Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menerjang Laut Arafura Demi Masa Depan Asmat

12 Juli 2017   04:01 Diperbarui: 12 Juli 2017   09:45 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: shipsofcalmac.co.uk

Setelah tujuh jam mengarungi laut Arafura dan sungai, kami tiba di Pomako pada pukul 13.00 WIT. Kami segera turun dari speed dan mengangkat barang-barang menuju kantor pelabuhan yang terletak di area pelabuhan ini. Di sini, kami menunggu mobil pangkalan yang akan menjemput kami dan membawa kami ke hotel Noken di kota Timika. Kami tiba di hotel Noken pukul 14.30 WIT. Selanjutnya kami beristirahat.

Keesokan harinya, Minggu, 11 Juni 2017, saya dan kk Boni berangkat ke Jayapura. Kami melapor pada pukul 06.45 WIT. Pukul 07.15 WIT kami terbang dengan pesawat Garuda menuju Jayapura. Sedangkan tim yang berangkat ke Sorong, melapor pada pukul 08.00. Sesuai jadwal di tiket mereka akan berangkat pukul 10.00 menggunakan Nam Air. Sayangnya, pesawat delay hingga pukul 14.00 WIT.

Saya dan kaka Boni tiba di Sentani pukul 08.20 WIT. Setelah keluar dari ruang kedatangan, kami menggunakan taxi bandara Cyclop menuju hotel Aston, Jayapura. Saya sendiri turun di Abepura. Kaka Boni meneruskan perjalanan ke hotel Aston. Sore hari, pukul 15.00 WIT, saya pergi ke hotel Aston menggunakan taksi. Saya check in di Aston. Selanjutnya, pukul 16.00 WIT, saya bergabung bersama tim Landasan Papua. Kami melakukan evaluasi kegiatan sampai pukul 21.30 WIT.

Memberikan diri

Perjalanan dari Agats ke pelabuhan Pomako, Timika cukup menegangkan. Gelombang dan ombak menghantam speed. Perjalanan itu menghabiskan waktu tujuh jam. Sebuah perjalanan yang mengandaikan kesediaan memberikan diri pada sesama.

Tim akan ke Jayapura (saya dan kk Boni) dan Sorong (Pastor Linur, Pr, Hendra Teturan, Karolina Yower dan Rafael Dopa). Kami menyediakan waktu dan diri kami untuk mengikuti pelatihan dan pendampingan pemberdayaan diri dan masyarakat.


Belajar pada realitas saat ini, khususnya di Papua, termasuk Asmat, proses pembangunan masih berorientasi pada pelaksanaan program kegiatan untuk menghabiskan anggaran (uang),ketimbang pemberdayaan komunitas masyarakat. Kita akui bahwa selama era otonomi khusus (otsus) banyak uang mengalir ke Papua, termasuk Asmat, tetapi masyarakat belum sejahtera. Apa sebenarnya yang sedang keliru dengan proses pembangunan selama ini di Papua?

Kita perlu merefleksikan kembali visi, misi, arah kebijakan pembangunan Papua. Titik toloknya adalah semangat pemberian diri atau semangat pelayanan. Kini, pemberian diri pada sesama sedang memudar. Bahkan orang asli Papua sendiri yang menjadi pejabat kurang berani memberikan diri seutuhnya kepada sesamanya orang Papua. Kita menjumpai begitu banyak guru orang Papua yang ditempatkan di kampung halamannya sendiri, tetapi mereka tidak mau mengajar dan mendidik anak-anak Papua, yang adalah anak dan adik-adik mereka sendiri. Demikian halnya, para perawat, bidan, dan lain sebagainya. Kita sedang mengalami krisis pemberian diri.

Situasi semacam ini bisa terjadi karena visi, misi, arah pembangunan di Papua masih berorientasi pada uang. Orang akan bekerja kalau ada uang. Tanpa uang pembangunan tidak berjalan. Bahkan untuk membersihkan jalan yang dilewati sehari-hari harus dibayar pakai uang (dana kampung). Semangat kerja bersama diabaikan. Unsur pemberian diri ditinggalkan.

Pendekatan pembangunan berdasarkan uang telah mematikan daya kreativitas dan inovatif orang Papua. Apabila tidak dihentikan, apa yang akan terjadi pada generasi orang Papua pada masa depan? Unsur-unsur hidup orang Papua, adat, budaya, bahasa, tarian dan lain sejenisnya akan musnah ditelan waktu.

Mengingat gentingnya situasi hidup orang Papua saat ini, maka kita dipanggil untuk memberikan diri seutuhnya, melayani tanpa pamrih. Uang sebagai sarana dibutuhkan dalam proses pembangunan, tetapi ia bukan tujuan pembangunan orang Papua. Paradigma berpikir mesti diubah dari uang ada dulu, menjadi tanpa uang pun orang Papua bisa membangun diri dan masa depannya. Paradigma semacam ini mengandaikan adanya semangat pemberian diri dan pelayanan tulus ikhlas, tanpa pamrih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun