Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kemanusiaan Orang Papua di Titik Nadir

24 Maret 2021   17:23 Diperbarui: 24 Maret 2021   17:35 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi menuntut keadilan bagi orang Papua. Foto: Istimewa/dokpri

Gelombang perlawanan rakyat Papua terhadap berbagai bentuk ketidakadilan sosial di tanah Papua terus bergelora. Api perjuangan tidak terpadamkan oleh pasukan militer Indonesia yang membanjiri tanah Papua. Belakangan ini, suasana damai sejahtera tampak jauh dari negeri terberkati ini.

Kita menyaksikan Papua sedang dirundung duka berkepanjangan. Awam hitam masih menyelimuti jagat Papua. Sang Fajar Timur seakan tak mampu menerangi wilayah pantai, rawa-rawa, lembah dan gunung-gunung di Papua. Jerit tangis tangis terdengar nyaring siang dan malam menembus langit dan belantara Papua.

"Siapakah orang Papua? Mengapa orang Papua dihadapi dengan pasukan militer? Mengapa tidak ada ruang dialog dengan orang Papua?"

Pada era otonomi khusus (Otsus) Papua, kita menyaksikan pembunuhan terhadap orang Papua tak kunjung berakhir. Pembunuhan itu, menyebar masuk sampai ke ruang-ruang sakral Gereja. Pendeta Yeremias Zanambani (19/09/2020) dan Katekis Katolik, Rufinus Tipagau (26/10/2021 mati di tangan militer Indonesia di Sugapa, Intan Jaya. Keduanya ditembak mati dalam operasi militer di Intan Jaya.  

Kekinian, kemanusiaan orang Papua sedang berada pada titik nadir. Bilamana tak ada "jalan tengah" menyelesaikan permasalahan Papua secara holistik (aspek sejarah Papua, ideologi politik  Papua, pembangunan, pelanggaran HAM, dll) maka korban akan terus berguguran. 

Kita melihat bahwa kemanusiaan orang Papua tidak mendapatkan jaminan apa pun di dalam Negara yang menempatkan Tuhan di atas segala-galanya ini. Sebuah kontradiksi yang memperlihatkan wajah Negara yang sedang bingung menghadapi Papua dan permasalahannya.

Akhir-akhir ini, kita menyaksikan pengiriman pasukan militer ke Papua terus bertambah. Pendekatan keamanan diutamakan ketimbang membuka ruang dialog komprehensif dan holistik dengan orang Papua. 

Gerakan-gerakan yang berlawanan dengan Negara selalu diberi label separatis. Karena di dalam otak, pikiran dan hati pemerintah Indonesia bahwa orang Papua adalah separatis sehingga satu-satunya cara mengatasi separatis adalah operasi militer. Kemanusiaan orang Papua diredusir hanya sebatas setia kepada NKRI, yang berarti diam terhadap kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua atau menyuarakan ketidakadilan yang dialami orang Papua yang berarti bertindak separatis.

Kini, waktunya bagi kita melihat Papua dari sisi berbeda. Kita perlu menempatkan kemanusiaan kita sebagai ukuran menyelesaikan konflik Papua. 

Kemanusiaan kita tidak menghendaki marginalisasi, kekerasan bahkan pembunuhan terhadap manusia, siapa pun, apa pun latar belakang budaya dan ideologi politiknya. Karena itu, berhadapan dengan permasalahan Papua, kita perlu mengedepankan pendekatan kemanusiaan, bukan dengan pendekatan militer yang tidak pernah menyelesaikan permasalahan apa pun.

Gerakan pembebasan Papua, seharusnya menggugah nurani kita untuk bertanya, "Mengapa sejak diintegrasikan ke dalam NKRI melalui Pepera 1969, orang Papua tidak pernah merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun