan tak berbekas lagi. Tidak ada lagi kisah Pastor dan Bruder bersama masyarakat membuka lapangan terbang. Tidak ada lagi Pastor berdiri mengajar di kampung. Tidak ada lagi Pastor membawa kotak obat dan jarum suntik. Tidak ada lagi Pastor di kebun bersama orang Papua. Tidak ada lagi Pastor membangun rumah warga bersama orang Papua.

Kehadiran Negara (pemerintah), kemajuan ilmu dan pengetahuan serta arus informasi dan transportasi yang maju pesat telah memisahkan Pastor dan Pendeta dari umat. Pastor tinggal di pastoran. Umat tinggal di rumah masing-masing. Gembala dan domba bertemu pada hari Minggu. Setelah ibadah, terjadilah perpisahan dan akan bertemu lagi pada hari Minggu berikutnya. Begitulah siklus rutin perjumpaan Gembala dan Domba masa kini di tanah Papua.

Kita perlu mengakui dengan jujur bahwa orang Papua masih sangat membutuhkan Gembala pada seluruh aspek kehidupan mereka. Bidang-bidang penting yang pernah dikerjakan oleh misionaris seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi tetap relevan dilakukan oleh para Gembala pada masa kini. Mengapa para Gembala lekas meninggalkan orang Papua hanya karena pemerintah sudah hadir dan melayani masyarakat pada bidang kehidupan tersebut?

Gembala Masuk ke dalam Kandang Domba

Para Gembala yang melayani orang Papua, baik Uskup, Pastor, Pendeta, Katekis, Guru Jemaat, Majelis merasa dan mengalami bahwa mereka dipanggil oleh Allah dan diutus ke tengah-tengah kawanan domba orang Papua. Namun, acapkali, kita mendengar Gembala mengeluh. "Umat malas datang ke gereja. Umat tidak memberikan perpuluhan dan kolekte dan rupa-rupa keluhan lain." Bukankah Gembala datang untuk membawa domba-domba yang tersesat ini untuk kembali ke rumah Tuhan?

Kekinian, kita melihat betapa Gembala semakin jauh dari rumah kawanan domba. Padahal, Gembala di utus ke tengah-tengah hidup kawanan domba. Seorang Gembala diharapkan datang, masuk dan tinggal bersama kawanan domba. Di dalam perjumpaan itu, Gembala bisa mendengarkan dan melihat realitas hidup dan pergumulan kawanan domba.

Pastor Yosep Din, Pr di paroki Santa Silvia Yamas memiliki pola pendekatan pastoral sederhana. Pastor bilang, "Orang cerita umat Yamas kepala batu. Masalah banyak. Saya ke Yamas. Saya ajak mereka kami bikin kebun. Saya buka kebun dan kolam ikan. Mereka lihat. Mereka bikin mereka punya kebun pisang dan kolam ikan," tuturnya.

"Saya bikin pembinaan di kebun. Kami omong di kebun. Kalau umat sudah punya kebun, mereka lupa untuk bertengkar. Segala energi tercurah untuk bikin kebun. Mereka pikir kebun setiap hari sehingga lupa bertengkar," tutur Pastor Yos sapaannya.

Pendekatan pastoral yang diterapkan Pastor Yos Din, Pr merupakan suatu cara berpastoral kontekstual. Pastor Yos tidak mendikte umat dengan perintah ini dan itu, melainkan sikap dan tindakannya mengarah kepada keteladanan. Ia memberi contoh cara berkebun dan merawatnya. Umat melihat dan mengikutinya.

Acapkali, Gembala datang dengan konsep dan ide cemerlang. Gembala kumpulkan jemaat dan ajak mereka bangun sumur air, bikin pagar dan rupa-rupa pembangunan lainnya. Jemaat mengikuti perintah dan arahan Gembala. Setelah Gembala pindah, benda-benda yang dibangun tidak dirawat. Jemaat pikir segala pembangunan milik Gembala. Sebab, sejak awal mereka hanya menjadi objek pelayanan, bukan subjek berdaya yang terlibat merencanakan dan memikirkan kebutuhan hidup jemaat.

Ada sebuah kisah untuk menerangkan  hal ini. Di sebuah paroki dilayani oleh Pastor muda yang baru ditahbiskan. Pastor tersebut berasal dari Jawa. Dia memiliki sahabat dan kenalan di Jakarta. Dia menggalang dana untuk pembangunan tempat penampung air hujan di parokinya. Dia meminta umat menyiapkan tiang umpak dan menancapnya. Ia membayarnya sesuai harga proyek umumnya.

Tiang telah tertancap. Tiba-tiba, Pastor harus meniggalkan paroki itu. Pembangunan tidak dilanjutkan. Umat bilang, "Pastor sudah pindah sehingga proyek air minum ini tidak lanjut."

Kisah di atas menggambarkan bahwa Gembala tidak membuka ruang lebih luas untuk berdiskusi dengan jemaat, "Apa yang paling jemaat butuhkan? Bagaimana membangunnya?" Gembala menuntun umat menemukan kebutuhannya dan berupaya memenuhinya dengan cara mereka. Dengan demikian, apa pun yang mereka hasilkan menjadi bagian terpenting dalam hidup mereka sehingga mereka merawatnya dengan sebaik-baiknya.

Kehadiran Gembala di tengah-tengah kehidupan kawanan domba hendaknya membuat kawanan domba merasa bangga menjadi anak-anak Allah dan warga Gereja. Umat  merasa disapa, diterima dan diberi ruang mengekspresikan imannya dalam realitas sosial dan budaya mereka. Dengan demikian, Gereja benar-benar menjadi rumah baru yang memberikan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Di Sorong, tepatnya di paroki Santo Yosep Ayawasi, Pastor Markus Malar OSA menerapkan pendekatan pastoral kontekstual. Pastor Markus mengajak Dewan Pastoral Paroki (DPP) melakukan analisis kebutuhan pelayanan kepada umat. Melalui proses pertemuan dan diskusi ditemukan sejumlah permasalahan yang perlu mendapatkan penanganan segera.

"Pada tahun kedua, bersama umat kami mulai merumuskan Visi dan Misi Paroki serta strategi-strategi untuk mencapai visi dan misi itu. Kami juga mencoba merespon persoalan-persoalan itu dengan membuat daftar dan nomenklatur baru dalam susunan dan deskripsi tugas DPP. Ada bidang Adat dan Kebudayaan, Keadilan dan Perdamaian serta Keutuhan Ciptaan," tulis Pastor Markus dalam WA grup STFT Fajar Timur, (05/09/2020).

Pastor Markus menambahkan bahwa pembinaan keluarga mendapatkan tempat sentral dalam karya pelayanannya. "Kami berusaha menghimpun dan membentuk tim  'keluarga ideal'. Tim ini dilibatkan dalam memberikan pembinaan dan pendampingan baik dalam persiapan perkawinan maupun dalam mendampingi keluarga-keluarga yang bermasalah. Selain itu, ada retret pasutri berdasarkan usia pernikahan (0-5 tahun, 6-10, 11 ke atas)."

Di sela-sela kesibukan melayani Sakramen dengan melakukan kunjungan ke stasi-stasi yang berjauhan, Pastor Markus juga menampung anak-anak dari keluarga broken home dan dari paroki-paroki tetangga yang sekolah di SMP Negeri 1 Aifat. Ia juga membuka Taman Baca Tole Lege, yang terletak di area pastoran.

Di tengah-tengah ke suraman wajah pelayanan pastoral di tanah Papua, Pastor Markus Malar OSA berupaya hadir dan mendedikasikan seluruh hidupnya bagi kawanan domba orang Papua, baik di bidang rohani (pelayanan Sakramen), tetapi juga membantu anak-anak dari keluarga-keluarga sederhana agar mereka bisa bersekolah di Aifat. Inovasi yang telah dilakukan oleh Pastor Markus mengingatkan kita pada sosok Yesus yang berjalan dari kampung ke kampung mewartakan Injil dengan tindakan konkret mengajar, menyembuhkan orang sakit dan memberi makan kepada mereka yang lapar dan haus. 

 

Gereja Hadir untuk Menolong Jemaat

Kita bertanya, "Gereja hadir untuk siapa? Gembala untuk siapa?" Kehadiran Gereja dan Gembala seyogianya menjawab kebutuhan hidup jemaat sehari-hari. Setiap Gembala hendaklah bertanya, "Apa yang paling dibutuhkan jemaat? Bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut?" Untuk mengetahuinya, Gembala perlu duduk diskusi dengan jemaat.

Saat ini, di tanah Papua, kita sedang mengalami krisis Gembala yang meng-umat. Kita kekurangan Gembala berbulu domba. Kita masih membutuhkan lebih banyak Gembala yang mau peduli pada hidup kawanan domba orang Papua.

Ruben Watofa, Ketua YPK Kabupaten Nabire bilang, "Gereja GKI Tanah Papua punya visi menghadirkan Kerajaan Allah. Bagaimana mewujudkannya? Anak-anak tidak sekolah. Kita harus atur supaya mereka sekolah. Keluarga-keluarga tidak nikah. Kita harus urus supaya mereka bisa nikah. Bagaimana dengan perekonomian jemaat? Kita harus berdayakan mereka sesuai potensi alam, perikanan, pertanian," tuturnya pada Senin, (26/04/2021) di ruang kerjanya, kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nabire. 

Gereja selalu mengusung visi, "Menghadirkan/Mewartakan Kerajaan Allah." Selalu menjadi pertanyaan, "Kerajaan Allah macam apa?" Sebab, kita menyaksikan jemaat melarat di kampung-kampung dan para Gembala hidup tenang-tenang di pastoran/pastori. Apa sebenarnya wujud konkret Kerajaan Allah yang diwartakan oleh para Gembala di tanah Papua?

Kerajaan Allah tidak melulu mengenai Allah yang transenden, di langit sana. Kerajaan Allah yang sesungguhnya  harus mulai hadir dan menyatu dalam realitas sosial jemaat. Apa saja realitas sosial jemaat yang menuntut hadirnya Kerajaan Allah?

Sejenak kita pergi ke kampung-kampung. Lihatlah, betapa umat antusias menyambut sang Gembala di dermaga di tepi sungai dan di tepi jalan. Kita mendengarkan keluh kesah mereka. "Pastor/Pendeta, anak-anak tidak sekolah karena guru-guru tidak datang. Kami tidak bisa berobat, karena mantri tinggal di kota." Bagaimana seorang Gembala merespon keluh-kesah itu? Apakah sang Gembala akan diam saja karena bukan urusannya?

Di tanah Papua, kita menyaksikan Gembala khotbah bagus sekali di gereja. Gembala bicara tentang Kerajaan Allah yang berpihak pada orang miskin dan tertindas. Bahwa Allah selalu ada bersama orang miskin yang berseru kepada-Nya. Padahal, di samping gedung gereja, gedung Sekolah Dasar rusak berat. Bertahun-tahun, anak-anak di kampung itu tidak bisa bersekolah. Ironisnya, Gembala diam saja. Maka, Kerajaan Allah macam apa yang diwartakan oleh sang Gembala?

Situasi serupa terjadi pada layanan kesehatan di kampung-kampung. Gembala mengetahui bahwa di kampung tidak ada perawat dan bidan, sehingga jemaat tidak bisa berobat tatkala sakit. Tetapi, Gembala diam saja. Sang Gembala pikir tugasnya melayani firman Tuhan bukan urus kesehatan di kampung. Maka, Kerajaan Allah macam apa yang diwartakan oleh sang Gembala di mimbar gereja?

Acapkali kita menjumpai ada Gembala yang berpikir, "Kami Pastor/Pendeta punya tugas mewartakan firman Tuhan. Kami memelihara iman umat. Kami bukan pegawai dinas Kesehatan dan dinas Pendidikan." Apabila Gembala berpikir seperti ini, kawanan domba mau meletakkan harapan mereka pada siapa? Bukankah sang Gembala perlu melihat realitas sosial tersebut, berdiskusi dengan jemaat dan membawanya ke instansi terkait guna mendapatkan jalan penyelesaiannya sehigga jemaat di kampung bisa sekolah dan dapat pelayanan kesehatan?

Kita menyadari bahwa menjadi Gembala di tanah Papua tidak mudah. Ada rupa-rupa tantangan yang menuntut Gembala terlibat dalam realitas sosial jemaat. Menjadi Gembala di tanah Papua tidak hanya sebatas melayani jemaat dari altar dan mimbar gereja. Ia harus turun ke tengah-tengah realitas sosial hidup jemaat. Bahkan seorang Gembala di Papua harus memindahkan altar dan mimbarnya ke tengah-tengah hidup jemaat. Gembala harus ada bersama jemaat di dalam setiap penderitaan dan kegelisahan mereka.

Menjadi Gereja yang memeluk Papua merupakan upaya konkret menghadirkan Kerajaan Allah di tengah seluruh realitas sosial dan pergumulan hidup kawanan domba, umat, jemaat orang Papua. 

Kita berharap para Gembala sungguh-sungguh hadir dan memeluk orang-orang Papua melalui pelayanan yang menyentuh kebutuhan hidup mereka di bidang rohani, tetapi juga di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan budaya. 

Di sini, di tanah terberkati ini, kawanan domba orang Papua berdiri di muka pintu menanti datangnya Gembala-Gembala yang mau memeluk kerapuhan mereka. Gembala-Gembala yang mengulurkan tangan dan menggandeng tangan kawanan domba keluar dari gubuk-gubuk tua menuju rumah sehat. Gembala-Gembala yang menuntun kawanan domba pergi ke Sekolah Dasar dan Puskesmas. Gembala-Gembala yang berjalan bersama kawanan domba pergi ke dusun tanpa rasa takut. [Nabire, 2 Mei 2021; 11.00 WIT].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun